pangeran kecil

Papah sering cerita ke aku, kalau rumah kami ini dibangun dari cinta.

“Rumah kita dibangun dari cinta lho, Kak.”

Kayaknya sih dia cuma iseng aja, bilang begitu di tengah kegiatan kami mencuci mobil setelah selesai sepedahan Minggu pagi agar aku ketawa. Tapi bukannya ketawa, aku malah hanya bisa senyam-senyum, membuatnya menyenggol lenganku pelan.

“Kok enggak ketawa, Sa?”

“Habis kayaknya bener sih Pah.” sahutku kalem, menahan senyum.

Papah menatapku lama, seolah ekspresiku adalah teka-teki yang harus dipecahkannya, tapi aku tetap tersenyum. Papah kemudian menautkan alisnya heran, meski diusapnya juga puncak kepalaku lembut sebelum membalas senyumku. Tahu kan sekarang, kalemnya aku ini menurun siapa?

“Papah baru tahu anak Papah romantis banget kayak pujangga.”

“Kan emang anaknya pujangga. Papah gimana sih?”

Papah yang enggak lagi minum apa-apa entah bagaimana bisa keselek, “Maksudnya, Kak?”

“Maksudnya Kakak enggak sengaja baca surat-surat Papah buat Mamah dari jaman Majapahit, alias jaman kalian masih pacaran.”

Papah keselek lagi, menatapku dengan mata bulat enggak percaya. Kalau lagi kayak gini, rasanya aku mengerti kenapa tante, om, dan orang-orang di sekitar kami seringkali bilang aku mirip banget sama Papah. Bentuk mata kami memang amat serupa. Mata bulat Papah itulah yang seringkali kulihat di cermin.

Papah juga masih muda. Meski sudah enggak semuda dirinya di foto-foto lamanya bersama Mamah yang ia simpan di album kenangan dan folder-folder di komputernya—dan yang kadang aku buka kalau lagi ingin turut merasakan kenangan-kenangan mereka lewat foto-foto itu. Rasanya menyenangkan menelusuri perjalanan mereka seperti itu. Seolah aku sudah menjadi bagian mereka sejak mereka masih pacaran dulu. Ada foto mamah di kencan pertama mereka-bioskop salah satu mall yang sekarang sudah dipugar, foto Papah di kencan kedua mereka—warung seafood pinggir jalan dan kencan-kencan lainnya yang sebetulnya masih bisa dihitung menggunakan jari kedua tangan dan kaki.

Papah dan Mamah memang cuma punya satu album kenangan dari masa pacaran mereka. Menurut Papah, hal itu karena mereka berpacaran di usia yang mengharuskan mereka untuk sedang sibuk-sibuknya. Papah dan Mamah yang ternyata alumni dari kampus yang sama dipertemukan lagi ketika mereka sama-sama bekerja di sebuah perusahaan rintisan di ibu kota. Meski semasa kuliah mereka tidak begitu mengenal, sebagai dua orang yang sama-sama berada di perantauan, Papah dan Mamah dengan cepat mengakrabkan diri. Menurut Papah sama Mamah kisah mereka sama sekali enggak romantis, karena bahkan untuk bertemu saja mereka cuma bisa mengandalkan libur hari minggu. Menurutku, itu justru amat sangat romantis.

“Kamu nemu dimana, Sa?”

“Di gudang. Waktu aku nemu kamera filmnya Mamah itu.”

Yang kumaksud adalah kamera analog tua yang kutemukan di gudang kecil rumah kami. Tadinya aku lagi nyari glass deco yang sering aku mainkan waktu aku masih SD, tapi kamera itu lebih menarik perhatianku dibanding sekotak puzzle 3D. Kamera itu ada di sebuah kotak kardus berisi surat-surat tanpa perangko. Jadi kuasumsikan surat-surat itu memang enggak pernah dikirim lewat kantor pos. Surat-surat itulah puisi-puisi Papah yang entah apakah sudah pernah dikirimkan atau belum.

“Punya Mamah itu, mamah dulu suka foto papah pakai itu.” begitu penjelasan Papah mengenai barang temuanku hari itu. Aku memutuskan membawa kotak kardus itu ke kamar, dan cukup bersenang-senang mengotak-atik barang peninggalan mereka tersebut.

Mendengar ceritaku Papah berdecak seolah aku baru aja bermain curang.

“Kenapa Pah? Malu ya ketahuan kalau dulu yang bucin itu Papah?” ganti aku yang menyenggol lengan Papah yang kini berjongkok membersihkan ban di sampingku.

“Ada juga Mamah yang bucin Papah, Kak.”

“Papah yang nulis kalau Mamah perempuan supernya Papah,”

Papah menghela nafas sebelum menggaruk tengkuknya salah tingkah.

“Berarti yang buciiiiiin...?”

“Ini rodanya kok belum dibilas sih, Kak.” Papah pura-pura berdiri untuk mengambil selang air. Membuatku tertawa karena usahanya untuk menghindar dari tuduhanku barusan.

“Seru banget, mamah boleh ikut nimbrung nggak?”

Lagi asyik begitu, Mamah yang sebelumnya sibuk di dapur datang membawakan sepiring bakwan udang yang masih hangat. Papah yang tadinya lagi tersipu-sipu karena kugoda, lantas melemparkan senyuman terlembutnya ke arah Mamah. Bener kan, bucin!

Papah sering cerita ke aku, kalau rumah kami ini dibangun dari cinta. Seraya Papah merengek minta disuapi sepotong bakwan udang karena tangannya masih penuh dengan sabun cuci mobil, dan seraya Mamah tertawa untuk tidak hanya menyuapi Papah tapi juga aku, aku menyetujui kalimat Papah tersebut.

Rumah kami ini dibangun dari cinta.