— KELUARGA SANTOSO

Jakarta, 20.00—

Jutawan Santoso kembali menambah satu digit di umurnya hari ini. Ulang tahun yang terasa lebih spesial karena kedatangan sang putra sulung ia sudah rindukan setengah mati.

“Abang dateng sendiri Bun?” Tanya Jutawan pada Namira yang sedang berbicara dengan salah satu pramusaji mengenai menu katering hari ini.

“Gak tau Yah, abang gak ngabarin Buna. Tapi kayaknya bawa pacar.”

“Kamu kenal?”

“Engga, Ayah?”

“Engga…”

Keduanya menghela nafas lelah. Hal-hal seperti inilah yang membuat keduanya sadar seberapa buruknya mereka menajdi orang tua. Keduanya gagal untuk mengenal sang anak sulung, pun untuk memberikan lingkungan yang nyaman dan aman untuknya.

“Selamat ulang tahun ayah!” Jutawan menoleh ketika mendengar suara perempuan yang sudah ia hafal diluar kepala, “Alena doain semoga ayah sehat dan bahagia terus!”

“Amin terima kasih ya sayang!” Jutawan tersenyum sambil membalas pelukan sang anak bungsu, “Anak-anak sama suami mu mana?”

“Anak-anak bareng Mas Arkan, tadi mau pick up hadiahnya ayah dulu.” Ujar Alena dengan senyum manisnya yang Jutawan tau adalah bentuk dari paksaan.

Anaknya ini tidak bahagia, begitu pun rumah tangganya. Ia sadar betul, dan tau juga apa penyebabnya. Namun untuk menolong pun sungkan rasanya. Karena dirinya lah salah satu penyebab semua ini terjadi, walaupun mereka kini berusaha mengubur kenyataan itu jauh-jauh dan berperilaku baik-baik saja.

“Abang udah dateng yah?”

“Belum, kamu ada kabaran sama dia gak? Kalo ayah terakhir semalem dia ngucapin doang.”

“Engga sih, bentar Alena coba tanya.”

Tamu pun mulai berdatangan tak lama kemudian, dari mulai adik-kakak Jutawan, keponakannya, serta kedua besannya.

“Naren belum dateng, Wan?” Sunny yang sedari tadi memperhatikan penjuru ruangan pun bertanya tentang keponakan kesayangannya, “Udah di Jakarta kan dia?”

“Iya di Jakarta kok, paling bentar lagi sam—”

“Selamat ulang tahun Ayah!” Sebuah suara memberhentikan Jutawan dari perkataannya. Kini anak sulungnya itu berdiri tidak jauh darinya sambil membawa satu paperback besar dari luxury store kesukaanya, “Maaf abang telat, tadi macet.”

“Gapapa bang, abang mau dateng aja Ayah udah seneng banget!” Ujar Jutawan mengeratkan pelukannya untuk beberapa saat.

“Abang…”

“Buna…” dan Narendra beralih untuk memeluk sang ibu dengan sama eratnya, “Buna kangen banget sama abang!”

“Iya abang juga kangen sama Buna. Maaf ya abang jarang pulang…”

“Gapapa yang penting abang ada disini.”

“Oh iya kenalin, ini Owen. Pacar abang.” Ujar Narendra sambil mengenalkan orang yang ada dibelakangnya, “Wen, Ayah sama Bunaku.”

Jutawan dan Namira yang baru tersadar akan kehadiran orang baru itu pun menoleh. Untuk sepersekian detik tentu saja mereka terkejut, sehingga tidak langsung bereaksi.

Jantung Narendra pun berdetak dengan kencang. Terus terang dia gak siap kalau sampai harus menerima penolakan lagi. Namun ternyata diluar dugaan, Jutawan malah tersenyum lebar sambil merentangkan tangannya untuk bergerak memeluk Owen, “Salam kenal Owen, terima kasih udah jagain abang selama di Melbourne.”

Namira yang ada di sebelah Jutawan juga mengajak laki-laki itu cipika-cipiki, “Nanti stay sampai akhir ya? Kita ngobrol lebih jauh lagi. Terima kasih udah dateng Owen!”

Kedua pasangan itu saling bertatapan dalam diam, tapi ada rasa bahagia yang terpancar jelas di wajah mereka.

“Abang, hai!” Sapaan lain membuat Narendra menoleh dan bertemu tatap dengan sang adik. Ia pun langsung bergerak untuk memeluk Alena sama eratnya, “Hai, apa kabar kamu?”

