Sorry seems to be the hardest word

Sebuah pemandangan yang aneh ketika Kalandra menghilang selama dua hari dan kembali ke rumah tanpa sedikitpun penjelasan kepada kedua orang tuanya ataupun adiknya.

“Jadi kamu benar ada urusan ke luar kota?” Tanya Mom di ruang TV.

Di sana duduk lengkap Keluarga Adiwangsa; Mom, Dad, Iyan, serta Kala. Semua dengan aktivitasnya masing – masing. Mom duduk di sofa sambil menyaksikan sinetron kesukaannya, Amarah dan Cinta. Dad sedang asyik membaca koran dan sesekali melihat grafik saham melalui tabletnya. Sementara Iyan, entahlah. Dia sibuk dengan gawainya— mungkin sedang chatting dengan pacarnya. Dan, Kala duduk di samping Mom dengan tatapan melamun sambil menatap TV yang bahkan dia tidak tahu itu tayangan apa. Begitulah Keluarga Adiwangsa— apapun yang dikerjakan, tetap harus ngumpul di ruang TV jika semuanya sedang berada di rumah.

“Iya.” Jawab Kalandra pendek.

“Bohong tuh, Mom.” Ucap Iyan sambil memincingkan matanya kepada kakak yang terpaut 7 tahun dari dirinya. “Lo pasti pacaran, ya?”

“Pacaran udelmu!” Kalandra langsung melempar bantal ke wajah Iyan. Tentu saja Iyan merespon kuda – kuda, sudah siap untuk membalas kakaknya, namun ditahan oleh Dad.

“Tidak karena sakit, kan?” Tanya Dad. Raut wajah Kalandra tiba – tiba berubah menjadi panik, namun dia cepat merubahnya. Tak ingin dicurigai lebih lanjut.

“Nggalah, Dad.” Jawab Kalandra cepat. “Ku masuk kamar, ya. Mau istirahat.” Dia lalu berdiri dan segera ke kamarnya. Tidak mau mendapat pertanyaan yang akan mencurigainya kembali.

Sesampai di kamarnya, dia langsung membaringkan badannya di ranjang besarnya. Dia pandangi tangannya yang masih diplester.

“Ngenes sialan! Bisa – bisanya dia ngajak balapan padahal tahu gue baru ke luar dari rumah sakit. Sinting emang!” Ucap Kalandra berbicara sendiri. Tangannya dia kepalkan, masih linu bekas infus. “Ah, Aneska Sialan!”

Kalandra lalu berdiri menuju kamar pakaiannya. Memilih apa yang akan dia kenakan malam ini.

Sigh, ngapain gue pilih baju buat ketemu dia?!” Kalandra memasukkan pakaiannya kembali ke lemari. “Lagi pula ngapain sih gue nurutin dia, ahh … bener – bener bikin gue kesel.”

Dia akhirnya memilih jaket tebal dan sarung tangan untuk agenda balapan dia dan Aneska malam ini. Namun, tiba – tiba terlintas kejadian itu. Dia yang begitu lemas dan ingin memuntahkan segala isi dari perutnya, dipeluk dan ditenangkan oleh Aneska. Hangat, lembut, dan sangat hati – hati.

Jangan, jangan begitu, Kalandra.

“Shit, ahhh …. kenapa kejadian itu harus muncul lagi sih?!” Kalandra buru – buru menggelengkan kepalanya, mengusir segala bayangan akan memori kejadian di rumah sakit itu.

“Mbul ndut … Mbul ndut!”

Kalandra paling benci dengan sebutan itu. Sebutan yang selalu diucapkan oleh seorang anak laki – laki yang sebaya dengannya. Gara – gara mahluk itu, selama dia duduk di bangku sekolah dasar, Kalandra selalu dipanggil Mbul. Laki – laki brengsek itu bernama Aneska Dewandaru.

“Mbul, ini enak manis!” Ucap Aneska sambil memberikan ice cream cone rasa vanila yang dia beli dari kantin sekolah.

“Ga mau. Ke sana, jangan ganggu aku.”

Usiran itu tidak mempan untuk Aneska. Dia malah terus memaksanya untuk memakan ice cream itu.

“Aku bilang ga mau, Aneska. Pergi sana!” Dan ice cream itu jatuh ke buku catatan milik Kalandra. “Ah, Anes ... buku aku jadi kotor!”

Aneska lalu mengambil buku itu dan malah menyiramnya dengan air. “Lihat, ini sudah bersih.” Ucapnya bangga. Namun, justru malah semakin membuat Kalandra menangis.

“Buku aku jadi rusak. Anes jahat!” Ucap Kalandra sambil mendorong tubuh Aneska dan pergi bersembunyi di kamar mandi.

Kalandra benci setengah mati kepada laki – laki itu. Dan lebih sialnya, dia malah selalu satu sekolah dengan Aneska.

Mom, aku ga mau ke SMP 17, aku ga mau ke sekolah itu.” Teriak Kalandra sambil menangis di ranjang.

“Lho kenapa? Sekolah itu paling bagus, di sana ada ekskul berenang. Kamu pasti akan senang sekolah di sana.”

