write.as

kingslayer; third fight

sunakomo // suna/komori

cw // harsh words, smoking, mentions of alcohol, mentions of drugs

Thundercat – Them Changes: https://open.spotify.com/track/7CH99b2i1TXS5P8UUyWtnM?si=VqEiSXeqT7e5IGm0emrvFw


Diiringi lantunan lagu Hold it Together dari The Marias yang mulai mencapai akhir dan suara deru air dari kamar mandi, Suna memijat kedua kelopak matanya yang terpejam mengikuti ketukan lagu – sambil berbaring menghadap ke langit-langit.

Hari ini Tuhan lagi pengen gue bertobat apa gimana sih – daritadi bikin gue ngerasa bersalah mulu?

Sejujurnya, Suna tidak sebuyar itu. Memang, dia sekarang masih merasa belum sepenuhnya menapak bumi – tapi otaknya masih bisa berpikir jernih; mungkin karena semua zat asingnya sudah ia muntahkan di wastafel gedung SuaveHouse beberapa jam lalu. Sejujurnya, Suna masih sadar, masih bisa mendengar jelas – dari sejak ia melangkah keluar gedung SuaveHouse, hingga selama di perjalanan dalam taksi menuju apartemennya tadi.

Suna ingat, dan mendengar semuanya. Dari ucapan Iizuna. Lalu suara keyboard ponsel Komori yang diketik begitu cepat. Lalu suara Iizuna lagi. Lalu suara Komori yang nadanya semakin datar, tanpa ekspresi – seiiring obrolannya dan Iizuna tadi terus bergulir.

Lalu suara isak tangis yang amat pelan dari arah tempat duduk Komori, saat taksi berhenti di depan apartemen Suna. Lalu suara ingus dari Komori yang ia palsukan bak gejala pilek seiring ia bicara ke resepsionis apartemen Suna dan membopong Suna ke lift. Lalu getaran halus di badan Komori seiring ia menahan tangis di lift, masih sambil membopong Suna.

Suna ingat, Suna mendengar, dan sungguh – Suna paham semuanya.

Tapi kenapa ia yang merasa bersalah?

“Ah, tai lah.” gerutu Suna, sebelum memaksa tubuhnya untuk bangun dan duduk – sakit kepala yang tiba-tiba menghantam sepenuhnya ia abaikan seiring ia berdiri dan melangkah ke arah dapur. Dengan tangkas, diambilnya panci untuk dia isi air dan letakkan di atas kompor untuk direbus – sambil mengambil dua pak ramen dari rak beserta telur, potongan cabai iris, dan ham dari kulkas.

Malamnya kali ini memang kacau balau, tapi setidaknya, ia tak dibuat sesedih Komori malam ini.

Suna baru mulai menyalakan rokoknya ketika ia mendengar suara pintu terbuka, dan seruan namanya dipanggil dari arah kamarnya. “Dapur!” balas Suna, sambil mengaduk ramen instan dan beragam lauk yang sudah ia rebus di panci – kuah merah dipenuhi lauk menggugah, yang ia harap bisa membuat hati Komori setidaknya sedikit lebih cerah.

“Bau apaan nih?” suara Komori mendekat diiringi suara langkah kakinya. Suna tak membalas – hanya mematikan kompor, sebelum mengangkat pancinya dan memutar balik untuk membawa pancinya ke meja.

“Nih, biar entengan kepala lo, nggak kayak abis ditabrak mot-”

Kini, rasanya Suna yang habis ditabrak sepeda motor.

Atau truk? Atau tronton? Atau pesawat? Atau apa lagi kendaraan yang bisa ia sebut untuk menggambarkan betapa dahsyatnya dampak melihat Komori Motoya – wajah polos tanpa riasan, menggunakan kaus miliknya yang terlihat kebesaran karena perbedaan ukuran bahu mereka yang berjauhan; garis halus dari tulang selangka dan lehernya kini dengan sukses menonjol indah dari kerah kaus Suna?

