— BROS

Jakarta, 18.00—

“Seriusan gak sih? Shandy juga lebih muda dari aku?”

“Iya, kan dia seumuran sama Bang Chan.”

“Anjir gue tua banget berarti ya?”

“Bukan tua kamu mah, mateng.”

Narendra pun mendoronb kekasihnya itu bercanda, “Mangga kali gue mateng segala!”

“Loh kan emang 11/12. Sama-sama manis!”

“DIEM!” Dan keduanya pun tertawa sambil rangkul-rangkulan menuju ke rumah yang lebih muda. Di depan rumah kini terparkir dua mobil sedan yang terlihat asing. Tapi Owen tau itu punya sepupu dan kakak laki-lakinya.

“Wih keren juga nih Bang Darian sama Bang Baim mobilnya.”

“Emang kamu belom pernah liat?”

“Belum, kayaknya ini mobil baru deh.”

Mereka berdua pun masih berbincang ketika masuk ke pekarangan rumah lalu ke dalamnya. Kini suara obrolan orang-orang yang Owen sudah lama tidak bertemu itu pun terdengar.

“Abang-abangku!” Seru Owen lalu berlari untuk memeluk Shandy, Johan, Ibrahim dan Darian, “aku kangen banget loh ini. Kalian pasti kangen diriku juga kan? Iya emang ngangenin gak usah dijawab.”

“Apaansih berisik!” Shandy bergerak untuk menoyor sang adik walaupun sebenernya emang dia kangen.

“Idih, bukannya disayang malah di toyor-toyor.”

“Mana pacar lo dek? Katanya mau dikenalin.” Ujar Johan yang membuat Owen tersadar bahwa ia meninggalkan Narendra, “Oh iya lupa, Mas Naren sini Mas!” Ia pun bergerak untuk menarik Narednra dan bertemu dengan mereka semua.

Narendra yang ditarik Owen pun pasrah dan mengikuti kekasihnya itu bertemu dengan anggota keluarga lainnya, “Nih kenalin pacarku yang paling cakep sedunia.”

Ibrahim, Darian, Shandy dan Johan terdiam ketika mata mereka bertemu dengan milik Narendra secara berlebihan. Bahkan senyum yang semula tersungging sebagai tanda excited itu lenyap sudah.

“Halo Mas, gue Johan.” Kakak ipar Owen itu yang paling pertama mengenalkan diri, “Salam kenal.”

“Halo Johan…” ujar Narendra sambil tersenyum manis. Dia sebenernya bingung harus gimana sama saudara-saudara Owen ini. Terus terang dia berekspektasi untuk sama di terimannya layaknya kedua orang tua sang kekasih, tapi nyatanya ia salah besar.

“Ini masakan ibu udah jadi, ayo kita makan dulu!” Angel yang muncul dari dapur dan mengerti keadaan pun menengahi, “Lanjut ngobrolnya nanti aja.”

Makan malam hari itu tidak seheboh yang dikira. Karena sebagian besar dari penghuni meja makan itu lebih memilih untuk diam. Hanya Owen, Bapak dan Johan lah yang berusaha menghidupkan suasana.

“Wen aku naik sebentar ya, Barbara nelfon mau ngomongin kerjaan.” Owen mengangguk dan Narendra pun pamit pada semua sebelum berjalan ke kamar kekasihnya diatas.

Ketika sudah dipastikan bahwa Narendra sudah masuk kamarnya, Owen beralih saudara-saudaranya dan bertanya, “Kalian kenapa sih? Kok dingin banget sama laki gue, emang dia kenapa?”

“lo tuh sebenernya udah move on belom sih Wen?”

Pertanyaan Ibrahim membuat Owen menghela nafas lelah. Sebenarnya ia sudah duga gak akan jauh-jauh dari masalah itu. But this time, he just hate the fact that he’s right.

“What kind of dumb question is that? Of course udah. I have Mas Naren now.”

“Well honestly,” Shandy melanjutkan, “You don’t seems like you’ve moved on.”

“Cuma karena pacar gue yang sekarang mirip sama Nuraga, bukan berarti gue gak bisa move on dari dia.”

“Kalo lo masih nyari sesuatu tentang Nuraga di orang lain mah namanya belum, Wen.” Ibrahim berujar lagi, “Itu malah ngebuat lo jadi brengsek dan menyedihkan.”

“Eh bentar, ini tuh pembicaraannya mau kearah mana sih? Kenapa jadi bawa Nuraga tiba-tiba?”

“How can we not when your new man looked exactly like him?” Darian lah yang kini gantian membuka suara.

“So what? It’s just their face that looks the same. You guys making a big deal out of nothing!”

“You’re missing the point!”

“Ya terus apa? Semua orang bisa liat kok gue emang udah moved on dan bahagia sekarang!”

“Replacing Nuraga with a walmart version of him that you found in the street say otherwise.”

“YOU FUCKING ASSHOLE!” Seru Owen marah sambil melayangkan tinjunya kearah Ibrahim, “NGOMONG LAGI LO SINI BANGSAT!”

“OWEN!” Semua berseru dan buru-buru menahan Owen untuk kembali menyerang Ibrahim, “Lo gila kali ya? Jangan karena laki lo jadi begini, itu abang lo!” Seru Shandy sambil mendorong adiknya.

“JUSTRU KARENA DIA ABANG GUA ANJING! BISA-BISANYA DIA NGOMONG GITU!”

“Kalo yang diomongin Baim gak bener, kenapa lo harus marah?” Shandy kembali berujar yang membuat Owen kini bergantian menatapnya nyalang.

”What the actual fuck?”

“Gue yakin deep down lo juga tau kita semua bener.”

“Eh lo gila kali—” Owen berhenti berbicara ketika ia melihat Narendra sudah turun sambil menenteng kopernya, “Kamu mau kemana?”

“Aku disuruh ayah ke rumahnya, ada urusan mendadak Wen. Abis ini aku nginep disana jadinya, pamit dulu ya! Misi semuanya…” Sebelum sempat dijawab, Narendra sudah berjalan pergi dengan cepat keluar. Gak perlu menelaah lebih jauh juga Owen tau kalo kekasihnya itu bohong.

“Mas tunggu, biar aku aja yang ngaterin.”

“Gak usah Wen, aku kan udah mesen taksi itu.”

“Yaudah gak usah naik, aku bayarin aja taksinya terus suruh bapaknya pergi. Kamu tetep sama aku.”

“Jangan dong Wen, repot dan sayang duit nanti. Aku juga buru-buru, gak usah.”

“Mas, come on don’t do this.”

Narendra yang sudah bisa mendengar kesenduan di suara sang kekasih pun memutuskan untuk tidak lagi merespon. Ia langsung masuk kedalam taksinya dan meminta sang supir jalan.

“Anjing anjing anjing!” Seru Owen sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia pun bergegas membuka ponselnya dan mengirim pesan pada sang sahabat untuk meminta bantuan. Setelah itu ia kembali berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengambil barang-barangnya juga.

Namun ketika ia melewati para saudaranya, Owen pun berujar, “Kalo sampe Naren ninggalin gue karena ini, jangan harap gue bakalan mau berurusan lagi sama kalian.”