skinny love

mantan pacarku punya daun telinga lebar yang membuatnya nampak seperti salah satu karakter terkenal dalam seri opera yang bercerita tentang peperangan antar galaksi.

aku bertemu dengannya setelah sekian lama di satu sore berhujan. aku dengan segelas karton berisi kopi hendak membayar, sementara ia berada tepat di sebelah rak yang entah bagaimana terlihat begitu mungil dibandingkan tubuhnya dengan sejumlah bingkisan makanan ringan di kedua tangan.

“elo?” suaranya naik satu oktaf berikut kedua alisnya-benar-benar tidak mempedulikan fakta kalau minimarket 24 jam ini bukan punya neneknya.

kalau statusku masih sama seperti beberapa tahun silam, aku kini pasti telah menghadiahinya sebuah geplakan yang cukup keras untuk membuatnya melolong kesakitan sebagaimana kami dulu biasa bersua. tapi tentu saja tidak kulakukan, mengingat siapa dan dimana kami sekarang.

“beneran elo nih?” ia berjalan ke arahku, membuat sebungkus keripik kentang rasa keju terjatuh dari tangannya, disusul beberapa yang lain ketika ia menunduk untuk memungutnya. spontan aku yang masih dalam keterkejutanku berubah menjadi sebuah tawa kecil, meletakkan kopi di konter dan ikut menunduk untuk membantunya memunguti bungkusan-bungkusan itu sebelum berjalan lebih dulu ke kasir. mantan pacarku itu tak lama kemudian menyusul di belakang dengan cuping telinga yang memerah karena malu dan turut menyerahkan beberapa bungkusan makanan kecil tersebut kepada perempuan di belakang meja kasa yang tidak banyak berkata-kata.

kemudian yang terjadi selanjutnya seperti ini: aku menemukan diri duduk di hadapannya tanpa banyak bicara—berusaha mengabaikan tatapannya yang mengikuti gerakanku sampai akhirnya aku menyerah dan kedua mataku dipertemukan juga dengan dua maniknya yang menyerupai sepasang mata seekor anak anjing.

enggak berubah ya, dia itu.

“ngopi juga lo sekarang.” dia berdecak.

baru juga kukatai mirip anak anjing, mantan pacarku menumpu dagunya pada kedua tangan dan memajukan badan untuk mengamatiku lekat berikut seutas senyuman yang entah mengapa bagiku membuatnya terlihat sebanding dengan anak anjing yang tengah menjulurkan lidah sembari menggoyang-goyangkan ekornya.

nah, udah berubah jadi anak anjing betulan dia.

“sumpah lo apaan sih teriak-teriak kayak gitu... malu banget gue.” aku akhirnya membuka suara, menutup wajahku dengan konyolnya menggunakan kedua tangan setelah menyesap kopiku dan berubah menjadi diriku yang lama di hadapannya terlepas semua perasaan asing yang masih meliputi.

“sori, sori. habis random amat tiba-tiba ada elo depan konter kopi.” ia terkekeh-kekeh geli.

mantan pacarku itu rupanya masih punya kekuatan super yang membuat siapapun membuka diri di hadapannya karena penerimaan yang selalu memancar dari bahasa tubuhnya.

entah mengapa aku jadi tersenyum dibuatnya sebab, kapan terakhir kali aku mendengar suaranya ya? seingatku setelah putus kami memang langsung hilang kontak. bukan karena kami berniat menghapus diri dari hidup masing-masing, melainkan kehidupan yang memang bergerak terlalu cepat. tahu-tahu aku pergi, dan tahu-tahu dia kembali.

tapi melihatnya tiba-tiba ada di hadapanku seperti ini-dengan rambut ikalnya, kacamata yang ia pakai ketika ia malas mengenakan lensa kontaknya, celana pendek dan ponco kebesarannya-membuatku bertanya-tanya kalau-kalau semesta sedang ingin bergurau denganku. “apa kabar, can?” aku yang bertanya lebih dulu pada akhirnya, kali ini dengan intonasi yang lebih bersahabat dan untuk pertama kalinya menyebutkan namanya.

