Permintaan Maaf

Selama mengenal Aneska, ini adalah kali pertama Kalandra menginjakkan kakinya di rumah megah milik Keluarga Dewandaru. Ya, meski sudah saling kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar, dirinya dan Aneska bukanlah teman. Jangankan main ke rumah, berbincang lebih dari 1 jam rasanya dulu tidak pernah mereka lakukan. Dan di sinilah Kalandra berdiri sekarang. Lebih tepatnya di depan kamar Aneska. Dia mungkin sudah gila— ketularan dari Aneska.

“Neska kayaknya kecapean. Sekarang dia handle dua perusahaan, arunika dan oil and gas, makanya jadi drop begini.” Ucap Tante Karina menyambut dan mengantarnya sampai depan kamar Aneska. “Makasih, ya, sudah mau menjenguk Neska. Kemarin menengok Tante, kok kayak yang gantian begini, ya, sakitnya.”

Kalandra tersenyum. Tersenyum yang sedikit dipaksakan. Dari ucapan Tante Karina sepertinya beliau tidak tahu mengenai penyebab sebenarnya yang terjadi kepada anaknya. Dan dari sana Kalandra merasa ada yang dirahasiakan. Setelah ini dia akan bertanya kepada Kaluna. Ya, sebab bertanya kepada Aneska sendiri rasanya malah akan membuat dirinya besar kepala. Merasa bahwa Kalandra khawatir kepadanya. Oh, tidak. Kalandra tidak mau mahluk itu merasa menang.

Setelah masuk ke kamar Aneska, Kalandra ditinggalkan begitu saja. Kata Tante Karina, dia tidak mau mengganggu. Kalandra lalu melihat sekeliling. Kamar Aneska sangat besar dengan dominasi warna putih dan hitam. Dan banyak kaca besar terpajang di sana. Kalandra tahu satu hal bahwa fungsi kaca bukanlah untuk Aneska bercermin, tapi agar kamarnya terlihat lebih luas.

Nes, lo sebenarnya kenapa?

Pertanyaan itu lalu Kalandra buang jauh dari pikirannya. Tidak, tidak. Dia menggelengkan kepalanya. Dia kemudian mendekati Aneska yang sedang tertidur di ranjangnya. Ranjangnya pun sangat luas. Mungkin empat orang dewasa masih bisa tidur dengan bebas di sana.

Kalandra lalu duduk di samping ranjang Aneska. Melihat dia tidak berdaya di atas ranjang dengan nafas pendek yang tersengal – sengal, sungguh bukan situasi yang Kalandra harapkan.

“Heh!” Panggil Kalandra. Dia kemudian melihat ke samping, ada ponsel Aneska yang masih menyala dengan tampilan chat terakhir darinya.

Mbul? Shit, kontak gue dinamain itu!

“Heh, Nes! Anes!” Panggil Kalandra lagi. Dia goyangkan badan Aneska dengan satu jarinya. Perlahan mata Aneska pun terbuka.

“Eh, datang?” Ucapnya pelan. Suaranya berat dan sangat parau.

Kalandra lalu menempelkan tangannya di kening Aneska. “Dokter lo udah ngasih obat belum, sih? Kok masih panas?” Tanya Kalandra. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Nih, pake!” Melemparkan plester penurun panas ke hadapan Aneska.

“Pakein dong.” Ucap Aneska dengan memasang puppy eyes.

Shit!

“Nyusahin banget!” Kalandra lalu mengambil plester itu dan membuka isinya. Kemudian dia tempelkan ke kening Aneska. “Udah tuh. Gue balik!” Kalandra segera beranjak, namun tangannya digenggam oleh Aneska.

“Di sini dulu, bisa?”

Jangan, jangan kayak gini.

“Gue kan udah nengok lo, jadi udah cukup.” Kalandra hendak berdiri, namun tangan Aneska malah ditautkan pada tangannya.

Please.”

“Lo kenapa—”

“Permisi, Tuan.” Bibi di rumah Aneska datang sambil membawa nampan berisi minum dan kue. “Maaf, tadi sudah mengetuk, tapi—”

“Itu apa, Bi?” Tanya Aneska.

“Teh manis hangat dan cookies, Tuan.”

“Kala ngga suka makanan manis. Ganti, Bi. Teh tawar hangat sama buah aja.” Jawab Aneska.

“Baik, Tuan, akan Bibi ganti. Sekali lagi maaf, Tuan. Permisi.”

Kalandra kesal. Akhir – akhir ini Aneska seakan memperlihatkan kalau dia tahu banyak mengenai dirinya. Apa yang dia sukai, apa yang dia tidak sukai. Dan semua itu sungguh menyesakkan bagi Kalandra.

