— LANJUT NGOBROL

Melbourne, 12.00—

“Hai!”

“Hai, sini duduk. Udah gue siapain. Masih anget juga baru gue angetin tadi.”

“Astaga ngerepotin ya? Maaf ya, Wen…”

“Mulai deh sok gak enakan, udah ayo makan. Gue juga mau lanjut makan lagi.”

Kini mereka berdua duduk berbadapan sambil memakan brunch milik masing-masing, “enak tidurnya?”

“Enak…” Narendra tertawa cengengesan, “Makasih ya gak dibangunin, gue butuh banget ternyata.”

“Tuh kan, tadi aja ngomel.”

“Maaf Wen, khilaf gue.” lalu Narendra tertawa lagi, “Yang lain masih lama?”

“Masih kayaknya, tadi tuh baru-baru dateng gitu makanannya— eh udah deh gak usah minta maaf lagi, makan aja yang bener.” Iya Owen tau waktu Narendra udah mau buka mulut dan yang lebih tua itu pun terkekeh.

“Tadi kita bahas tentang interview, Mas.”

“Interview apa?”

“Kaya jaman-jaman nya pada di interview gimana, terus gue jadi keinget waktu itu pas lo masuk ruangan. Disitu lo udah tau ya gue mirip sama mantan lo?”

“Eh… ketara banget ya?”

“Lumayan sih, tapi kalo boleh jujur gak cuma lo doang yang kaget pas disitu,” nah dapet nih bridgingnya buat ngomong, “Oh iya? Emang kenapa?”

“Inget gak waktu itu alesan gue masuk sini kenapa?”

“Inget. Yang lo bahas soal mantan lo kan?”

“Iya…”

“Kenapa dia?”

“Nih,” Owen menunjukan fotonya bersama Nuraga yang paling pertama dia lihat. Ketika ditunjukkan, mata Narendra membelalak, “Hah serius gak sih?”

“Gila kan? gue juga langsung jantungan rasanya waktu liat muka kalian.”

“Anjir selama ini jadi kita mirip mantan satu sama lain?”

“Iya.”

“Wow…” ada jeda beberapa saat untuk keduanya saling memproses keadaan, “Gue boleh nanya gak gimana kalian putusnya?”

“Gak putus, lebih ke dia ninggalin gue duluan.”

“Tanpa kejelasan gitu?”

“Engga sih, ninggalinnya literally.”

“Eh gimana sih gue gak— oh shit jangan bilang…”

“Dia udah di tempat yang lebih baik, Mas.”

“Owen…” Narendra melekungkan bibirnya sedih, “I’m sorry…”

“No it’s okay. Gue malah seneng dia ada ditempat yang lebih baik dan gak sakit lagi. It was though at the beginning, tapi gue tau itu yang terbaik.”

“Fuck I’m such a jerk am I? You’re in pain when you see me too, dan gue malah jahat sama lo…”

“Mas,” Owen menepuk bahu Narendra perlahan, “gue ngasih tau lo ini buat cerita aja, bukan mau ngungkit masalah kita waktu itu atau buat lo bersalah. Jadi gak usah inget-inget lagi ya?”

“Ok tapi gue tetep minta ma—”

“Iya dan gue udah maafin. Udah ah bahas yang lain aja kalo gitu gak usah ini.”


Narendra kini sedang membereskan piringnya termenung. Terus terang ia masih merasa bersalah karena mendengar cerita Owen tadi. Apalagi waktu lelaki itu sempat mengaku bahwa kadang memandang dirinya saja sudah membuat hatinya tenang.

“Mau ngaku deh. Gue kadang kalo lagi kangen sama dia suka ngeliatin lo aja gitu, Mas.” Ujar Owen ditengah perbincangan mereka tadi, “Ya kaya kebayang aja dia lagi sibuk kerja dibidang yang dia sukain. That’s kind of warms my heart.”

Owen selalu memandangnya dengan kekaguman, sedangkan ia membalasnya dulu dengan kebencian. Tapi pria itu tadi juga bilang, “Ya beda gak sih? Wajar aja lo sebel ngeliat gue, karena kenangan lo sama mantan lo itu buruk. Sedangkan gue wajar aja seneng liat lo, bantu ringanin kangen yang gue rasain karena disaat terakhirnya, kenangan kita bagus.”

“Terus menurut lo dengan kita mandang satu sama lain dan inget mantan kita, itu tanda nya kita gak bisa move on ya?”

“Engga juga. Bukan gak bisa move on. Jalan kedepan ya bisa, lupainnya aja yang engga.”

“Is it a bad thing?”

“Tergantung masing-masing sih. Menurut gue, gak bisa ngelupain seseorang yang pernah membuat banyak kesan di hidup kita tuh normal kok. Bahkan, having someone you will never lose a feeling for juga normal. Tapi kalo gue punya pasangan nanti gue bakalan berusaha untuk ngasih perasaan sayang yang lebih besar ke dia, karena mau gimana pun juga he or she is my future, and Raga is my past. I will try to be happy with them, and keep him no more than just a nice memory.”

“Ini yang lebih tua lo apa gue sih? Kok lo jauh lebih bijak ya?”

“Gak lah, cuma dibagian ini doang mungkin. I’m pretty sure there are bunch of things yang lo lebih ngerti dari pada gue.”

Owen dan segala perlakuan yang membuatnya tenang.

Narendra gak pernah nyangka bahwa dia akan bertemu sosok serupa untuk kedua kalinya dengan sifat dan perliaku yang 180 derajat berbeda. Emang gak biasa, dan kayaknya gak akan pernah biasa ngeliat wajah “familiar” yang selalu ia sambungkan dengan “ketenangan” ada di wujud lain yang wujud nyata dari kata chaos.

A good kind of chaos, of course.

Sampai saat ini Narendra tidak tau apa maksud semesta mendatangkan wujud itu untuk kedua kalinya. Namun yang ia tau, kehadiran Pusaka Brawijaya itu memberikan warna baru dalam hidupnya.

Selesai membereskan bekas makan mereka, Narendra pun bergerak menuju kamar yang ada di lantai dua. Tadi pria yang lebih muda izin lebih dulu keatas karena ingin ke kamar mandi.

“Wen, lo mau nyusul yang lain apa di—” Perkataan Narendra terputus saat dirinya dihadapkan dengan sosok yang sekarang baru keluar dari kamar mandi. Lengkap dengan handuk terlilit di pinggang dan rambut yang masih basah.

Keduanya saling bertatapan. Dan entah kenapa jantung mereka berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

Ada perasaan yang belum pernah muncul sebelumnya dan mereka gak bodoh untuk tau apa yang membuat adrenalin satu sama lain naik itu. Untungnya, momen itu buyar tidak lama kemudian ketika mereka mendengar suara rusuh dari orang-orang yang baru sampai.

“Eh maaf gue gatau lo baru kelar mandi, gue turun deh.”

“Iya gerah makanya tadi gue mandi.”

“Ok.”

“Ok.”