“jiah, pertanyaan lo.”

candra, mantan pacarku itu, tergelak. kakinya yang panjang menjulur hingga telah sampai di sebelah kursiku.

aku bloon sebentar, “hm?”

“ya itu, nanyain kabar mantan. klise banget tahu enggak?”

aku memicing. aku pasti nampak ingin melemparnya dengan segelas kopiku sekarang, karena sejurus kemudian dia terkekeh-kekeh sembari berkata, “ampun, ampun.”

tetapi setelah beberapa menit mengobrol dengannya, akupun jadi tahu beberapa hal tentangnya sekarang seperti bahwa rupanya:

  1. ia masih ngeband bersama teman-teman kuliahnya dulu.
  2. ia masih ngekos di kos-kosannya yang lama.
  3. ia masih berhubungan baik dengan keluarganya meski menurut keyakinannya sebentar lagi papahnya akan mencoret namanya dari kartu keluarga saking tidak menentunya masa depannya.

yang ketiga tentu membuatku mengerenyit waktu ia memberitahunya dan berpikir kalau asumsi kedua orang tuanya soal masa depan yang tidak menentu tidak cukup masuk akal kalau cuma didasari kuliahnya yang terbengkalai. tapi waktu aku bilang begitu, candra menaikkan kedua alis dan secara impulsif mengacak rambutku, seperti kebiasaannya dulu.

“pinter banget, bebek.”

iya, 'bebek'. panggilan alaynya untukku yang kami pikir imut sekali dulu. aku tidak menyangka candra bisa mengungkit semua yang berhubungan dengan masa lalu sesantai itu.

“ih jangan sembarangan acak-acak rambut gue deh lo!” rewelku, merapikan anak-anak rambut yang mencuat ke sana kemari akibat perbuatannya.

“kenapa, takut baper?”

maka pecah sudah kecanggungan di antara kami, ketika akhirnya aku betul-betul menghujani lengan besarnya itu dengan pukulan kesal dan ketika ia betul-betul berteriak minta ampun sembari mencoba menangkis tanganku, membuat satu-dua orang yang juga tengah menunggu hujan reda di emperan minimarket kesayangan kaum kelas menengah ini melemparkan raut penuh tanya.

candra akhirnya berhenti ketawa ketika aku melepaskannya dan kemudian tersenyum sumringah. senyum lebar yang khasnya sekali, yang pernah membuatku jatuh suka sekali kepadanya, dulu, sewaktu aku masih anak remaja belasan usia. senyum yang selalu menampilkan sisi dirinya yang paling tengil, paling sok, paling ngehek dan paling-paling lainnya. senyum yang menemani kejutan ulang tahun ke-tujuh belasku, senyum yang ada di foto di hari kelulusanku, senyum yang juga akan mengecup puncak kepalaku ketika aku butuh tempat bersandar. namun juga senyum yang pada akhirnya harus menjadi mendung yang membasahi kami berdua.

“maafin gue...”

“hey, there's no need to cry okay? it's alright. you'll be okay. we'll be okay.”

rupanya aku tak hanya mengingat senyumnya yang ceria, tapi juga senyumnya yang getir kala itu sebelum meringkasku ke dalam pelukan perpisahan yang bersahabat di dalam mobilnya yang mengalunkan pelan lagu bon iver yang amat kuhafal, menjadi latar perpisahan kami.

i tell my love to wreck it all cut out all the ropes and let me fall my, my, my, my, my, my, my, my right in the moment this order's tall

“nih.”

belakang panggung. festival musik tahunan di sekolah kami. aku, candra, sebotol minuman dingin.

“jangan ampe pingsan di panggung gara-gara demam panggung ya lo hahaha.”

candra menerima fruit tea dingin yang kuulurkan tapi tanpa mengucapkan apapun. enggak ada 'thanks' kecil yang biasa dia ucapkan dengan penuh kebelaguan seperti biasa dan dua matanya hanya lekat menatapku.

aku menaikkan kedua alis, “can?”

tidak ada yang berubah pada sorot matanya.

