Time Will Tell

Danish penasaran setengah mati, berapa waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sembuh dari patah hati?

Apakah setelah sebulan semuanya bisa menjadi baik-baik aja? Dua bulan? Enam?

Berapa lama sampai hati seseorang berhenti bercekit ketika ia mengingat pahit yang dirasa dan alasan dari rasa sakitnya? 1 kali 24 jam? Atau 100 kali 24 jam?

Lalu apakah di dunia ini semua hati akan merasakan patah?

Kalau iya, then this world sucks. Big time. Walaupun Danish tahu dalam hati memang begitu adanya. Bahkan anak kecil saja pasti mengerti rasanya patah hati, contohnya saat ibunya menolak membelikan mainan atau es krim yang mereka mau sampai mereka tantrum. Mungkin, kecuali psikopat atau serial killer yang kasus-kasusnya suka dia tonton di Buzzfeed Unsolved sama Netflix documentary kalau lagi malming terus dia gabut kali ya?

Iya gabut. Maklum, malmingnya Danish sama kayak malam-malamnya yang lain soalnya, hanya minus di tugas-tugas kuliah yang biasanya udah ia selesaikan secepatnya. Tapi anyway, rasa-rasanya Danish bisa dengan pede menyebutkan kalau enggak mungkin ada seorang pun yang lolos dari kemungkinan hatinya remuk oleh berbagai alasan, entah itu putus atau gagal cinta, atau harapannya enggak terkabul dan lain-lain.

Untuknya sendiri, alasan itu datang dalam bentuk pesan singkat yang ia terima kurang dari 24 jam lalu. 13 jam, kalau menurut time stamp di layar ponselnya yang masih menampilkan jendela percakapannya dengan... seseorang.

“Nish!”

Suara langkah kaki di depan pintu kamarnya adalah Adimas, teman seatapnya di rumah indekos yang ia tinggali sejak menjadi mahasiswa meskipun sebetulnya rumah keluarganya sama kampusnya masih satu kota. Menurut dugaannya, sebentar lagi temannya itu akan ribut mengetuk pintu kamarnya untuk mengajaknya membeli menu sarapan kesukaannya. Yaitu...

“Lo mau beli nasi kuning enggak? Keburu abis entar.” Tanya Adimas dari luar kamarnya.

Tuh kan. Danish membenamkan mukanya di bantal.

Tapi berarti dia betul-betul lagi patah hati nih? Batin Danish lagi pahit ketika ia menyadari bahkan bayangan satu porsi nasi kuning dengan lauk kering tempe dan suwiran telur dadar kesukaannya tidak bisa membuatnya ceria lagi.

“Gue skip.” balasnya tanpa repot-repot membukakan pintu.

Adimas seketika menghentikan aksinya mengetuk pintu kamar Danish, “Yakin lo? Lo kelas jam berapa?” tanyanya memastikan.

“Ada entar, gue masih nugas.”

Nugas apaan anjir. Jelas-jelas dia lagi telentang menatap langit-langit kamarnya yang gordennya bahkan belum terbuka dalam keadaan bau dan nyaris tanpa busana.

Ckckck, Danish Arfa Rasydan, mengenaskan banget lo...

“Ya udah gue duluan nih ya?” masih Adimas dengan agenda nasi kuningnya, yang sebetulnya juga Danish sukai sebanyak rasa suka (atau cinta?) Adimas ke nasi kuning.

“Iye.” balasnya, diiringi kepergian Adimas.

Diliriknya layar ponselnya yang sudah mati. Bahkan tanpa perlu membuka kunci layarnya Danish tahu apa yang terpampang di sana. Jendela percakapan yang terakhir ia buka, dan yang telah ia pandangi semalaman. Bunyinya tak jauh-jauh dari:

Daniiiiish

Not sure if i should tell you this but guess what?

Danish tersengal sedikit, dalam hati masih aja membalas pesan itu pelan walaupun dia udah tahu kelanjutannya apa. Pemuda itu berhenti menggulung layar ponselnya dan kalimat itu masih terpampang di sana. Nyalang menatapnya.

Cuma dua kata.

gue jadian!

Cuma dua kata itu saja. Dua kata saja namun sudah lebih dari cukup untuk hatinya melebur sudah.


Waktu pertama menyadari kehadiran perempuan itu di hari pertama mereka sekelas, Danish ingat ia sedang mengobrol dengan beberapa mahasiswa lain selain dirinya, ala mahasiswa baru yang lagi asyik-asyiknya membaur dengan teman sekelasnya.

