Adimas

Biarkan ku memelukmu
Tanpa memelukmu
Mengagumimu dari jauh
(Mengagumi Dari Jauh, Tulus)

Jauh sebelum kita jadian, gue pernah secara impulsif bilang ke Anjani kalau dia cantik.

“Lo cantik, Anjani.”

Iya, persis seperti barusan. Di depan pelataran rumahnya. Di dalam mobil gue yang pendinginnya masih menyala tapi entah kenapa suasananya bikin gue gerah. Sementara Anjani masih berusaha menenangkan dirinya di samping gue.

“With and without all your makeup.”

Anjani diam seribu bahasa mendengar pengakuan tiba-tiba gue dan gue enggak bisa membaca raut wajahnya. Tapi gue menemukan diri gue yang kewalahan untuk berhenti dengan dia sedekat ini sekarang. Maka itu, gue melepaskan tangan gue dari kemudi dan berbalik untuk menatapnya.

Dia tetap bergeming.

See? Dia memang selalu seperti ini. Selalu bikin gue merasa enggak ada apa-apanya. Karena Adimas Effect yang biasa dialami orang-orang sepertinya enggak akan pernah mempan sama dia dan alih-alih terlihat salah tingkah, dua matanya malah mengamati gerakan gue lekat.

For your information, sebelumnya gue menemukannya tengah menangis di parkiran belakang gedung fakultas kami yang gue tahu biasa menjadi titik penjemputannya setiap kali ia memesan ojek online untuk pulang. Dimana gue biasanya hanya bisa memperhatikannya saja dari jauh-cara dia memakai helmnya dengan lucu, dan cara dia memegang tali totebag-nya erat di jok belakang motor milik siapapun driver yang hari itu cukup beruntung untuk menerima pesanannya dan mengantar dia pulang.

Tetapi hari itu lain. Hari itu rupanya gue yang harus menggantikan para driver ojol menunaikan tugasnya karena dia udah bikin gue khawatir setengah mati sehingga tanpa berpikir dua kali menawarkan diri untuk mengantarnya pulang waktu melihatnya berjongkok di samping kendaraan bermotor yang berjejer di parkiran, sembari masih berurai air mata.

Tawaran yang untungnya juga dia iyakan, meski gue yakin dia ingat nama gue saja enggak. Karena percaya enggak percaya, walaupun nama gue udah enggak asing lagi di telinga mahasiswa-mahasiswa terutama cewek-cewek di fakultas gue, di mata seorang Anjani gue mungkin enggak lebih dari sekadar orang yang nomor induk mahasiswanya berdekatan dengan miliknya. Itu juga kalau dia ingat nama gue atas-bawahan sama dia di daftar hadir kelas kami.

Menurut tebakan gue juga, sebenarnya dia cuma mau gue antar pulang karena dia malu kalau ditanyain sama abang ojolnya kenapa nangis.

Iya, gue dan Anjani memang telah menjadi teman sekelas selama dua semester belakangan ini. Tapi selama itu juga gue menyembunyikan perasaan gue yang sebenarnya karena gue yang udah terbiasa mengamati dia dari jauh.

Bukannya apa-apa. It's just that she's really something else.

Anjani itu aneh. Kalau biasanya cewek-cewek lain akan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga saat berbicara dengan gue atau melemparkan kode-kode agar gue mengantar mereka pulang setiap kali kebetulan mereka sekelompok sama gue, Anjani enggak sama sekali. Oke, sebagai catatan gue bukannya bilang kalau cewek-cewek yang enggak suka sama gue itu aneh ya. Tapi gue juga enggak se-oblivious itu. Gue tahu pengaruh yang gue punya terhadap cewek-cewek di sekitar gue hanya karena penampilan fisik gue. Gue juga enggak akan munafik dengan bilang kalau gue enggak menikmati semua perhatian dan perlakuan yang gue dapatkan hanya karena alasan dangkal tersebut.

Tapi lalu Anjani happened. That pretty thing. Dan untuk pertama kalinya gue merasakan bagaimana rasanya menjadi begitu tidak signifikan.

Sejujurnya awalnya gue kesal juga sama cewek ini. Bagaimana dia akan menyapa Danish yang notabene teman dekat gue setiap kami berpapasan di sekitar kampus, tapi sama sekali enggak pernah menyebut-nyebut nama gue. Padahal siapapun yang menyapa Danish pantang enggak menyapa gue, bahkan teman-teman Danish yang enggak kenal gue sekalipun. Malah banyakan yang menyapa Danish biar bisa kenalan sama gue, tuh.