“lo nervous ya? santai dong, lo kan udah sering latihan. lagian gue jamin deh satu angkatan elo yang paling jago ini gebukin drum.”

candra diam lama, lalu tanpa diduga-duga mengatakan hal yang kedengarannya seperti: “gue mau nembak lo entar di panggung.” air mineral yang kuminum hampir masuk ke saluran yang salah.

“can?”

“doain.”

berikutnya yang kuingat hanya aku. barisan depan. senyumnya. lesung pipi itu. satu lagu sheila on 7. riuh rendah teman-teman kami ketika candra turun dari belakang drumset-nya untuk menghampiriku. dan tepuk tangan serta seruan-seruan norak waktu aku menerima uluran mikrofon dari entah siapa lalu ikut menyanyikan anugerah terindah yang pernah kumiliki. it's cliche. but the kind that i like.

“makan yuk.” candra kembali menyadarkan lamunanku, menoleh ke arahku dengan tangannya yang terulur ke depan menadah air hujan, membuatku yang juga tengah memperhatikan tempias di telapaknya ikut tertegun oleh ajakannya.

“hah?”

“yeee malah ngelamun ini anak.”

candra berdecak, dengan satu gerakan cepat diulurkannya tangannya menyeberangi meja dan dibasuhkannya tetesan air hujan yang terkumpul di tangannya ke wajahku. wajahku. membuatku akhirnya meneriakinya tanpa bisa ditahan.

“cumiiiiii??!!” kalau yang ini, panggilan alay-ku untuknya.

“hahahaha,” candra ketawa, sebelum bangkit dari kursinya dan berdiri di sebelahku, “sini sini.”

“apaan sih lo!!!!!”

aku masih cemberut ketika ia mengulurkan tangannya pelan untuk mengusap mukaku lagi, kali ini lebih lembut karena bermaksud membersihkannya. aku menengadah, menatapnya yang juga menunduk menatapku dengan tawa yang tak usai.

“gue rukiah, sebelum lo kesirep karena melamun!”

aku mendengus, kembali mengaduk es batu di dalam gelas kartonku dengan sedotan kemudian, “mau makan apa?”

“apa aja yuk. laper ini gue.” candra mengelus perutnya dengan lebay, membuatku memutar mata.

tapi begitulah bagaimana kami berdua berakhir di mobilnya yang baunya seperti hutan pinus, memindai warung makan yang masih buka dengan badan dan kepala setengah basah akibat aksi menerobos hujan yang kami lakukan barusan.

“tas gue dong.” candra bergumam, dua matanya masih lekat pada jalanan dan aku harus menoleh ke arahnya untuk memastikan, “hm?” “tas gue. di belakang,” ulangnya, kali ini sembari menatapku. “tadi gue bawa handuk dua, masih bersih.”

menuruti kata-katanya barusan, aku pun menoleh untuk menemukan tas serbagunanya yang biasa ia gunakan setiap ia harus pergi ke gym. aku membawanya ke pangkuan dan membuka risletingnya, menemukan botol air minum yang setengah kosong, travel bag berisi beberapa toiletris dan... handuk. ketemu!

“nih.” aku menyodorkan sepotong handuk kecil itu.

“lo enggak lihat apa gue lagi nyetir?” kekehnya.

jeda.

“yaelah bengong lagi? usek-usekin pala gue buruuu.”

aku meragu untuk sesaat. tapi tidak ada yang janggal tentangnya saat ini. tentang kami. tentang ini. maka pelan tubuhku condong ke arahnya, merapatkan jarak di antara kami.

“lo masih suka nge-gym sama sadewa ya?”

aku mulai bertanya sembari menyampirkan handuk berwarna putih itu di kepalanya. di atas ikal rambutnya. bisa kurasakan candra mengangguk pelan dari gerakan kepalanya dan sembari berusaha mengusap kepalanya aku menjulurkan leherku yang jelas tetap tidak mengkompensasi perbedaan tinggi kami berdua.

lalu tiba-tiba setir dibanting.

“eh gue enggak bisa lihat!!!” teriaknya heboh waktu handuk itu jatuh ke mukanya.

aku yang panik langsung menarik kain itu, mobil kami masih jalan lurus tapi kegaduhannya lah yang memantikku.

aku berdecak, menyadari ia tengah tertawa. puas dan lama.