“Buruan taroh, emang nggak panas apa?” gerutu Komori sambil melangkah ke arah Suna untuk merebut panci yang Suna bawa – sentuhan halus jemarinya di jemari Suna bak arus listrik yang menyetrum Suna hingga ia kembali ke batas sadarnya.

Rokok yang sudah menyala tanpa sadar ia biarkan membara – hingga tersisa setengah ampas, sementara matanya terpaku pada Komori yang kini mulai menyusun panci dan mangkok di meja makan sambil mengomel; soal “tau nggak sih lo tuh nggak boleh makan kurang dari delapan jam sebelum lo harus bangun?” “ramen tuh bikin muka lo bengkak kalo pagi-pagi, tau nggak?” dan segala omelan lain yang Suna sudah tak dengar. Sungguh sudah tak dengar – karena kini ia hanya terpaku pada mata lembut Komori yang terlihat berbinar lapar walau mulutnya terus mengomel, pada surai coklat Komori yang berkilau temaram di bawah lampu remang dapur, pada senyum Komori yang mengembang seiring ia selesai menyiapkan meja makan.

Pada Komori – yang ternyata jauh lebih indah di kala cerah, membuat Suna tak ingin melihatnya mendung lagi.

“Ayo makan? Ntar ngembang?” ucapan Komori memecah lamunan Suna seketika, membuatnya langsung mematikan rokok, “sekalian ambilin sendok.”

Suna mengangguk sebelum mengambil dua botol air putih serta sendok besar, yang langsung ia oper ke Komori. Dengan senyum lebar, Komori langsung menyendok ramen instan ke kedua mangkuk yang sudah ada di meja – seiring Suna duduk dan membuka botol air miliknya. Mendadak ia haus sekali – entah kenapa.

“Makasih lho, udah dimasakin. Itadakimasu!” seru Komori sebelum mulai memakan ramennya perlahan – senyum lebar dan gumaman bahagia muncul dari bibirnya, “tau aja gue laper. Biasanya sih gue minta imbalan lebih ya buat taking care orang jackpot, tapi besok aja deh gue tagih laginya.”

“Emang imbalannya biasanya kayak apa?” tanya Suna sambil perlahan meniup ramen yang hendak ia makan.

“Barang bagus aja. Bottles or spliffs, I don't mind.

“Kurang-kurangin.”

You're the one to talk. Siapa ya yang abis muntah di baju gue?” ucap Komori sambil melempar tisu, yang langsung dihindari Suna, “Makanya, know your own limits.

I do.” ucap Suna sambil kembali mengunyah, “gue tau kok batas gue di mana. Kalo nggak, lo udah abis kali tadi di toilet sama gue. Bisa-bisa Iizuna gue ajak gabung sekalian.”

Suna berkedip sambil menatap Komori yang membeku – tanpa ekspresi, sebelum dengan santai melanjut bicaranya – ke topik yang sebenarnya ingin ia bahas dari tadi.

I do know my own limits, makanya gue akhiri hubungan gue sama Iizuna. Nggak kayak seseorang yang masih nggak bisa let him go setelah sekian tahun, dan jadi projecting ke orang yang ngelakuin kesalahan yang sama.”

“Lo daritadi tuh ga tepar ya ternyata?” tanya Komori dingin, ramen di depannya kini diabaikan.

Nope. Lebih tepatnya, karena muntah, gue malah jadi sobering up.” lanjut Suna sambil kembali menyumpit ramen, “So yeah, I heard all that stuffs in the taxi.

Sama aja kan lo sama gue sebenernya, Komori? You hurted Iizuna too.

Komori kini menunduk – jari mulai sibuk mengaduk ramen yang mendadak tak lagi menggugah selera.

“Gue masih punya hati, nggak kayak lo.” jawab Komori datar, “gue masih bisa ngerasa bersalah karena bikin orang sedih. Gue masih bisa peduli sama orang.”

Hentakan sumpit di meja makan kaca membuat Komori langsung mengangkat kepalanya – menatap Suna yang kini menatapnya datar namun tajam, mata emasnya berkilat.

