— SEPERTIGA MALAM

Melbourne, 03.00—

Sebagai orang apa adanya, Owen sangat senang dengan keberuntungan yang selalu ia dapatkan. Seperti sekarang, hal sesimple tidur di kamar dan kasur paling besar yang memiliki kamar mandi di dalam saja sudah membuat dirinya bahagia. Jadi dia gak perlu susah-susah keluar kamar kaya temennya yang lain buat buang air besar maupun kecil.

Haha mampus lo Farhan.

Sekarang jam 3 pagi, tapi beberapa waktu lalu Owen kebangun karena pria itu merasa ingin buang air kecil. Matanya sengaja gak sepenuhnya dibuka, biar masih ada kesan ngantuknya dan dia bisa tidur lagi nanti.

Tapi rencana tidur lagi itu gagal dan kantuknya hilang waktu sadar kasur di sebelah miliknya bergerak sedikit. Iya, kasur dikamar ini ada dua, jadi Owen tidur sama Ten dan Narendra sama Taeyong. Tapi dia berada di sisi sebelah kanan dan Narendra sebelah kiri jadi mereka masih samping-sampingan. Gak cuma gerakan aja, sang anak bungsu pun mulai denger suara mengigau.

“Mas…” Owen menepuk kaki Narendra yang tertutup selimut, “Mas Naren…”

Narendra masih bergerak tidak nyaman dalam tidurnya. Lelaki itu berkeringat sampil sesekali menggelengkan kepala, “Mas, Mas Naren…”

Belum berhasil akhirnya Owen pun menepuk pipi Narendra pelan, “Hey wake up, you’re having a nightmare.”

Narendra pun membuka matanya kemudian dengan nafas tersenggal, “Hey, you good?” Sapa Owen yang langsung membantu sang atasan duduk dan memberikannya air putih yang memang sebelumnya sudah ada di atas nakas miliknya, “It’s okay, It’s just a nightmare…”

Owen refleks mengusap kening Narendra yang berkeringat dengan tangannya untuk beberapa saat sebelum tersadar, “sorry…”

“Gue bikin lo bangun ya?”

“Engga kok, gue emang tadi mau ke toilet aja…” Narendra menanggukan kepalanya lalu kembali menunduk untuk mengatur nafas.

Owen terdiam sesaat. Membiarkan Narendra untuk menangkan diri sebelum berujar, “Mau cerita?”


Dan disinilah mereka berdua sekarang, dua kursi di halaman belakang yang menghadap langsung ke sungai tempat mereka menginap, “jadi?”

“Mimpi buruk. Tentang salah satu hal yang paling gue takutin di dunia ini.”

“Do you wanna talk about it? Gue gak maksa, kalo emang itu buat lo gak nyaman.”

“Well,” Narendra terdiam beberapa saat. Terus terang dia gak pernah cerita ke siapa-siapa sebelumnya. Tapi sekarang ia merasa ingin didengar, ia ingin berhenti pura-pura kuat, karena faktanya ini semua terlalu menganggunya, “Gue udah pernah bilang kan kalo gue pernah ditinggal dua kali?”

“Iya…”

“Gak perlu orang bego lah ya buat tau itu semua sesakit apa. Tapi yang gue gak kasih tau ke orang lain, seberapa berat itu ngefek ke gue.”

Iya semua orang tau Narendra sakit hati. Bahkan, walaupun jarang, beberapa kali ia pernah juga menunjukan perasaanya itu pada orang lain. Tapi itu semua hanya sedikit dari apa yang sebenernya ia rasakan.

“My childhood is not the happiest, Wen. Dulu gue gak pernah sepenuhnya dapet yang gue mau karena harus terus-terusan ngalah sama adek gue. Awalnya gue masih ada rasa egois dan bikin gue ngeluh, tapi semakin gede rasa itu malah ngebentuk karakter gue yang gak sepenuhnya bagus. Gue selalu merasa bersalah kalo seneng sama sesuatu yang adek gue gak punya, gue jadi ngerasa udah jadi keharusan untuk nurutin apa mau dia sampe lupa sama kebahagiaan gue sendiri.”