“rese lo!” aku melemparkan handuk itu, yang kembali ditangkapnya dengan tangkas.

“elo tegang amat gitu doang.”

aku tidak menjawab.

“jadi mau makan apa nih kita hm? cumi? ayam?”

“makan elo dong cumi?”

“anjir,” candra ketawa, “maksud gue, elo kan suka cumi.”

aku mendengus, menahan senyuman. gue juga pernah suka elo, dulu. suka banget.

kami masih berusaha memutuskan untuk beberapa menit kemudian tapi pada akhirnya tentu saja pilihannya jatuh pada gerai perusahaan restoran cepat saji yang terkenal dengan menu ayamnya.

“yes! makan.” ujarnya kelewat menggemaskan sesaat setelah ia mematikan mesin mobilnya, dengan segera melepaskan dirinya dari sabuk pengaman dan membiarkan aku hanya memperhatikannya dengan senyum samar. namun seolah tahu sedang diperhatikan, candra kemudian cuma menoleh sembari melempar senyum.

waktu aku akhirnya turun, candra telah menunggu di belakang mobil dan tangannya dengan segera terulur begitu melihatku, menarik tubuhku dalam rangkulan bersahabat. hangat merebak. candra tercium seperti aroma hujan dan deodoran lelaki. kebetulan tubuhku begitu mungil dibandingkan dengannya dan dengan segera aku tenggelam di kuncian lengannya.

“dingin deh. lo dingin enggak?” candra mengusap pundakku naik-turun dengan tangannya yang melingkar di tubuhku.

aku menoleh ke arahnya lama. menemukan profil samping wajahnya yang tidak berubah sama sekali sebelum dia menoleh untuk tersenyum ke arahku.

“lumayan.” jawabku sekenanya.

lumayan.


tentu saja kami akan berakhir seperti ini.

duduk di meja yang paling dekat dengan pintu masuk dengan pesanan masing-masing yang sudah kami hafal di luar kepala. burger keju dengan telur dan es kola untuk candra, lalu paket nasi dan ayam untukku.

“eh,” ia membuka percakapan seraya mengunyah satu gigitan besar.

“gue belum nanya tadi kabar lo gimana ya?”

“baik.” aku turut mengunyah bersamanya sambil menguliti kulit ayam di piringku.

“kalau...” ia mengulur kalimatnya sebentar sebelum menyelesaikan, “pacar? gimana?”

hening, candra mencondongkan tubuhnya dan aku menaikkan alis ke arahnya yang hanya disambut ketukan konstan jemarinya pada permukaan meja sebelum mengalihkan pandang ke arah jalanan.

aku kenal candra. aku kenal kejujurannya yang serupa kejujuran anak usia lima. makanya aku berusaha tak ambil pusing dengan pertanyaannya dan menjawab sekenanya.

“mana sempet gue mikirin gituan can.” seperti yang kubilang, jawaban yang amat, sangat sekenanya saja.

“lah, terus yang sering lo repost snap-nya itu?”

“yang mana?” aku pasti terlihat berusaha berkelit.

“yang gue pernah stalk IG-nya juga dah kayaknya. jadi belum resmi jadian?”

hening lagi.

“hei,” suara candra terdengar lagi, “how's it in there?”

“hm? dimana?”

candra mengulurkan tangan tanpa aku duga-duga dan menjitak kepalaku pelan, “tuh, dalem situ,” katanya, lantas mengambil jeda untuk mengarahkan telunjuknya ke depan dadanya, “sama di sini.”

how is it in here?

aku berhenti sejenak.

“gue pernah nyakitin lo gak sih can dulu?” alih-alih menjawab pertanyaannya aku malah bertanya.

ia menggeleng, sibuk membantu menguliti ayamku, sebelum dengan cepat meralat dengan tawa ringan, “eh pernah sih, waktu sikut lo kena muka gue hahaha.”

aku yang tengah serius ganti ketawa pelan, “waktu jalan pertama kali itu ya.”

