— HATI KE HATI

Jakarta, 14.00—

“Eh disini aja pak, itu temen saya udah nunggu.” Narendra memberhentikan sang supir taksi lalu membayar dengan uang berwarna merah muda, “Ini kembaliannya buat bapak aja, makasih ya!”

“Makasih banyak ya Mas!”

Narendra turun dari taksi dan berjalan kearah empat orang yang memang sudah janjian bersamanya hari ini, “Hai sorry ya lama, tadi sempet macet deket sini.”

Shandy adalah yang pertama menoleh dan menyadari keberadaan kekasih adiknya itu, “Eh iya gapapa Mas, kita juga baru banget dateng.”

“Okey, kalo gitu temenin gue dulu ya? Nanti naru abis itu kita ngobrol.” Mereka berempat serempak mengangguk, lalu mengajak Narendra untuk ketujuannya dalam diam.

Kurang lebih tiga menit kemudian, sampai lah mereka berlima di depan makam seseorang yang sering dikunjungi kala senggang. Laksamana Nuraga, begitu tulisan di nisannya.

Narendra tersenyum lalu duduk di salah satu bangku kramik yang ada di samping makam tersebut, “Halo Nuraga, aku Narendra.”

Shandy, Johan, Ibrahim dan Darian berjalan menjauh untuk memberikan mereka sedikit privasi, namun masih tetap bisa samar-samar mendengar perkataan yang lebih tua.

“Ini, aku bawa hadiah…” Narendra kemudian mengeluarkan beberapa bunga daffodil dari paperbag yang ia bawa, “Kemarin semaleman aku nyari apa bunga yang paling bagus artinya dan nemu ini. It says, Daffodils symbolize care and goodwill. Cocok untuk dikasih ke orang yang kamu hargai dan simbol dari persahabatan. Something that represents what I felt about you.”

Hari ini langit cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang membuat Narendra tetap nyaman berada di luar ruangan. Suasana ini seolah memang mendukung perbincangan keduanya, “Hari ini aku ditemenin sama kakak-kakakmu, people that trully care and love you very much. Kamu pasti sebaik itu ya sampai disayang sebegitunya?”

Narendra mengulurkan tangannya untuk mengelus batu nisan mikik Nuraga, “Nuraga, aku minta maaf ya kalo hadirnya aku di hidup Owen itu seolah terkesan menggantikan kamu. Gak ada sama sekali maksudku buat begitu. Aku gak akan pernah mau nyingkirin, atau gantiin posisi kamu sebagai juara bertahannya Owen, Ga.”

Ibrahim, Shandy, Darian dan Johan saling bertukar pandang untuk sesaat. Mereka itu sedang merasa menjadi manusia paling bodoh di bumi. Bisa-bisanya berperilaku jahat pada manusia baik yang ada didepannya itu tanpa berusaha mengenalnya terlebih dahulu.

Kini tekad mereka pun sudah bulat. Kalau perlu, akan bertekuk lutut di kaki Narendra sampai pria itu memaafkan. Mereka gak mau jadi alasan orang sebaik ini pergi dari kehidupan Owen.

“Tapi gue izin untuk ngerasain dicintai sama dia juga boleh ya? Tenang Ga, Owen nya juga gue lanjutin bikin bahagia juga pastinya. Gue juga izin buat berusaha menangin hati orang-orang di sekitar Owen juga ya? Karena gue mau ada di kehidupan Owen untuk waktu yang lama.”

Tentu saja pertanyaan itu gak ada yang jawab. Tapi Narendra berharap segala pesan yang ia punya dapat didengar oleh Nuraga.

Setelah seselai memanjatkan doa, Narendra pun menoleh kearah empat saudara Owen, “Gue udah selesai. Ayo kalian berdoa dulu abis itu kita lanjut ngobrol.”

Dan disini lah mereka kurang lebih lima belas menit kemudian. Salah satu rumah makan jawa di daerah dekat dengan Nuraga dimakamkan.

“Mas kita mau minta maaf ya. Soal apa yang Mas denger tempo hari di rumah.” Shandy mulai berbicara yang langsung dilanjutkan oleh Ibrahim, “Kata-kata kita pasti nyakitin Mas Naren, dan Mas Naren gak pantes dapetin itu. Harusnya kita lebih dewasa lagi nyikapin kagetnya waktu itu.”

“Mas Naren gak harus ngeiyain sekarang. Udah mau ketemu kita aja kita udah bersyukur banget, Mas.” Tambah Darian.

“Gue juga mau minta maaf Mas,” akhirnya Johan juga angkat bicara, “Maaf gue diem aja, padahal sebenernya bisa banget gue berhentiin atau nampar mereka satu-satu waktu kemarin. Sorry ya gak sempet bela, tapi please tau gue dari awal udah lebih dari setuju soal kalian.”

Narendra tau, bahkan Johan juga sudah lebih dulu menghubunginya lewat dm Instagram di hari yang sama, sehingga ia hanya terkekeh dan mengangguk.

“Gue paham banget kok sama reaksi kalian. Walaupun perlu diakuin agak gak ngenakin di bagian gue nya. Tapi semua itu wajar, jadi dengan senang hati gue terima permintaan maafnya. Makasih ya udah nyempetin buat ngehubungin gue gitu, maaf juga jadi alasan kalian harus berantem sama Owen. Nanti gue ngomong ke anaknya.”

Narendra terdiam sebentar karena pesanan mereka kini sudah mulai berdatangan. Setelah bilang terimakasih pada para pramusaji ia baru lanjut kembali, “Gue harap sekarang kita bisa put all the things in the past dan mulai lagi. Gue bakalan berusaha untuk nunjukin kalo gue pantes jadi bagian dari kalian. Jadi tolong kasih gue kesempatan buat nunjukinnya ya?”