“Menurut lo, gue nggak punya hati?” tanya Suna sambil menggenggam sumpitnya, “lebih nggak punya hati siapa: yang berani bertindak rasional dan mutusin hal buruk di depan kayak gue – atau yang masih keras kepala maksa balik ke hidup orang yang udah move on untuk memenuhi ego dia sendiri kayak lo, hah?”

“Setidaknya gue nggak nganggep orang kayak benda mati buat dibarter, macam mereka nggak punya perasaan, ya?” balas Komori tajam, “setidaknya gue nggak pernah bilang ke orang kalau mereka nggak layak buat ada di hidup gue; nggak punya nilai untung buat ada di hidup gue.”

“Kalo lo ngalamin hal yang sama kayak gue, lo juga bakal bertindak sama kayak gue. Berani sumpah.” desis Suna – mata masih tak lepas dari Komori.

Aww, poor thing. Mau main victim-playing sekarang?” tanya Komori sambil melipat tangan di dada, “that doesn't excuse you from being an asshole, you know.

Suna membeku – seiring hening menyelimuti ruang makan yang remang-remang.

I know I'm an asshole. Nggak usah lo bilang lagi. Gue tahu, kok.” jawab Suna perlahan – Komori sadar, tapi memilih untuk tak memedulikan urat di pergelangan tangan Suna yang kini menonjol berkat genggamannya di sumpit yang menguat, “yang mana berarti more reasons buat gue makin milih-milih buat nyari orang yang akan jadi objek komitmen gue, kan? Because I know I got issues.

So you admit you got commitment issues?

Fucking yes I do. And what about it?” tanya Suna lagi, “balik lagi ke omongan gue di toilet, Komori. Selama lo masih nggak bisa ngasih solusi – ngapain lo mojokin gue terus kayak gini? Did I do something wrong to you? Gue udah minta maaf ke Iizuna juga, kok. Lo ada masalah apa lagi sama gue sampe lo pestering gue terus kayak gini?

“Apa lo punya savior complex – makanya lo maksa gue minta maaf ke Iizuna, dan sekarang maksa gue ngaku kalo gue fucked up dan nyeramahin gue ini itu, biar lo bisa benerin? To boost your own ego?

Komori masih terdiam – dan Suna masih menatapnya dalam.

“Apa ini semua karena lo ngerasa nasib gue dan nasib lo sama – sama-sama pengecut yang cuma berani nunggu aksi dari yang lain dan nggak berani kasih afeksi ke orang lain, Komori? Hah?”

Kini, Komori yang membeku; seiring jawaban tepat sasaran Suna menghujamnya bagai runtuhan es batu.

Entah berapa menit telah berlalu dalam hening antara keduanya – hingga ramen di mangkuk mendingin, dan suara ayam berkokok mulai menembus dinding. Hela nafas berat Suna memecahnya – seiring ia mengambil rokok baru dan menyalakannya; sebelum mengoper kotaknya ke Komori.

Sorry. Kelewatan gue.”

Komori berkedip, sebelum menerima permintaan maaf Suna dengan mengambil sebatang rokok yang ditawarkan dan menjepitnya di bibir – sebelum Suna bergerak maju untuk menyalakan bara di rokok Komori dengan pemantiknya; wajah mereka kini hanya terpisah sekian senti. Asap perlahan membumbung – menyelimuti kepala dua pria yang mungkin otak dan hatinya sudah mengebul.

What happened?” tanya Komori, “apa yang bikin lo jadi bajingan yang itung-itungan untung rugi kayak sekarang?”

Suna melirik Komori cepat, sebelum membuang asap rokoknya perlahan lewat bibir.

Dated someone who said that I no longer have use for him for five years. Dia bilang, kalau lanjut pacaran sama gue cuma bakal bikin dia rugi. Then he got a new boyfriend straightly after we broke up – much richer, much more successful than I am.

“Waktu itu INARIZAKI baru merintis, gue sibuk-sibuknya bikin materi, promo sana-sini. Gue kira waktu itu cuma perkara duit dan kesibukan. Ternyata pacar barunya lebih manjain dia daripada gue. They got married not long after that.

“Ouch.”