Narendra mengenang masa-masa kelamnya dulu. Dimana hampir setiap hari emosinya selalu ia kesampingkan untuk sang adik, dimana senang yang ia dapat diluar harus dia buang jauh-jauh saat pulang, dimana kehangatan hanya ia bisa dapatkan diluar, dan terutama dari satu orang yang paling berharga dalam hidupnya, dulu.

“Gue merasa kaya selalu ada tangan-tangan yang narik gue mundur waktu gue mau duluin kemauan dan kebahagiaan gue. Dan the only time yang gue bisa bener-bener jadi diri gue sendiri ya waktu sama mantan gue yang pertama. Sama dia gue jadi sadar kalo gue pantes bahagia, pantas diperlakukan sebagaimana manusia lebih dari status gue sebagai kakak dan anak pertama. Sama dia gue akhirnya bisa bernafas dengan tenang dan dapet rumah yang selama ini gue cari-cari. I’m in my happiest version with him.

Owen bisa melihat bagaimana pria disampingnya ini mecintai kekasihnya. Cintanya besar, lebih dari wajar kalau pun sampai sekarang ia belum bisa sepenuhnya melupakan sang masa lalu.

“Tapi semesta itu kejam banget sama kita, Wen. Kita, atau lebih tepatnya dia, terpaksa gak bisa ngutarain isi hati kita dan dipaksa untuk sadar kalo cinta kita itu salah. Hubungan kita itu gak normal, dan gak seharusnya kita bersatu.” berat rasanya untuk Narendra membicarakan hal ini, ia berkali-kali harus mengingatkan diri kalo itu semua hanya masa lalu. Bahwa kini semuanya baik-baik sana.

“Dan dia juga jadi korban dari ekspektasi orang tua dan keluarganya. Dia terlibat perjodohan gak masuk akal dari kakek kita dulu dan diputusin untuk nikah sama adek gue…”

“Dijodohin? Tapi dia gak nolak Mas?”

“Gak bisa, Wen. Emang kedengerannya bodoh, tapi gue ngerti banget gimana susahnya dia buat bilang engga sama orang tuanya. Hidupnya dia itu udah kesetel untuk muasin mau orang tuanya. Gue sepenuhnya ngerti itu, walaupun sakitnya bukan main.”

“Jadi lo ngalah buat adek lo…lagi?”

Narendra selalu dibuat kaget dengan kecepatan Owen dalam menanggapi sesuatu. Pria disampingnya ini memang sepeka itu. Jadi akhirnya dia mengangguk sebelum melanjutkan, “Bodohnya gue dulu mikir pasti seiring berjalannya waktu bisa lah gue lupa, tapi ternyata engga. Karena perasaan gue buat dia ternyata sebesar itu, dan sakit hatinya sedalam itu. Gue rusak, Wen. I’m broken beyond repair dan bahkan waktu udah di titik itu aja gue masih pengen dia bahagia. Dulu gue dengan pedenya bilang pengen dia kesiksa, tapi ternyata engga. Gue gak sampe hati liatnya, gue gak mau dia ngerasain apa yang gue rasain juga.”

“He hurt you, Mas…”

“But he hurt himself too, Wen. Apa yang dia jalanin sekarang juga udah cukup buat balasan atas perilakunya dia ke gue. Ya tapi gobloknya gue terlalu fokus sama sakit hati gue sampe gak sadar kalo gue nyakitin pasangan gue setelah dia juga. Gue terlalu rusak sampai dia pun nyerah buat berusaha sama gue. Bahkan, walaupun semua orang berusaha ngeyakinin gue kalo dia itu tai karena selingkuh, I cannot help my self but understand him. Bahkan ada sebagian dari diri gue yang seneng akhirnya dia bisa dapet bahagianya sendiri.”

“Tapi itu malah memperburuk keadaan lo ya?”