“sakit banget itu anjir gue sampai mau marah ke lo. untung sayang.” ngerti kan maksudku tadi soal kejujurannya?

“sekarang masih sakit enggak?”

“sekarang udah enggak.”

aku senyum, “maaf ya.”

hening, untuk waktu yang lama. aku bisa merasakannya memperhatikanku yang tengah menatap segelas es kola lekat dengan senyum aneh di wajah.

“lo sendiri gimana?” tanyanya. “masih sakit enggak?”

entah kenapa aku merasa dia tidak sedang menanyakan soal sikuku. aku tersenyum tanpa sadar, menatapnya yang masih bergeming,

“masih.” jawabku, mencoba jujur.

candra menghela napas, menatapku lama tapi juga mengerti.

“maafin gue.”

aku menenggak habis es kolaku sebelum tersenyum ke arahnya.

maafin kita.

aku ingin bilang. tapi tidak bisa, aku hanya mampu mengalihkan pandang keluar.

hening, candra menunggu.

“lo sadar enggak sih can, kalau mungkin gue memang enggak bisa ngasih lo apa yang lo butuhin, dan begitupun elo. dan hubungan kita enggak berjalan karena ya, simply we were not meant to be. bukan salah siapa-siapa.”

“yeah. it's as simple as the saying that goes 'we deserve better'.”

aku tertawa getir, seketika pipiku basah. do i deserve better? ratusan gambar tentang hubunganku yang berakhir menyedihkan setelah candra berputar di kepalaku seperti sebuah kilas balik.

“elo tuh..”

kurasakan candra menggeser kursinya ke sebelahku sebelum mengulurkan tangannya untuk mengusap kepalaku pelan. gestur yang dia tahu selalu aku suka. lalu berikutnya yang kutahu aku sudah menangis di pundaknya.


and i told you to be patient and i told you to be fine and i told you to be balanced and i told you to be kind and in the morning i'll be with you but it will be a different kind and i'll be holding all the tickets and you'll be owning all the fines

“widih, lagu kita 'beb'.” candra tiba-tiba menyeletuk mendengar alunan lagu bon iver versi penyanyi kaver diputar.

aku yang sedari tadi diam cuma bisa terkekeh karenanya. rupanya dia masih ingat soundtrack kita putus.

“skinny love...”

“cinta kurus...”

“cinta monyet ah elah.”

“ya kan google translate-nya cinta kurus.”

“terserah elo deh, emang dasar cumi.” keluhku.

candra senyum, dua mata kami lekat satu sama lain dan dari situ aku kembali menemukan konsolasi seperti sebelumnya. sebuah tepukan di pundak yang bersahabat. sebuah penghiburan bahwa semua akan baik-baik saja. bahwa rupanya setelah semua yang terjadi, ia baik-baik saja dan mungkin kelak, kelak aku juga.

“lo beneran turun sini aja? gue bisa kok anter lo sampai kosan.” tawarnya ketika akhirnya kami sampai di tempat yang aku minta. aku menggeleng.

“udah sini aja. sori ya ngerepotin.”

aku baru melepas sabuk pengaman dan hendak pamit ketika ia berujar, “gue boleh peluk lo enggak sih?”

aku jawab dengan uluran kedua tanganku yang segera berubah menjadi rengkuhan hangat ketika ia menyambutnya.

“take care, bebek.”

“lo juga. take care ya, cumi.”

aku kemudian merogoh ponselku dan menghubungi seseorang yang sudah seharusnya aku hubungi sejak tadi, atau kemarin, atau sejak dulu. sejak aku selalu takut akan ketidakpastian.

“halo?” suara di seberang sana terdengar ragu, seolah tidak yakin aku yang memang meneleponnya dan bukan kepencet.

“mas... bisa jemput saya enggak?”

mantan pacarku punya daun telinga lebar yang membuatnya nampak seperti salah satu karakter terkenal dalam seri opera yang bercerita tentang peperangan antar galaksi.

aku bertemu dengannya setelah sekian lama di satu sore berhujan.

i tell my love to wreck it all cut out all the ropes and let me fall my, my, my, my, my, my, my, my right in the moment this order's tall