“Dia supermodel yang jadwalnya sinting, so that makes sense. When you live a life like that – when you got no control for your own life, everything turned out sucks. Hidup lo diatur terus, sehingga saat lo ketemu orang yang rela buang segalanya buat lo – investing everything on you, ngejadiin hidup lo prioritas di hidupnya, memberikan lo segelintir kontrol di hidup lo – it feels so fucking good. And your life suddenly feels like it's worth living.” ucap Suna,

and he didn't get that from me. I was too busy and self-centric to invest enough on him – to even know that he's been cheating on me, I guess.

Suna bisa merasakan tatapan Komori yang melembut dan darah yang mulai merayap ke pipinya, tapi kini ia tak peduli. Pada akhirnya, tetap ada yang akan tahu.

“Tapi dari Tsukishima gue belajar – kalo emang relationships are investments. Buat apa bertahan dan pasang harapan sama orang yang nggak bikin lo bahagia – yang ngga jelas juga apakah suatu saat nanti bisa bikin lo bahagia atau nggak? Buat apa ngejalanin hubungan kalau nggak ada gunanya? Kalau nanti berakhir buruk – kalau nanti berakhir ditinggal, yang rugi juga gue sendiri, kan? Mending lo nggak usah mulai sekalian kalau lo ragu.”

Well, I agree with you on that. Tapi,” ucap Komori sambil mengangguk paham, sebelum menghisap rokoknya, “investasi itu kan kegiatan dua belah pihak. Nggak cuma satu. Yang sekarang lo lakuin itu kayak one-sided decisions berdasarkan asumsi, berdasarkan ketakutan lo sendiri.

“Itu sih bukan investasi – itu kayak judi; lo cuma berani ambil bets kecil karena lo cari aman terus. Karena lo dibutakan ketakutan lo.”

Suna melirik ke Komori, yang kini mematikan rokoknya ke asbak- bersamaan dengan Suna; jemari mereka tak sengaja bertemu lagi.

“Lo kenapa ninggalin Iizuna ke US? Lo ngapain sampe bikin dia nangis juga?” tanya Suna sambil menepuk jari Komori untuk mengajaknya bermain adu jempol – membuat Komori tersedak akan asap rokoknya sendiri.

“G-gue S2, kan.” jawab Komori sambil terbatuk-batuk dan mulai menggenggam jemari Suna, bersiap bermain, “cuma ya waktu itu.. gue, langsung hilang tanpa kabar aja. Abis bilang kalau gue masih mau nyoba jalanin dulu LDR sama dia – ternyata gue nggak bisa, dan gue langsung ngilang gitu aja. Maksa diri buat lost contact sampai nggak sengaja ketemu lagi di Ariake. I didn't talk to him for 2 years.”

Suna bergumam datar, seiring ibu jarinya mulai menyerang Komori, “Sama aja dong lo jahatnya sama gue.”

“Gue waktu itu masih bingung, okay?” potong Komori sambil menghindar dari ibu jari Suna – sebelum mulai menyerang, “..dan mungkin.. ya.. sama kayak lo. Takut.

“Mungkin kalau pakai bahasa lo, waktu itu gue masih bingung mau investasi atau nggak. Terus gue cabut dengan janji palsu, berharap dia lupai- AW!”

“Okay, terus? Sebagai orang yang kayaknya tahu banget soal investasi yang salah, investasi yang bener kayak gimana?” ucap Suna perlahan. Kedua bola mata emasnya terpaku dalam pada Komori yang kini menunduk, ibu jarinya menahan ibu jari Komori yang kalah, “satu, dua..

“Ya as I said – lo belajar dulu lah soal sang pihak kedua.” jawab Komori sambil menarik ibu jarinya lepas, sebelum membalas menatap Suna galak – dan mulai kembali menyerang ibu jari Suna,

“Analisis dulu. Denger dulu mereka bisa apa, dan bisa ngasih lo apa. Denger dulu apa mereka memang paham sama yang lo butuhin, apakah lo juga paham sama apa yang mereka butuhin. Intinya, pahami mereka dulu.”