Kecuali Anjani tentu saja.

Here we are now anyway. Dengan ia yang tengah menatap gue penuh selidik seperti sekarang, dan dengan gue yang tengah menimbang-nimbang kalau-kalau gue boleh mengusap air mata di pipinya karena man, she is crying. And as much as i think she looks pretty now, i don't like what i am seeing.

Pelan, gue mengulurkan tangan, dan ketika ia tidak menepis sentuhan gue, gue usapkan ujung ibu jari gue di pipinya lembut. Hal yang membuat rasanya jantung gue berhenti barang sekejap, entah karena gue harus melihatnya menangis seperti ini di hadapan gue atau karena dia secantik itu dilihat dari dekat. Atau dua-duanya-gue enggak tega sama dia, tapi juga heran ada cewek yang terlihat secantik ini dengan eyeliner luntur.

“Lo cantik waktu lo serius nyiapin presentasi, atau waktu lo seneng ujian lisan lo lancar, atau waktu lo kepanasan nungguin go-ride lo dateng.” gue masih melanjutkan, membenarkan posisi duduk gue sebelum menundukkan kepala untuk menyejajarkan wajah kami dan mengusap lagi air matanya pelan.

Anjani memang enggak pernah bercerita alasan kenapa dia menangis secara langsung ke gue, tapi rasanya gue tahu begitu saja. Dari cara cewek-cewek tukang gosip yang kebetulan sekelompok sama dia memperlakukan dia dengan ketus sepanjang diskusi di kelas tadi. Dari cara dahinya berkerut tidak nyaman, dan dari caranya berusaha menyembunyikannya. Aneh emang, tapi rasanya gue tahu dia memang selalu seperti ini meskipun kami jarang sekali bicara satu sama lain. Seolah gue kenal dia. Dan gue tahu hal-hal seperti tadi bisa melukainya.

“Lo cantik Anjani, and if they can't see it it's their loss.

Untuk yang satu ini, gue enggak tahu darimana gue mendapatkan keberanian mengatakannya pada perempuan di samping gue ini. Tapi mungkin setelah sekian lama gue cuma mau jujur. Sama dia. Sama diri gue sendiri. Dan sama apa yang gue rasakan selama ini, setiap kali melihatnya mengobrol dan ketawa-tawa sama teman-temannya di lobi selagi menunggu kelas kami dimulai. Atau setiap kali dia menunggu pesanan go-ride-nya di parkiran belakang gedung fakultas kami. Setiap mata kami bertemu. Di lobi, di tengah-tengah kelas, di koridor, di kantin, dan dia mengalihkannya dalam sekejap.

“Lo selalu cantik.” gue menyimpulkan seutas senyum, dan memberanikan diri menatapnya. Gue, yang selama ini enggak perlu berpikir dua kali sebelum melancarkan aksi PDKT ke cewek tapi harus memutar otak hanya untuk menanyakan kepada cewek di hadapan gue ini kapan dan dimana kita akan mulai mengerjakan tugas waktu kami kebetulan sekelompok. Gue, yang enggak pernah harus bersusah payah mencari topik pembicaraan tapi mencari-cari alasan cuma agar bisa mengobrol dengannya di kelas dengan cara memintanya mengisikan daya baterai ponsel gue karena dia duduk di sebelah stop kontak (padahal jelas-jelas baterai gue masih 80%). Gue, yang repot-repot bertukar tempat duduk sama Danish saat pembagian kelompok agar gue satu kelompok dengannya. Gue, yang cuma bisa mengaguminya dari jauh.

Anjani diam sedikit lebih lama sebelum membalas tatapan gue dan menyandang totebag di pangkuannya, air mata di pipinya sudah mengering, “Thank you for the ride...”

Just the ride?

Gue bertanya tapi bibir gue terkatup rapat ketika ia membuka pintu mobil gue dan berhenti sebentar guna menoleh ke arah gue, “and for everything.”

And for everything.

Alis gue naik.

She's really something else, isn't she?

“Anytime.” Gue hanya bisa berusaha bersikap biasa di depannya.

“Gue masuk dulu... Adimas.” gumamnya lagi.

Dan begitu saja, Anjani lalu cepat-cepat keluar dari mobil gue tanpa mengatakan apapun lagi, nyaris seperti terburu-buru. Meninggalkan gue yang telah berubah menjadi kembang api sejak dia menyebutkan nama gue untuk yang pertama kali tapi gue harap, bukan yang terakhir.