“Better now that you’re here!” ujarnya dengan senyum yang tulus. Semenjak dirinya tersadar, memang perasaan bersalah kerap menghantui Alena bahkan sampai hari ini. Untuk itu ia sangat menghargai setiap waktu ketika mereka berinteraksi seperti ini, “Abang sama— eh?”

“Halo Mba, saya Owen…” ujar Owen mengenalkan diri pada wanita yang ia tau adalah adik dari kekasihnya. Lagi-lagi dirinya harus mengalami pandangan yang sama, namun tidak terlalu lama karena akhirnya wanita itu tersenyum, “Hai Owen, gak usah panggil mba, aku kan adeknya Abang.”

“He’s 8 years younger than me, Len.”

“Oh yaampun…” Narendra dan Owen sama-sama tertawa melihat ekspresi terkejut Alena, “Yaudah terserah aja kalo gitu.”

“Emang gue kelitan tua ya mba?”

“Eh engga sumpah maksudnya bukan gitu, itu tuh karena kan aku emang adeknya abang jadi agak kaget aja di pangg—”

“Len, Owen bercanda. Kamu gak usah panik…”

Alena lagi-lagi dibuat terdiam. Dan setelah melihat Owen yang memang baik-baik saja ia pun berujar, “Astaga…”

Perbincangan mereka terhenti ketika ada dua sosok anak kecil yang memeluk Narendra bersamaan, “Papa Naren, we miss you!”

“Hi boys!” Narendra yang sadar itu adalah kedua keponakannya pun mencium kepala mereka bergantian, “How are you guys?”

“Baik banget karena ketemu Papa Naren!”

“Papa, there are lots of things that I want to tell you!”

“Boys, nanti dulu ya. Papa Naren nya biar keliling dulu.” Ujar sebuah suara familiar yang membuat Narendra, Owen dan Alena menoleh.

“Arkano…”

“Narendra…”

Arkano yang semula tersenyum pun terdiam ketika pandangannya bertemu dengan milik Owen. Mereka berdua saling bertatapan beberapa detik sebelum yang lebih muda menyapa, “Halo Mas Arkano, saya Owen.”

“Eh, iya halo…”

“Pacar gue, Kan.”

“Oh iya, nice to meet you.”

“Same here, dapet salam dari Bang Johnny dan kawan-kawan Mas.”

“Wah iya? Lo kenal mereka juga?”

“Kenal, beberapa kali main bareng.”

“Ok ok siap.”

Canggung. Tapi ya mereka semua berusaha sebisa mungkin untuk keliatan ramah. Owen sendiri gak tau harus bertingkah kaya gimana, bahkan bercandaan soal dia mau ngerusuhin Arkano juga seolah terbang dari otaknya. Untung aja abis itu Arkano pamit mau ngomong ke mertua sama orang tuanya yang baru dateng.

“Kita kesana aja yuk!” Ujar Owen menunjuk sepupu Narendra yang sebenernya dari tadi udah ngeliatin dia.

“Gak ah.”

“Udah ayo!” Owen pun menarik Narendra kearah sana.

Diluar dugaan, Owen lah yang menyapa mereka lebih dulu dengan bercandaan, “Gimana tontonan nya? Asik gak?”

“Gue nungguin berantem padahal,” sahut Wararya yang membuat Narendra semakin bingung, “Harusnya lo kaya “halo saya versi upgrade anda” gitu ego Wen.”

“Wah jangan gitu lah, gak enak Kak!”

“Alah tai, yang kemaren bilang gitu aja lo sendiri!” Sambung Clarissa yang akhirnya memancing sahutan dari Narendra, “Hah apaansih kok kalian akrab?”

Semuanya saling berpandangan, menerka siapa yang mau bercerita sampai akhirnya Anjani lah yang mulai bercerita, “Kemarin kita ketemuan sama Owen, Ren….”

Owen menatap satu persatu manusia didepannya sambil tersenyum ramah, “Maaf ya kakak-kakak sekalian kalo misalkan gue lancang ngajak ketemu begini. Tapi ada beberapa hal yang mau gue omongin, Pertama, gue paham banget soal kalian yang gak setuju sama gue. Apalagi karena gue tuh mirip banget sama—”

“Wen kita minta maaf banget soal itu. Gue tau lo sama Arkano gak sama. Maaf kita gak ngasih lo kesempatan dan langsung nge judge gitu aja.”