Cewek berponi di hadapannya namanya Kinan, cewek di sebelahnya Rara, keduanya diketahuinya merupakan teman sekelasnya tak kurang dari beberapa menit lalu. Hanya ada satu cowok yang Danish udah kenal bahkan sebelum dia mengenalkan dirinya.

Adimas, teman satu kosnya yang juga telah melewati seminggu asam garam masa orientasi bersamanya, yang sedari tadi tidak banyak bicara selain tersenyum ramah ke cewek-cewek yang mengajaknya bicara dan menjawab seperlunya aja.

Baper deh tuh cewek-cewek pasti, Danish berdecak dalam hati. Adimas emang udah terkenal sejak masa orientasi gara-gara masuk @gantengkampus sih.

“Lo ngekos Dim?” Kinan bertanya dengan senyum manisnya. Danish memperhatikan senyum yang sama sejak tadi juga terpasang di wajah Rara. Sementara Adimas lebih banyak mendengarkan dan menanggapi seperlunya setiap kali mereka menanyakan Frequently Asked Questions-nya para maba. Semacam dia lulusan SMA mana, asli mana dan lain-lain yang Danish tahu sebetulnya modus saja.

Danish? Danish cuma sesekali menimpali dengan lelucon yang membuat baik Rara maupun Kinan tertawa. Tapi lalu saat itulah gadis itu membelah lobi yang lagi ramai-ramainya dan sesak-sesaknya.

“Permisi.” suaranya pelan, dan senyumnya tipis, bahu mereka bersentuhan sesaat karena sesaknya koridor yang dipenuhi mahasiswa-mahasiswa baru dengan antusiasme masing-masing, tapi cewek itu enggak melakukan apa-apa selain melewatinya. Hanya penampilannya yang lumayan berani rupanya enggak cuma mencuri perhatiannya. Sapuan lipstik dan pemulas mata di hari pertama kuliah serta rambut hitam dengan highlight berwarna merah.

“Siapa sih?” Kinan berbisik kepadanya dan Adimas yang lagi ngobrol sama dia, tapi Adimas enggak menjawab, mengedikkan bahunya acuh sembari mengarahkan pandangannya ke arah cewek nyentrik tadi.

“Lucu.” Danish cuma bergumam pelan, mengungkapkan impresi pertama yang ia dapatkan dari gadis itu. Kaus berwarna hitam, celana jins, serta rambutnya yang dibiarkan begitu saja tergerai.

“Ih! Apaan, eyeliner-nya tebal banget begitu!” Tukas Rara, atau mungkin Kinan. Danish tidak tahu karena dia keburu melengos lebih dulu. Males deh dia meladeni cewek-cewek tukang gosip itu. Makanya diikutinya gadis dengan ujung-ujung rambut kemerahan yang tengah mendongak menatap pamflet-pamflet di majalah dinding itu dengan ekor mata sebelum Danish memutuskan meninggalkan Adimas serta cewek-cewek tadi.

“Lagi nyari UKM?” Sapa Danish.

“Hah? Eh enggak hahaha.” eh, ketawa. “ngelihatin ini aja biar enggak kelihatan nyasar banget gue.”

Lucu ih ketawanya. Kontrari sama penampilannya yang meninggalkan beribu kesan, ekspresi wajahnya melembut ketika ia ketawa. “Untung lo nyapa gue duluan. Gue enggak bisa nyapa orang duluan.”

“Introvert much, huh?”

“Pft yeah, first time with one, Mr. Extrovert?”

“Tahu darimana gue extrovert?”

“Itu tadi, gue lewat pas lo ngobrol sama teman-teman lo ramean.”

“Mereka bukan teman gue.” Danish berdecak, “Kecuali cowok yang tinggi itu tuh. Sekosan sama gue.”

“Lagian,” Danish memegang kedua tali ranselnya erat untuk membenarkan posisi tasnya dengan senyum dikulum, “Lo pasti tahu juga kan introvert sama extrovert enggak ada kaitannya sama seberisik apa orangnya?”

Alis perempuan itu menukik naik tapi diiringi ujung-ujung bibirnya yang tergerak juga.

“Danish.” Danish mengulurkan tangannya kaku. Gadis itu tertawa lagi. “Guess i am just more on the talkative side of the spectrum.”

Untuk sesaat gadis itu cuma menatapnya jenaka, namun begitu sebuah tangan menjabat miliknya.

“Nice to meet you, Danish, the loud introvert.”

Hari itu, Danish pikir dia baru aja kenalan sama cewek paling keren satu kampus.