“Iya…” Narendra tersenyum tipis karena lagi-lagi merasa dimengerti, “There is this thoughts in my head that always come whenever I’m defenseless. The one that keeps on saying how gue gak good enough to make people stay. The one that says gue pantes untuk ditinggalin karena terlalu banyak kurangnya. It haunting me even on my sleep. Dan gue gak berani cerita ke siapa-siapa karena gue tau pasti orang terdeket gue bakalan bosen sama masalah gue yang itu-itu aja.”

“Tapi lo butuh bantuan, Mas.”

“And I did reach out for a professional help. For a while, gue bisa tidur lumayan tenang, bisa beraktivitas tanpa digangguin pikiran gak jelas, dan ya bisa jalanin hidup layaknya orang normal. Sampai—” engga, Narendra kini sadar gak seharusnya dia cerita. Karena ujungnya, ini semua berkaitan sama pria disampingnya.

Iya, semenjak ada Owen, Narendra jadi keingat sama Arkano lagi. Dulu semua terasa lebih mudah karena meskipun gak sepenuhnya hilang kontak, dia gak harus ngeliat mantannya itu lagi.

Tapi waktu Owen datang, semuanya seolah balik lagi. Dia ngerasa kaya hidupnya kembali dihantui sama Arkano, itulah kenapa dia seanti itu sama sang anak bungsu. Semua yang ia lakukan waktu itu sejatinya hanya untuk melindungi dirinya sendiri. Dan sekarang, setelah masa itu berakhir, dia malah nemuin rasa nyaman bareng sama Owen. Entah akan berjalan kearah mana dia gak tau, tapi yang jelas kehadiran pria itu udah bisa jadi satu dari sekian hal yang buat dia seneng.

Berat. Narendra berusaha setengah mati untuk meyakinkan diri kalau keduanya berbeda, tapi hati kecilnya gak dengerin dan masih mau semaunya sendiri. Alhasil semua kenangan buruk itu muncul lagi.

“Sampai?”

“Dingin deh Wen, kita masuk aja yuk?”

“Sampai gue dateng ke hidup lo ya, Mas? Jadi a constant reminder tentang mantan lo karena muka kita yang sama.” Ucapan Owen membuat Narendra tidak bergeming di tempatnya. Tuh kan, pria itu terlalu pintar untuk semua siasat nya.

Owen sendiri benar-benar merasa bersalah sekarang. Iya, dia sudah sempat sadar kenapa Narendra bisa seanti itu. Tapi sekarang, ketika dia tau lebih dalam hatinya juga ikut sakit.

Rasanya juga tidak gampang buat dirinya melihat seberapa miripnya Narendra dengan Nuraga. Namun hal itu malah kadang buat dirinya ngerasa tenang. Melepaskan rasa rindunyang kadang terlalu menggebu. Karena apapun yang dia punya sama Nuraga, terlepas dari sakitnya waktu awa-awal, tetap suatu hal membahagiakan yang ingin Owen kenang terus menerus.

Berbeda dengan Narendra yang tersakiti dan ingin melupakannya. Berbeda dengan Narendra yang tersiksa dan harus kembali terganggu kebahagiannya.

“Maaf ya Mas…”

“Bukan salah lo, Wen…”

“Tapi tetep aja. Bahkan waktu lo tidur tadi gue bisa ngeliat seberapa keganggu nya lo. Sekarang gue juga inget kata-kata jahat dan gak pantes gue waktu itu. Pasti nyakitin lo banget kan? Maaf ya Mas, semua ketenangan di hidup lo harus ancur karena kehadiran gue.”

“Wen,” Narendra pun menoleh sambil menggenggam tangan lelaki yang lebih muda itu erat, “Bukan salah lo. Lo Owen, bukan Arkano. Eksistensi kalian di hidup gue juga beda. Jangan dipikirin ya? It’s my self and my own thoughts that I need to deal with. Jangan pernah ngerasa bersalah ok? Lagian kalo boleh jujur, you bring more joy than pain to my life. Gue selalu ngerasa seneng Wen kalo ada di deket lo.”

Dan Owen pun tersenyum mendengar hal itu, “Well, you’re not alone then. Gue juga selalu seneng kalo lagi sama lo, Mas.”