— A NIGHT TO REMEMBER

Melbourne, 10.00 PM—

Narendra itu bukan orang bodoh, semua pun tau itu. Sebagai orang yang pernah tersakiti karena sifat selalu mengalahnya, pria itu belajar kalau jadi people pleaser gak selamanya akan buat kebaikan terus dateng ke dia. Jadi semenjak sakit hatinya, dua kali omong-omong, sang anak sulung belajar untuk lebih mengutamakan keinginannya.

Namun untuk kali ini, ia memilih untuk kembali menjadi lelaki yang pasif dan kaku. Karena kalau disuruh mengutarakan apa yang ia mau, pemikirannya itu terlalu brutal dan ya…tidak pantas.

Bagaimana tidak? Yang dia inginkan sekarang itu ya jalan ke Owen dan langsung mendekap pria itu erat sambil bercumbu dengannya hingga mereka berdua kehabisan nafas.

Duh tolong jangan salahkan Narendra soal ini, karena faktanya, Owen itu sekarang terlihat terlalu menggiurkan apalagi dengan baju, rambut dan tubuh yang basah karena terkena hujan.

Belum waktu pria itu bilang, “Mas, gue gampang masuk angin, jadi boleh gak kalo dibuka bajunya? Basah kan ini soalnya.” Naren dibuat gila olehnya.

Jangan gila, Ren. Masa iya lo biarin diri lo kesiksa gitu? Logika nya mengingatkan. Apalagi ketika ingat betapa tersiksanya ia waktu itu saat melihat tubuh tanpa busana Owen sehabis mandi.

Tapi sayangnya ada juga bisikan gila yang bilang, udah lah biarin aja, kasian anak orang nanti masuk angin. Lumayan juga kan ada tontonan gratis. Don’t you remember how good it made you feel back then?

Perang batin itu ternyata berlangsung cukup lama karena sehabis itu suara Owen kembali terdengar, “Mas? Boleh gak?”

“Eh…hah? Ya… yaudah terserah sih…”

Goblok. Bodoh banget lo keliatan gugupnya anjir!

Yang Narendra gak tau, sekarang Owen juga merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Dia gak bodoh untuk sadar suasana ini enaknya untuk apa. Hujan, di apartemen berdua dengan suasana remang-remang, dua laki-laki jomblo yang sepertinya, gak tau kalo atasannya itu iya juga, udah lama gak dapet sentuhan.

Dia juga berusaha ngeyakinin diri sendiri kalo misalnya situasinya gak ideal, gak pantas, dan dia harus ngeredam segala hasrat yang dia punya buat atasannya itu. Dia pernah berhasil sekali, harusnya sekarang itu akan lebih mudah kan?

Mau ngelak pake alasan ia ngerasain semua ini karena pria didepannya itu mirip sama mantannya juga udah gabisa, orang sama Nuraga pun Owen gak pernah kok punya pikiran gak senonoh gitu.

Tapi balik lagi, emang pada dasarnya laki-laki (kan sekarang malah nyalahin jenis kelamin) dengan hormon berlebih, dia tetep ngikutin sisi gelapnya itu. Pertama tentu saja dia mau ngetes, apa Narendra ngerasain hal yang sama? Karena kalo gak dua arah ya mana mau dia. Yang bajingan tuh otaknya kadang-kadang, bukan perilakunya.

Alhasil lah dia ngibul kalo gampang masuk angin. Padahal kan kalo buka baju lebih ada kemungkinan masuk angin kan? Dan dia juga bisa minta baju sama Narendra sebenarnya, tapi ya namanya juga modus.

Waktu denger jawaban atasannya yang gelagapan, dia makin ngerasa pede. Jadinya waktu buka baju itu matanya gak lepas dari sang atasan, sengaja mau liat reaksi nya. Dan tepat sasaran, dia bisa ngeliat pria didepannya itu wajahnya memerah. Sama kaya waktu dulu mereka berhadapan di keadaan ini pas roadtrip.

Ngerasa kalo tubuhnya memanas dan pemandangan didepannya itu udah gak bagus untuk jantung, akhirnya Narendra berseru, “Mau Indomie kuah gak? Gue kemarin baru dari Asian Market.”

Owen terkekeh, tapi akhirnya tetap menjawab, “Boleh…”

Dan Narendra pun berjalan cepat kearah dapur apartemennya, sengaja ngehindar.

Owen juga tidak langsung mengejar, faktanya dia malah berjalan mengelilingi apartemen milik sang atasan yang bisa dibilang nyaman. Entah kenapa, dia benar-benar bisa melihat Narendra menaruh nyawanya di apartemen ini.

“Kalo mau minum ambil aja ya sendiri.” Ujar Narendra dari arah dapur yang membuyarkan Owen dari pengamatannya.

Ia pun segera berjalan menuju kearah dapur dan menemui yang lebih tua disana, “gelasnya dimana Mas?”

“Nih disini,” Narendra menunjuk kabinet atasnya dengan dagu, “Bentar gue ambilin, tangan gue tadi kotor abis mecahin telor.”

“Eh yaudah gue ambil sendiri aja.” Dan Owen pun inisiatif untuk berjalan kebelakang Narendra dan meraih kabinet diatas lelaki itu.

Salah langkah. Sekarang mereka terlalu dekat.

Narendra bisa merasakan deru nafas yang lebih muda di belakang kepalanya. Tubuh mereka juga bersentuhan dengan Owen yang tampak seolah sedang mengukungnya.

Keduanya tau, harusnya mereka segera menjauh, harusnya mereka mendorong satu sama lain. Bahkan, seharusnya mereka gak pernah ada di situasi ini. Tapi entah setan dari mana, keduanya memutuskan untuk mengkhianati logika. Karena sekarang Narendra malah mundur, berbarengan dengan Owen yang maju agar tubuh mereka berdempetan.

“Mas…”

“Wen…”

Apa? Terus mau apa? Tentu saja mereka berdua tau keinginan masing-masing. Wujud rasa akan rasa penasaran mereka selama ini. Tapi terlalu bingung untuk bagaimana mengungkapkannya sampai akhirnya Owen menyerah, “Say no and I’ll stop.”

Rancu. Tapi Narendra mengerti. Karena sekarang dia malah berbalik agar berhadapan dengan yang lebih muda itu lebih dekat, “The problem is, I don’t want you to stop.”