Tiga kali 24 jam setelah patah hati Danish, Danish udah mulai masuk kuliah lagi. Cukup sehari aja dia bolos dan menghabiskan satu hari yang kelabu itu penuh dengan nyanyi-nyanyi 'kau hancurkan hatiku.. hancurkan lagi..' di bawah kucuran pancuran kamar mandinya setelah seharian menunda mandi dan sarapan, dengan dua hari sisanya yang kebetulan memang hari libur. Tapi pokoknya Danish pikir patah hati rupanya bukan keahliannya. Maka itu, Danish memilih memfokuskan dirinya di kegiatan kampus. Belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan giat bahkan walaupun dunianya masih kehilangan warna.

Tujuh kali 24 jam setelah patah hatinya, Danish memilih membagi separuh perhatian dirinya di organisasi kampus.

“Nish?”

Satu colekan mendarat di bahu.

“Niiiiish?”

Dua.

“NIIIIIIISH!”

Yang ketiga berubah menjadi geplakan.

“Eh hah? Kenapa Sya?” Gagap Danish.

Kenalin. Ini Keisya, jabatannya sekretaris bidang pengembangan anggota di BEM kampus, organisasi yang dia ikuti secara impulsif semester kemarin tapi sekarang jadi fokus utamanya demi mengalihkan semua energi sakit hatinya.

“Lo tuh FISIP kan ya?” Keisya menelengkan kepalanya untuk menemukan mata Danish yang lagi menunduk. Kalau kalian pikir karena patah hatinya Danish akan tiba-tiba jatuh cinta sama mahasiswi paling cantik di fakultas kedokteran itu, kalian salah ya. Danish enggak berminat nikung Bang Dafi soalnya, mahasiswa teknik slash pacar dua tahunnya Keisya yang udah berkali-kali ia temui secara langsung setiap kali dia ngejemput Keisya dengan motor gedenya usai rapat di parkiran. Ngeri cuy. Lengannya aja kayak mesin penggiling.

Ya lagian selain itu juga, Keisya udah lebih kayak mom friend-nya sih, yang selalu bawelin dia sama anak-anak lain buat makan kalau mereka belum makan dan segera ngerjain tugas-tugas kenegaraan mereka kalau belum.

Atau, Danish aja yang udah enggak bisa jatuh cinta lagi ya? Sejak..

No no no no no. Enggak. Enggak boleh kayak begini. Jangan sekarang, Nish. Jangan sekarang di ruang BEM dimana lo telah dengan sengaja kabur buat menghindari semua tetek bengek sama anak-anak jurusan, lo malah mikirin dia lagi. Jangan sekarang. Jangan nanti-nanti. Jangan pernah.

“Iyeee, kenape?” Kalau Danish tiba-tiba terkesan nyolot, itu bukan salah Keisya.

“Adik gue juga di FISIP loh, baru masuk tahun ini, Ilkom.”

Mendengarnya, Danish enggak jadi ngocol, “Lah, gua juga Ilkom Sya?”

“Oh yaaaa?” Pekik Keisya senang, “Gue kenalin mau ya?”

“Boleh sih.”

“Adik sepupu gue sih tapi! Kasihan tahu belum ada temannya dia Niiiiish, anaknya bawel sebenarnya tapi kalau awal-awal gini pemalu banget.”

Di otak Danish, sepupu Keisya pastilah cowok weeaboo slash gamer pendiam yang lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi, sukanya pakai jaket ponco hitam-hitam dan punya harddisk yang isinya anime semua. Bukan, bukannya stereotip, Danish lebih tepat dibilang berharap. Lumayan, ada teman ngobrolin Shingeki No Kyojin selain Adimas, karena teman sekosnya itu juga lagi sibuk sama kegiatannya di BEM jurusan. Mana bentar lagi musim 2-nya keluar kan tuh. Sedap. Enggak sabar dia mendapatkan jawaban dari mana asal mula titan itu berasal.

Sayangnya yang Danish tidak tahu, adik Keisya.. perempuan. Namanya Syifa. Mereka akhirnya bertemu seminggu setelah Keisya bilang mau mengenalkannya ke adik sepupunya di kantin fakultasnya, fakultas kedokteran. Tempat yang cukup menyenangkan karena Danish jadi tidak perlu melihat seseorang dengan pacar barunya.

“Syif siniiiii.” panggil Keisya. “Nih. Kenal gak?” Tembak Keisya langsung.

Danish ketawa garing aja, semacam sangsi ada yang akan mengenalnya. Ya habis dia memang enggak aktif di jurusan, beda sama Adimas.

