Anjani

Kusuka gayamu, tingkahmu, senyummu
Tapi kumalu 'tuk katakan padanya
(Mau Tapi Malu, Gita Gutawa)

Aku masih ingat pertama kali bertemu Adimas waktu ospek jurusan karena ia yang memang lumayan mencolok waktu itu. That, and the fact that he's been in the same class as me since what, like freshman days?

Makanya, kalau ada yang bertanya apakah aku kenal sama Adimas Reza Sinatria anak Broadcasting 2016 jawabannya: aku memang kenal.

Then again, who doesn't? I mean he has always kind of been 'the thing'. Pertama, karena penampilan fisiknya yang bisa dibilang lebih superior dibanding anak-anak lain dengan tinggi badan dan wajahnya. Dan kedua, karena dia yang juga jago nyanyi sama main gitar.

Simpel ya? Tapi formula yang kelihatannya sederhana itu aja udah lebih dari cukup untuk bikin dia segera menjadi bahan perbincangan anak-anak perempuan di jurusan kami. Seperti bagaimana cewek-cewek di kelompok ospek yang sama denganku setiap hari kerjanya cuma cekikikan kalau berpapasan sama Dimas yang seingatku selama masa-masa itu didandani culun sekali, dengan kemeja putih berdasi dan celana bahan berwarna hitam serta jas almamater universitas kami-yang entah bagaimana enggak membuat penampilannya kurang suatu apapun anehnya.

Menurut teman-temanku juga, dia udah masuk akun Ganteng Kampus seminggu sebelum kegiatan ospek kami dimulai. Iya, akun yang kerjaannya nge-repost feeds instagram cowok-cowok yang memenuhi kriteria untuk dapat titel “anak gaul” atau “anak hits” atau apalah itu, aku enggak terlalu ngeh. Aku lagi uninstall Instagram soalnya.

Tapi kalau ngomongin Adimasnya sendiri aku setuju ya. Dia memang ganteng. Aku enggak akan mengelak untuk fakta yang satu itu (atau lebih tepatnya, enggak akan bisa). Adimas tinggi, mancung, dan kentara sekali mudah bergaul sama orang. Dan walaupun anak-anak kuliahan jauh berbeda daripada waktu aku masih SMA dulu, aku masih bisa melihat pengaruh yang ia punya terhadap orang-orang di sekitarnya selama kami sekelas sewaktu semester satu. Terus, karena suaranya yang 11-12 sama Vidi Aldiano tadi, dia juga jadi sering banget diminta mengisi acara jurusan kami.

Tapi selebihnya aku sama sekali tidak pernah tahu apa-apa soal dia, aku enggak tertarik ngomongin dia kayak anak-anak kelasku soalnya. Simply, karena aku merasa tidak ada yang istimewa dengan cowok itu.

I mean, what's all the fuss about, really? Cowok ganteng isn't new at all, right? Dunia udah selalu dipenuhi oleh cowok-cowok ganteng sejak dulu. Adipati Dolken, for instance? Joe Taslim? Fedi Nuril? See? There is nothing so special about being fine-looking. Pada akhirnya menjadi ganteng cuma salah satu kelebihan dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan sebagaimana semua orang punya kelebihan, mereka juga datang dengan kekurangan. (Walaupun di kasus Adimas aku hampir enggak menemukan kekurangan itu sih. Tapi siapa tahu dia kalau kentut, kentutnya bau banget? Atau kalau makan nasi padang, nasinya dikecapin? There has got to be one right?)

Anyway intinya adalah, i just don't get the hype about FISIP's it boy itu.

Sampai hari ini.

Hari dimana aku duduk di kursi penumpang di dalam mobilnya yang pendinginnya menyala tapi entah kenapa bikin aku merasa gerah.

Aku juga enggak pernah kepikiran sama sekali kalau suatu saat dia akan menawarkan tumpangannya ke aku. dengan 'suatu saat' itu menjadi hari ini. Waktu aku lagi kesal karena perlakuan enggak mengenakkan dari teman-teman sekelompokku. I mean it's not even a big deal, tapi enggak tahu kenapa rasanya aku kesal sekali. I am so used to people treating me like i am less than but even now i still don't like it. It feels i don't know mean? I'll save the story for later though. Soalnya sekarang cowok yang kini duduk di kursi pengemudi di sampingku ini sedang menatapku lekat, seolah-olah dia berusaha membaca isi pikiranku yang sejujurnya udah enggak karuan sejak tadi tiba-tiba dia ngomong kalau...

“Lo cantik Anjani.”

Aku langsung menoleh ke arah Adimas setengah terkejut, meski sedetik kemudian aku cuma malah lebih terkejut karena menemukan Adimas yang juga turut bergeming dan untuk beberapa detik cuma balas memandangiku. Jujur, ini orang memang ganteng banget sih. Kayak... for no reasons at all gitu lho? I mean how did the world even come up with those eyes? And his smile? And that nose. Kayak kok bisa ya Tuhan kepikiran bikin bentukan dia sedemikian rupa?

Wait what...

Oke oke, fokus Anjani Puspita Sari, fokus. You said it yourself, there's nothing so special about him other than a pretty face. No reasons to get all nervous.

Mungkin dia cuma nyindir aku yang lagi ingusan begini sementara dianya masih wangi dan kemejaan rapi kali? Iya. Pasti begitu. Ish, padahal kalau itu sih aku juga udah sadar diri tanpa perlu dia bilang begitu.

