write.as

fever cure

suara ketukan di pintu kamar membangunkan win dari lelapnya. ia tersentak sesaat ketika membuka mata, tak ada pijar lampu dari ruang kamarnya. win hendak bangkit untuk menekan saklar, namun kepalanya terasa berat. seluruh anggota tubuhnya seakan menolak untuk beranjak dari kasur. dan ketika suara ketukan pintu terdengar lagi, dengan sisa tenaga yang ia punya, win menjawab lirih, “masuk aja, nggak dikunci,”

win mengira sosok di balik pintu mungkin pawat, mingyu, atau wonwoo yang mungkin ingin mengecek keadaannya. namun saat lampu dinyalakan oleh sang tamu, win membelalak ketika mendapat sosok bapak kosnya yang berdiri disana sambil membawa nampan berisi gelas.

“loh, bapak?! ngapain, pak?”

bright mendekati win, ia memandang wajah win dengan seksama kemudian melayangkan telapak tangannya pelan ke kening win, “permisi ya,” ia membolak-balikkan telapak tangannya dan menggumam, “tuh, demam lagi kan, kamu.”

win melongo. bukan cuma gara-gara telapak tangan bright yang tiba-tiba mampir di keningnya yang panas, namun kehadiran mendadak laki-laki itu di dalam kamar indekosnya juga membuatnya keheranan. bersama dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat, ia berusaha mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, namun dengan cepat ditahan oleh tangan bright yang lain, “tiduran aja,”

layaknya orang sakit beneran, win menurut. ia kembali merebahkan tubuhnya, sementara bright mengambil alat pengukur suhu badan di nakas. “coba pake dulu,” dan ya, hasilnya kembali seperti semalam. 39 derajat. “kamu itu,” bright meletakkan alat tersebut kembali ke nakas, “sudah saya bilang kamu masih sakit, masih aja ngotot pergi kerja.”

win meringis, ia memegang keningnya sendiri. “gapapa pak, udah biasa.” bright berdecak, ia menyodorkan segelas teh hangat yang ia bawa tadi, “ya makanya jangan dibiasain.” persis kata pawat.

win meneguk teh hangat buatan bright, ia kemudian berceletuk, “serasa di rumah deh pak, apapun sakitnya, obatnya teh anget.” bright tertawa kecil, sambil melihat sekeliling kamar win, ia menarik satu kursi dan duduk di sebelah kasur.

“kamu gak balas chat terakhir saya. terus saya lihat dari rumah, kamar kamu lampunya nggak nyala.” ucap bright. win tertegun, seketika ia ingat kalimat terakhir yang bright ucapkan di kolom chat. belum sempat ia balas, kenapa bisa tiba-tiba k.o begini?!

“oh itu pak, saya...” namun ucapannya diputus cepat oleh bright, “kamu tidur aja,” bright kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu sibuk sendiri menatap layar gadget sambil tetap duduk di sebelah kasur win.

“terus bapak ngapain disini?” tanya win. “ya jagain kamu,” jawab bright sambil tidak melepaskan pandangannya dari ponsel.

“pak, saya tuh gak....”

“kemarin katanya gapapa tapi muntah juga jam dua pagi,” ucap bright lagi. akhirnya ia mengangkat kepala dan menatap win, “kamu tidur aja, biar saya disini sampe kamu tidur. boleh, kan?”

seperti di nina-bobo oleh kata-kata bright barusan, win tunduk dan mengangguk. ia menaikkan selimutnya, melirik bright dari ekor matanya satu kali lagi, yang ditatap sudah kembali fokus dengan ponsel, menonton sebuah video dengan volume rendah.

tidak mau memperlihatkan komuk tidurnya pada yang lebih tua, win berbalik badan, ia memunggungi bright, berusaha memejamkan mata dan menjemput mimpi, dengan bayang-bayang sosok bright yang masih setia di samping kasurnya.