“Gapapa Kak, gue paham banget reaksi kalian itu wajar. Apalagi kalian emang sepeduli itu sama Mas Naren. Makanya tujuan gue ngajak ketemu hari ini itu untuk minta kesempatan sama kalian semua. Gue gak akan ngomong banyak soal gue akan treat Mas Naren lebih baik atau segala omong kosong itu. Tapi gue akan nunjukin ke kalian dan ngebuktiin kalo misalnya gue pantes buat bersanding sama Mas Naren. Perjuangin dia sampe dapet restu semua orang juga gue sanggup.“

Mereka semua saling berpandangan dengan ekspresi yang dapat Owen artikan sebagai kebahagiaan. Karena memang benar adanya, akhirnya anak-anak keluarga Santoso itu bisa bernafas lega. Sepupu mereka ada di tangan yang tepat sekarang.

Naren pun menatap Owen dengan mata berbinar terharu, “You did that?”

“I’ll do anything for you, Mas.”


“Mas Arkan, sendirian aja? Gak ikut ngobrol itu di dalem?”

“Eh Wen, gak lah itu kasian keluarga lagi pada temu kangen.”

“Tapi bukannya lo bagian dari keluarga inti juga?”

“Well…” Arkano menghela nafas beratnya sebelum berujar, “Shouldn’t have been.”

“Harus nya emang, gak sih? Tapi salah langkah aja.”

Arkano kembali menoleh untuk menatap Owen beberapa saat. Ah iya, Narendra mungkin cerita tentang apa yang terjadi dengan mereka, “Eh sorry. Bukan ranah gue.”

“Gapapa.” Arkano menggeser tempat duduknya agar Owen bisa duduk. Kini mereka berada di kursi santai halaman belakang rumah keluarga Santoso sambil menatap taman luas serta kolam renang yang asri itu, “so you must hate me so bad right now.”

“Hate? No. But I can’t say that I’m fond of you either.”

Keduanya tertawa karena kejujuran Owen, “Yeah as you should.”

“Mas Naren too by the way.”

“Kenapa Naren?”

“Dia gak benci sama lo.” Owen menatap Arkano serius, karena tau persis pria itu sedang mencari kebohongan di matanya, “Serius. He even says that he understand your choice to some extent. He never really blame you for what happened, bahkan dia paham banget kenapa lo milih jalan ini.”

Arkano gak pernah denger ini sebelumnya. Walaupun Narendra udah beberapa kali yakinin dia kalo hubungan mereka udah baik-baik aja, gak ada yang pernah ngeyakinin dia kaya begini.

“Gue bahkan ngomong ke dia, harusnya dia gak sebegitu lowongnya ke lo tapi dia bilang, dia ngerti banget gimana susahnya lo buat bilang engga sama orang tua lo. Gimana hidup lo itu udah kesetel untuk muasin mau orang tua lo. Dan dia sepenuhnya ngerti itu, walaupun sakitnya bukan main buat dia.”

“Kenapa dia sebaik itu ya, Wen? Padahal gue gak pantes dapetin itu semua.”

“Gak pantes dapet Mas Naren iya, tapi lo pantes buat dapetin kebaikannya dia, Mas. Maaf sotoy, tapi kayanya orang awam pun udah bisa tau lo udah cukup bayar semua dosa-dosa lo ke dia selama ini deh.”

“Kalo aja gue lebih berani waktu itu, mungkin semua gak bakalan kaya gini kali ya.”

“Ya jangan dong, kalo lo berani gue gak bisa sama Mas Naren nanti!” Ujar Owen bercanda dan keduanya tertawa lagi.

“Iya ya? Dia keliatan hidup lagi Wen sekarang, kayaknya lo harus ngambil credits sepenuhnya akan itu deh. Makasih ya Wen.”

Owen menangguk sambil tersenyum tipis, “Mas Arkan…”

“Ya?”

“Sekali lagi, gue minta maaf kalo sotoy. Tapi mungkin kenapa lo gak pernah bisa tenang karena ngerasa Mas Narendra gak aman selain sama lo. Gue ngerti, Mas. Mungkin lo gak pernah denger ini juga dari Baskara, tapi lo bisa percaya gue kalo sekarang, gue bisa jaga dan sayangin Mas Naren sama atau bahkan lebih gede dari lo. Lo bisa tenang sekarang, manusia kesayangan lo ada di tangan yang tepat.”

Owen menepuk pundak Arkano untuk benar-benar menenangkan pria itu, “Gue gak pernah bakalan berusaha gantiin lo, karena gue paham akan selalu ada bagian di hatinya Mas Naren yang dia simpen buat lo, gue gak akan minta, gak akan beruasaha ngapusin juga. Tapi yang sekarang gue berusaha tekenin, ikhlasin dia ya? Now you can sleep in peace knowing that your loved one are in his happiest state.”