— UNEXCPECTED

Jakarta, 15.00—

“Kamu gapapa ga?” Tanya Narendra saat keduanya kini sedang berada di dalam mobil dengan tujuan berbeda.

“Ya gapapa lah? Kan emang tujuan kita kesini buat ketemu sodara-sodara kamu.”

“Ok,” Narendra tersenyum tipis lalu mulai berbicara mengenai keluarganya, “Mereka tuh bener-bener alasan aku kuat waktu itu. Bener-bener belaiin aku banget deh Wen. Sampe sekarang kayaknya mereka yang lebih sebel sama dua orang itu daripada aku.”

“Oh iya? se-care itu ya mereka?”

“Banget! Kamu pasti suka deh. Mereka kalo misalkan tau kamu sebaik apa pasti pada suka juga.”

“Kalo gitu aku gak sabar.” Ujar Owen sambil menatap sang kekasih dan ikut tersenyum sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan didepannya.

Sesampainya di salah satu restaurant tempat Salite gemar berkumpul dulu, Narendra langsung bisa bertemu sepupu bersama pasangan-pasangan mereka pada bagian yang lebih private.

“Naren!” Seru semua sambil berdiri untuk memeluk sepupu yang mereka rindukan setengah mati itu.

“Mana laki lo?” Tanya Wararya saat semuanya sudah kembali duduk, “Bentar lagi ke toilet dulu dia.”

“Mantap Naren, kalo udah di bawa pulang serius dong ya berarti?” Harit yang duduk di sebelah Anjani pun mulai berbicara. Hal itu tentu saja membuat Narendra tersenyum malu, “doain aja ya, I’m pretty confident with this one.”

“Really?” Anjani tersenyum senang, dia memang selalu yang paling suportif diantara mereka semua, “I’m really happy for you th—”

Semuanya hening ketika Owen berjalan menghampiri. Narendra yang tadinya sedang mengobrol pun menatap sang kekasih dan memanggilnya untuk duduk di kursi kosong sampingnya, “sini Wen.”

“Guys ini Owen,” ujar Narendra mengenalkan pada sepupu-sepupunya, “Pacar gue.”

“Halo semuanya.” Owen tersenyum dengan ramah.

Semuanya saling bertatapan dalam diam, “Dia freelancer di VIP juga, gue ketemunya disitu.”

Masih tidak ada respond, dan perasaan pasangan yang baru datang itu langsung tidak enak. Jantung Owen berdetak dengan kencang, sedangkan Narendra merapalkan doa agar apa yang ada dipikirannya tidak akan kejadian.

“Since no one will say it then I will,” Clarissa menjadi pertama yang memecahkan keheningan, “What the actual fuck Narendra?”

Here goes nothing. Batin Narendra sebelum menjawab, “kenapa?”

“Kenapa? Lo tau kenapa.” Wararya ikut menyambung. Gak perlu orang bodoh untuk tau apa yang sepupu-sepupunya itu maksud, Narendra pun mengerti. Ia hanya terkejut dari sekian banyaknya kemungkinan, yang terburuk lah yang kejadian.

“No,” jawab Narendra masih tenang, “Enlighten me then.”

“Oh come on, don’t play dumb.” Ujar Wararya.

“You know what actually dumb?” Sekarang nada Narendra mulai berbeda, semua bisa merasakan ada ketidaksukaan disana, “You guys acting like this without actually trying to get to know him first. As if what he looked like is all that matters.”

“Ok then tell me that you never think of that fucking Arkano when you see your boyfriend.” Clarissa tak mau kalah. Dan ketika sepupunya itu diam saja ia kembali melanjutkan, “I get it if you have type. But this right here? It’s too low even for you.”

“Naren I’m so sorry for saying this,” Erchimon akhirnya ikut berbicara, “But do you even have respect for your self?”

“FUCK ALL OF YOU!” Seru Narendra akhirnya meledak. Owen yang duduk di sampingnya pun bergerak untuk memegang tangan sang kekasih untuk menahan, “Mas ja—”

“Lo semua sadar gak sih seberapa bajingan omongan kalian barusan? Owen bahkan baru dateng, belum ada interaksi, bahkan belum sempet ngejelasin apa-apa selain nyapa tapi omongan kalian udah kaya sampah gitu tentang gue sama dia?” Narendra menatap mereka semua nyalang. Gak pernah sama sekali dia nyangka sepupu-sepupunya bakalan begini, dan mereka pun gak nyangka bakalan menyaksikan pria itu semarah ini, “You all had it so easy when it come to love. You never go through things the way I did. And right now, when I finally have a breathe form all of that dan bahagia sama orang yang tepat, you all say this to us? Cuma karena dia mirip orang yang ada di masa lalu dan udah gak relevan lagi sekarang?”

Gak ada lagi yang berani buka mulut abis itu. Mereka semua sadar akan kebenaran yang Narendra bilang. Rasa penyelesaian untuk mendahulukan emosi pun mulai berdatangan. Tapi sebelum semuanya bisa berbicara, sang anak sulung kembali melanjutkan.

“You know what sucks? Gue udah kira ada kemungkinan perlakuan kaya gini. Tapi gak dari kalian. You guys are the last people I thought will judge me in any way. But whatever, it’s not like it’s the first time this family disappointed me right?”

“Naren…” telat, Narendra keburu berdiri dan mengenggam tangan Owen untuk keluar dari restaurant itu. Meninggalkan sepupu-sepupunya yang masih menatap punggung mereka berdua penuh penyesalan.

“Wen, aku minta maaf, kamu sama sekali gak pantes dapet perlakuan kaya gitu—” Narendra berhenti berbicara ketika sang kekasih merengkuhnya erat, “I know it hurts you more than It hurt me, Mas.”

“Aku gapapa Wen, aku justru khawatir sama kamu.”

“Aku juga gapapa, kamu tenang aja.”

Nyatanya mereka berdua berbohong. Keduanya jauh dari kata tidak baik-baik saja. Namun bukan Owen atau Narendra namanya kalau tidak memikirkan perasaan orang lain kan?

Tentang perasaan sebenarnya, hanya mereka berdua yang tau. Lagipula mereka yakin, selama keduanya bersama, semua akan jadi baik-baik sana nantinya.