Tidak. Kalandra tidak senang karena di sana ada Aneska.

“Kenapa harus SMA 2? Aku mau sekolah ke luar negeri!”

“Terlalu jauh, Sayang. Dad tidak bisa lihat kamu jauh – jauh begitu.”

“SMA 2 paling bagus lho, Kala.”

Iya, sekolah itu memang paling bagus, namun di sana tetap ada Aneska. Laki – laki brengsek yang setiap hari selalu mengerjainya.

“Hai, Mbul manisku.” Panggil Aneska dengan senyuman— yang sebenarnya begitu manis— namun bagi Kalandra, senyuman itu sungguh senyuman yang ingin membuat dia menonjok Aneska. “Jodoh nih kita, satu sekolah terus.”

“Lo bisa ga sih pura – pura ga kenal sama gue?!”

“Mbul manisku, jangan galak begitu.” Ucap Aneska sambil mencolek dagu Kalandra.

“Ngenes anjing!!!” Teriak Kalandra saat dia mendapati ada kecoa di dalam tasnya. Sungguh itu adalah hal yang membuat dia muak dengan Aneska. Segala hal jahilnya selalu menyiksa Kalandra. Tapi, Kalandra tidak pernah mencoba melaporkan Aneska. Orang tuanya tak pernah tahu bahwa setiap hari Kalandra pulang sekolah selalu menangis karena dikerjai oleh Aneska.

“Kenapa ngga lo laporin aja, sih? Apa karena Anes anak orang kaya? Lo juga orang kaya, Kala. Lo ga perlu takut.” Ucap salah satu temannya. Namun, Kala tidak pernah ingin melaporkan Aneska atas semua tindakannya. Dia hanya ingin satu hal. Satu hal saja.

“Cie ... anak kimia. Cie ... satu fakultas.”

Demi tuhan. Universitas di Bandung ini merupakan impian Kalandra sejak dulu. Semua orang tahu bagaimana dia giatnya belajar agar masuk ke Universitas (baca: Institut) yang berlogo gajah duduk itu. Dan saat ini di hadapannya— lagi dan lagi, laki – laki menyebalkan itu kembali satu sekolah dengannya.

“Kok pura – pura ga kenal gitu sih? Mau kenalan lagi?”

Cukup

“Aneska, Fisika 2011.” Ucapnya dengan senyuman itu. Senyuman yang memuakkan bagi Kalandra.

Segala hal yang dia ingat tentang sosok Aneska, sama sekali tidak ada memori yang indah. Laki – laki itu hanya bisa membuat dia marah dan menangis. Jika ada lomba membenci Aneska, sudah dipastikan Kalandra akan menjadi juara umum.

Dan malam itu Kalandra sudah siap untuk pergi ke Jalan Kasablanka. Dia mengambil nafas panjang. Segala hal yang memuakkan baginya sekarang, akan dia muntahkan malam ini.

“Hai, Manis.”

Cih.

Kalandra langsung membuang muka ketika melihat Aneska sudah di motornya. Dia lalu mematikan rokoknya.

“Udah sembuh?”

“Diem lo, Anjing!”

Aneska malah tersenyum. Ya, laki – laki brengsek ini selalu tersenyum di saat yang tidak tepat dan hanya semakin membuat Kalandra geram.

“Satu putaran, siapa yang paling cepat, dia boleh melakukan apa saja kepada yang kalah. A – pa – sa – ja!”

Can I kill you if I win?” Tanya Kalandra.

Sure, Manis.”

Kalandra mengeluarkan ponselnya. “Tanda tangan di sini.”

Aneska membalasnya dengan tatapan heran. “Gue ga mungkin mangkir.”

“Tanda tangan!”

Fine.” Aneska lalu membubuhkan tanda tangannya di layar ponsel Kalandra. “Mau dimulai sekarang?”

Mereka kemudian bersiap. Aneska dengan helm full face-nya menatap Kalandra yang sudah sangat siap.

Mati lo di tangan gue!

Motor keduanya pun melaju dengan cepat. Tak peduli jika masih ada motor dan mobil lainnya, mereka bagaikan dua orang kesetanan yang sedang bertaruh di jalanan. Kalandra tentu tidak mau kalah, dia akan membalas Aneska. Dia akan membalas semuanya.

Kalandra semakin tak melihat Aneska. Dia seakan-akan menghilang. Tapi Kalandra tidak peduli, yang terpenting dia harus segera kembali ke garis finish yaitu tempat mereka memulai putaran. Senyuman sudah mulai terpatri di wajah Kalandra. Kemenangan sudah didepan matanya. Hingga dia akhirnya memberhentikan motornya.

Yes, mampus lo, Nes! Gue yang menang!!” Teriak Kalandra sambil melepaskan helm-nya dan terduduk di depan Halte Kasablanka.

“Siapa yang menang?”

Suara itu langsung mendapatkan atensi yang sempurna dari Kalandra.

“Sejak kapan lo ada di sini?” Kalandra lalu berdiri, melihat Aneska sudah berada di belakang halte.

“Yang pasti sebelum lo.”

“Anjing, lo curang?!”