Ibu jari keduanya masih beradu – keduanya selalu nyaris menangkap satu sama lain; sebelum lepas dengan cekatan.

“Dan jangan asal main ngomong jahat dan ngebuang mereka jauh-jauh tanpa kasih kesempatan, kalo lo belom paham sepenuhnya.” lanjut Komori sebelum menelan ludah – karena sadar, perkataannya juga patut ia dengarkan sendiri,

jangan takut buat nunjukkin kalau lo punya perasaan yang siap lo kasih ke mereka – yang siap lo investasikan, gitu. Intinya, dua-duanya harus paham dan ngerti soal satu sama lain, dan apa yang satu sama lain cari dan butuhkan, sih.”

Hening kembali menyelimuti ruang makan Suna – seiring dua pria di tengahnya beradu pandang dan ibu jari.

“Karena kalau udah sama-sama paham soal kebutuhan satu sama lain,” lanjut Komori, masih sambil menatap Suna – sebelum tanpa Suna sadari, ibu jari Komori berhasil menahan ibu jarinya hingga tak mampu bergerak,

“Kita jadi tahu cara kompromi, dan cara terbaik biar kita terus ‘untung’ dan nggak ‘rugi’, kan?

So no one will get hurt at the end, dan kita ga perlu takut lagi.

Sepuluh detik sudah berlalu dengan ibu jari Suna kalah di bawah ibu jari Komori – namun kedua pasang mata emas dan coklat yang sudah sama-sama lelah itu masih sama-sama menatap; kesepuluh jemari yang daritadi beradu kini diam menggenggam. Sama-sama terikat dalam hening – mata masih menatap tajam satu sama lain, jemari masih sibuk menelusuri pola tak kasat mata di atas satu sama lain.

Seakan mencari jawaban,

mencari kesempatan, mencari paham dan pengertian dari mata masing-masing,

yang nampaknya ada.

“Capek? Mau tidur dulu?” tanya Suna sambil menarik tangannya perlahan – tak sadar akan refleks jemari Komori yang sempat tersentak untuk menariknya kembali, sebelum urung hati,

“lo tidur kamar gue aja – gue tidur di sofabed sana.” lanjut Suna sambil berdiri dan meninggalkan meja makan, dagunya menunjuk ke ruang tamu, “Ntar gue berangkat duluan sebelum lo, biar nggak dikira aneh-aneh sama orang kantor.”

“O-okay. Iya, udah mau jam lima juga, sih.” ucap Komori sambil berdiri dari kursi, “let me do the dishes, lo tidur duluan aja.”

Kini keduanya berhadapan dengan jarak terbentang dan hening; namun kali ini, terasa cukup.

Karena kali ini, keduanya paham.

Sleep tight, Suna. And.. thank you. For the meal.” ucap Komori, yang dibalas senyum simpul Suna.

You're welcome. Thank you for the talk too. Tidur gih.”

Seiring Suna berputar balik dan pergi meninggalkan Komori di ruang makan – pikirannya sungguh bising tiada henti. Teriakan caci maki dari Suna-Suna kecil di otaknya – memperingatinya kalau yang ini beda, yang ini bahaya masih terus memenuhi otaknya hingga pengang. Namun bedanya, kali ini tak hanya mereka yang melonjak aktif di dalam tubuhnya.

Dengan satu perintah ke perangkat Home miliknya, Suna langsung mematikan lampu ruang tamu, sambil memejamkan mata di sofa dan mengusap ibu jarinya. Sambil berusaha menelan dalam-dalam rombongan kupu-kupu dari perutnya yang dari tadi hendak merayap dan terbang naik ke paru-paru, serta debar jantungnya yang sudah tak karuan.

Awalnya Suna yakin, ia tak akan bisa tidur sampai jam sembilan nanti.

Awalnya – sampai ia tanpa sadar jatuh tertidur beberapa menit kemudian; diselimuti selimut tebal dari kamarnya yang dibawa Komori ke sana – seiring takutnya hilang, dan rombongan kupu-kupu dari perutnya kini telah sepenuhnya hinggap dengan tenang di dada.