“Kenapa sih lo?!”

“Karena gue tahu kesenangan lo?” Aneska seakan tahu apa yang sedang Kalandra pertanyakan. “We know each other more than 20 years, Kalandra.”

Dan selama 20 tahun itu gue benci lo. Benci banget sama lo!

“Kalandra, di sini dulu sebentar.”

“Kenapa?”

“Gue ... ” Aneska menundukkan pandangannya. Ada takut dan cemas di matanya. Dia tidak ingin ditinggalkan.

“Yaudah.”

Dan lagi – lagi Kalandra terperangkap. Dia tak bisa menolak keinginan Aneska. Entah, rasanya sangat sulit.

“Sini. Tidur sini.” Aneska lalu menggeser tubuhnya.

“Lo gila, ya?!” Bentak Kalandra.

“Pasti capek udah kerja, pulang, terus malah ke sini. Tiduran di sini sebentar, biar capeknya hilang, Kala.” Ucap Aneska dengan suara yang lembut.

Jangan, Kala. Jangan. Jangan terperangkap lagi.

Suara itu mencoba menyadarkan Kalandra, namun tidak bisa dia kendalikan. Seakan kata – kata yang diucapkan Aneska itu sangat magis yang membuat Kalandra menurut. Dia menjebaknya sama seperti saat di rumah sakit. Saat itu, dia menurut karena tidak berdaya akibat sakit, namun sekarang kondisinya terbalik. Yang sakit adalah Aneska, tetapi yang terperangkap lagi dan lagi adalah Kalandra.

Tidak pernah Kalandra bayangkan jika dihadapannya sekarang adalah Aneska. Dia kini berbaring di ranjang Aneska. Tangan Aneska melingkar di pinggangnya. Dari sini, Kalandra bisa mencium parfum Aneska, melihat matanya yang memerah, bahkan nafas Aneska yang hangat terasa di pipinya sekarang.

Perlahan, Aneska memangkas jarak. Dia tenggelam di leher Kalandra. Plester penurun demam di keningnya pun sekarang menempel di bahu Kalandra.

“Nes.” Panggil Kalandra.

“Sebentar ... begini dulu, sebentar.” Nadanya begitu pelan. Sangat rapuh. Sangat rentan. Aneska hari ini seperti lapisan es tipis yang disentuh sedikit, maka akan retak dan hancur.

Semakin lama, pelukan itu semakin erat. Panas di tubuh Aneska terasa hingga tubuh Kalandra. Menjalar dan memenuhi setiap sudut tubuhnya. Kalandra pun mendengar ceracau pelan dari Aneska.

“Nes.” Tidak ada jawaban. “Aneska.” Dia lalu melepaskan pelukannya. Mata Aneska tengah terpejam, namun bibirnya bergerak seakan sedang berbicara.

“Aneska. Hei, Anes!” Aneska tetap tidak bergeming hingga terlihat ada air mata turun dari mata Aneska yang terpejam. “Anes!” Kalandra lekas memeluk kembali Aneska. Dia kemudian mengusap – usap punggungnya.

“Kenapa? Ada yang sakit?” Tanya Kalandra.

“Ma ... Maaf.”

Deg!

“Kala ... Maaf. Maafin ... Neska.” Suaranya sangat pelan. Aneska mengigau. “Maaf ... Neska suka jahilin Kala .. Neska suka jahatin Kala. Maaf.”

Suara itu bagaikan suara yang Kalandra dengar belasan tahun lalu. Suara Aneska kecil yang sering menjahilinya saat dulu. Suara Aneska kecil yang selalu mencari perhatian Kalandra kecil.

“Neska ... ngga akan jahatin Kala lagi. Neska ... Neska—”

“Anes, udah. Sekarang tidur, ya.” Kalandra menepuk – nepuk punggung Aneska. “Istirahat.” Dan tubuh Aneska pun seakan menciut, padahal dia lebih tinggi dan besar dari pada Kalandra, namun kali ini Aneska seakan begitu kecil dalam pelukan Kalandra.

“Jangan .. jangan ditolak, Kala. Neska ... Neska akan jadi laki – laki baik.”

Deg!

Rasanya kali ini jantung Kalandra tersentak hebat.

“Neska .. akan lebih baik ... untuk Kala.”

Mendengar itu, Kalandra mengeratkan pelukannya. Matanya pun terpejam perlahan. Ceracau Aneska sudah mulai mereda dan Kalandra pun ikut tertidur. Mereka berdua berpelukan dan saling terlelap di malam itu. Malam yang menjadi awal dari segala permulaan bagi keduanya.

[]