“Lo bisa lihat CCTV.”

“Kok bisa?”

“Lo ga tahu, ya, ada yang namanya jalan tikus?”

“Bangsat!” Kalandra langsung menarik kerah jaket Aneska. “Lo emang sengaja, kan? Lo yang pilih tempat ini karena lo udah tahu medannya. Anjing emang lo!!”

“Ini namanya strategi, Manis.”

“Diem lo!!”

Chill, taruhannya tetap berlaku.”

“Lo mau apa? Jawab! Lo mau apa?!” Kalandra sudah merasa kepalanya mendidih. Tangannya pun sudah siap meninju Aneska, jika dia menginginkan hal yang di luar nalar.

“Yang menang boleh melakukan apa saja kepada yang kalah.” Ucap Aneska mengulang kalimat yang dia ucapkan sebelum balapan dimulai.

“Iya, lo mau apa, Anjing?!”

Aneska terdiam. Dia memandang Kalandra dengan lekat. Tangan Kalandra yang dari tadi mencengkram kerah jaketnya, dia lepaskan. Dan Kalandra tidak bisa berkutik ketika Aneska memandangnya seperti itu. Seakan semua kendali sudah digenggam oleh Aneska.

“Gue mau ini.” Jawab Aneska. Dia langsung menarik pinggang Kalandra untuk lebih dekat dengannya. Merengkuh pipinya dan langsung melumat bibir Kalandra. Mata Kalandra terbelalak, kedua tangannya langsung merespon dengan meremas jaket Aneska di bagian lehernya.

Dari jarak sedekat ini, Kalandra melihat mata Aneska terpejam dengan bibirnya yang mencium bibir Kalandra dari berbagai sisi. Tubuh Kalandra menegang. Dia benar – benar seperti kehilangan energi bahkan untuk sekadar mendorong tubuh Aneska. Dia membeku. Dia tidak bisa bergerak. Ciuman itu tanpa jeda. Pemberontakan yang Kalandra berikan pun tampak sia – sia. Dia kalah tenaga oleh laki – laki brengsek ini. Dia yang sudah mencuri ciuman darinya, tidak hanya sekali, namun dua kali.

“Awww!!”

Dengan energi yang Kalandra punya, dia menggigit bibir Aneska dan berhasil melepaskan pagutan itu. Aneska lalu mengusap bibirnya, ada darah di sana.

“Anjing, lo! Berani lo lakuin ini ke gue?!” Teriak Kalandra.

BUGG!

Sebuah tinju mendarat di pipi Aneska hingga dia tersungkur ke tanah. Kalandra menghimpun semua energinya untuk melakukan pembalasan ini.

“Lo emang cowok brengsek, lo emang anjing!”

Dan Aneska tersenyum. Dia tersenyum dengan pipinya yang memar dan bibirnya yang berdarah.

“Kan yang menang boleh melakukan apa saja.”

“Diem lo!”

“Sini. Abisin gue. Pukul gue sampai lo ngerasa puas.” Ucapan Aneska barusan sungguh tak pernah Kalandra duga.

“Kenapa? Kenapa, Anjing?!”

“Biar setidaknya benci lo ke gue reda.”

“Hah? Apa maksud lo?!”

Kalandra langsung menarik kerah jaket Aneska. Dia berada di tengah badan Aneska yang masih tersungkur di tanah.

“Gue mau lo melakukan apa aja ke gue. Apa aja sampai lo puas. Meski mungkin itu ga akan pernah sebanding.” Ucap Aneska pelan.

BUGG!

Kalandra meninju kembali Aneska. “Sini lo!” Dia tarik lagi kerahnya. Kalandra kemudian melakukannya kembali. Tanpa sedikitpun balasan dari Aneska. Sumpah serapah Kalandra ucapkan sambil melampiaskan amarahnya. Hingga di satu titik, Kalandra berhenti. Tangannya memar dan air mata pun menetes dari matanya. Tak bisa dia cegah.

“Kenapa? Kenapa kayak gini?” Hanya itu yang Kalandra ucapkan. Sementara Aneska sudah tak berdaya terbaring di tanah. “Padahal yang gue mau bukan begini, bukan begini, Bangsat!” Ucap Kalandra sambil memukul dada Aneska, pelan namun terasa begitu kuat bagi Aneska.

“Kala ... maunya apa?” Tanya Aneska lirih.

Satu hal. Dari dulu yang Kalandra inginkan dari Aneska adalah satu hal. Satu kata yang sama sekali tidak pernah Kalandra dengar dari 23 tahun dia mengenal seorang Dewandaru itu.

“Kenapa susah banget? Kenapa?!” Tanya Kalandra. Matanya sudah semakin berair.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Aneska bangkit. Dia terduduk di tanah sambil memegang kepalanya yang berdenyut.

“Apa? Harus gimana?”

Maaf. Kalandra hanya butuh Aneska mengatakan itu. Maaf, Kalandra. Maaf atas selama ini. Maaf sudah pernah melukai. Namun, hal itu sangat sulit diucapkan oleh laki – laki itu.

Atau mungkin Aneska tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.

[]