Lucky him, aku lagi enggak mood ya buat gontok-gontokan sama siapapun karena efek dari kejadian tadi. Makanya aku enggak ngomong apapun dan hanya menatap cowok di depanku ini lama.

Eh, bentar bentar. Ini sejak kapan coba tubuh Dimas jadi begitu condong ke arahku?

Dia mengulurkan tangannya pula?

Pelan saja.

Ke wajahku.

Aku berniat menepisnya, tapi separuh diriku penasaran setengah mati sama apa yang akan dilakukannya dan jadilah aku hanya bergeming ketika ternyata ibu jarinya hanya mengusap pipiku dengan sentuhan yang samar. Amat, sangat samar hingga nyaris tidak terasa. Seolah dia tidak pernah ada di sana.

“Lo cantik waktu lo serius nyiapin presentasi, atau waktu lo seneng ujian lisan lo lancar, atau waktu lo kepanasan nungguin go-ride lo dateng.”

Now, is it just me or his pupils just quadripled in size?

Hiks. Tapi ini apa sih maksudnya Ya Tuhan?!

“Lo cantik Jan, and if they can't see it it's their loss.

Mamah, Anjani mau pulang.

Mungkin cowok ganteng memang selalu begini? Walaupun aku enggak tahu juga sih karena aku enggak pernah kenal sama banyak cowok ganteng (Enggak pernah kenal banyak cowok huhuhu). Tapi karenanya aku memutuskan lebih baik aku cepat-cepat berterimakasih sama Adimas saja atas tumpangannya dan pergi sesegera mungkin dari sana. Bukan apa-apa, aku hanya merasa sedikit asing sama sikapnya tiba-tiba. And him being the hottest person i ever laid eyes upon doesn't help at all.

Untung Adimas hanya mengiyakan pamitku. Hanya saja walaupun udah terbaring di atas kasur kesayanganku di kamar dengan sheet mask korea punya Kak Ana yang dia beli di e-commerce dan ia simpan di kulkas untuk stok setiap _weekend _menempel di mukaku, aku enggak kunjung merem juga. Next thing i know, aku malah mikirin cowok itu lagi meski jelas-jelas enggak banyak yang aku tahu tentangnya.

But that's the problem. aku dan Adimas tidak pernah benar-benar saling mengenal kecuali karena kami pernah satu kelas, itu juga di tahun pertama kami. Aku mengenal Adimas sebagai Adimas Reza Sinatria yang entah, enggak banyak yang kuingat soal dia selain nomor induk mahasiswanya atas-bawahan dengan milikku.

Yang paling aku ingat tentang Adimas sebenarnya adalah lagu yang dia nyanyikan waktu aku pertama melihatnya menyanyi di acara jurusan. Waktu itu pertengahan semester 1, dan anak-anak HIMA jurusan kami mengadakan konser amal untuk korban bencana di Sulawesi. Memang cuma konser kecil-kecilan begitu sih, yang cuma melibatkan band-band dari kalangan mahasiswa kampus juga dan Adimas hanya secara kebetulan jadi salah satu yang turut menyumbangkan suaranya.

Adimas cuma duduk di sebuah kursi di panggung kecil di lobi fakultas kami yang tetap minim dekorasi, memangku gitar yang di lengannya terdapat sebuah stiker entah bunga apa yang enggak tahu kenapa begitu menarik perhatianku. Menyanyikan sebuah lagu keluaran 2000an yang lumayan familiar di kupingku.

Kau yang di sana siapa dirinya... Buatku terpana... Kesan pertama sungguh mempesona... Ingin mengenalnya...

Di kepalaku ada suka yang menggila Sudikah kamu mengenalku mendekatiku aku

Aku ingat sekali aku yang baru saja selesai kelas dan lagi berjalan keluar jadi terhenti demi melihat ke arahnya yang masih asyik memetik gitar. Sejujurnya aku tidak menyangka akan menjumpainya dalam keadaan seperti itu.

Aku yang selalu punya sejuta cara... Cara tuk merayu... Tapi yang terjadi aku seperti ini... Ku bingung sendiri...

Di kepalaku ada suka yang menggila... Sudikah kamu mengenalku mendekatiku aku...

No because i remember thinking he looks best that day. Bukan, bukan karena wajahnya ya, kalau itu sih mau dipakai loncat kodok sama dia juga aku berani taruhan dia tetap ganteng. Tapi lebih karena auranya ketika bernyanyi. I don't know. I guess there's something about him playing that guitar. Tatapan matanya, senyum di wajahnya, rasanya seperti baru saat itu aku benar-benar memperhatikannya. Aku ingat mata kami yang bertemu sepersekian detik dan entah apakah ini hanya perasaanku saja, tapi seperti sepasang mata cemerlangnya melembut.

“Lo cantik Anjani.”

Ha.. haha.. maybe i am better off sleeping no?

Kebanyakan mikirin cowok itu enggak sehat buat aku kayaknya. Lagian besok aku ada kelas pagi juga. Sayang juga nanti bisa-bisa sheet mask-nya enggak ngefek kalau aku enggak tidur-tidur.

Well i just wish i don't dream about a certain heartthrobe though.

Just... no dream about a certain campus heartthrobe please...