“Oh iya.” Syifa terlihat tertegun untuk sesaat. Tapi tangannya terulur perlahan. Tuh benar kan, Syifa enggak kenal dia. Terlihat dari dahi Syifa yang mengerut dan senyumnya yang berubah malu.

“Syifa, Kak.”

“Danish.”

Tentu saja, Keisya akan menimpali dengan, “Danish tuh temennya itu lho Syif.. siapa sih ck kating kamu yang sering masuk @gantengkampus itu.. Dimas? Adimas Reza?”

Seketika rautnya menemukan pemahaman, “Oh iya iya, kenal! Kak Dimas.. yang suaranya bagus itu ya?”

Danish terkekeh kecil. Ckckck.. Adimas dan reputasinya.

Bahkan anak baru aja udah pada kenal dia ya? Ya lagian siapa juga yang enggak kenal pujaan hati satu FISIP. Pasti gara-gara disuruh nyanyi lagi kemarin pas ospek jurusan dah tuh. Danish bisa mendengar Adimas latihan pakai gitarnya setiap malam soalnya, lewat tembok tipis yang membatasi kamar mereka yang bersebelahan. Maka itu, walaupun udah mulai jarang ketemu karena kesibukan masing-masing, Danish tahu Adimas masih ada di muka bumi. Enggak tiba-tiba hilang begitu saja, yang mana adalah salah satu ketakutannya setiap kali ia tidak bertemu teman kosnya itu bahkan walau cuma sehari aja. Iya, iya Danish lebay. Tapi Adimas memang udah kayak Hatake Kakashi to his Uchiha Obito. Sayang aja Obitonya lagi sakit hati cintanya ditolak sama (sebut saja) Rin. See? Danish bahkan masih enggak sanggup menyebut namanya aja.

“Kak Danish suka anime?” Pertanyaan Syifa menarik ia kembali ke kantin fakultas kedokteran yang masih sepi seperti beberapa detik lalu. Danish secara spontan mengerenyitkan dahinya sebagai bentuk perhatian, tapi secepat itu juga menyadari kedua mata Syifa terarah sama gantungan tasnya yang berbentuk perisai bunga mawar lengkap dengan durinya.

Oh... Danish baru mau nyeletuk 'lah lo tahu Syif?' waktu Keisya menimpali lebih dulu dengan: “Dia mah wibu kayak loooo Syif.” tukas perempuan itu yang sekarang sibuk mengunyah bakso bakarnya.

“Hah Kak Danish lagi nonton apa aja???”

Lah iya wibu beneran. Ketaker dari antusiasmenya.

“Sekarang sih ini aja.”

“Keren banget sih, dia menang kodansha manga award for reasons emang ya.” Syifa masih mengamati emblem berbentuk perisai mawar gantungan kuncinya itu, “Kak Danish paling suka sama pasukan penjaga ya?”

Danish cuma mengangguk ringan, menyentuh emblem tersebut.

“Paling keren sih kata gue, lambangnya juga tuh mawar ada durinya. Tahu enggak Syif artinya apa?”

“Apa kak?”

“Artinya kalau lo berani memetik, lo harus berani terluka juga.”

Danish tersenyum pahit. Kayaknya, dia agak ngawang pas ngomong gitu. Soalnya dia enggak sadar Syifa merhatiin dia super serius. Tapi tentu aja Keisya langsung menimpali.

“Cielah kenapa lo enggak bikin jurusan baru aja Nish? Program studi per-anime-an dan ke-manga-an oleh sensei Danish? Ha? Daripada tiap kuliah madooool mulu sama tipsen.”

Ya, pertanyaan yang bagus dari Keisya. Sepertinya cewek ini belum pernah merasakan rasanya dicipratin sisa es teh pakai sedotan. Haiyaaaaa!!!

“Danish!!!!!!”

Nah kan. Dari teriakannya, pasti baru kali ini dia dicipratin es teh begitu. Danish baru mau ketawa puas waktu kedua tangan Keisya tiba-tiba udah di kepalanya. Baru kemudian Danish tahu, kalau jambakan Keisya kayaknya lebih ngeri dari serangan titan colossal.


Persis seperti kata Keisya (kepala Danish masih nyut-nyutan), Syifa ternyata enggak sepemalu awalnya. Setelah berkenalan sama dia beberapa hari yang lalu, setiap bertemu gadis itu di area sekitar kampus, yang terjadi adalah dua hal ini:

  1. Syifa memanggil namanya (lengkap dengan lambaian tangan yang gesturnya tidak bisa dibilang kecil)
  2. Syifa pasti akan menghampirinya untuk mengajaknya mengobrol, atau kadang berjalan bersamanya sampai ke tempat parkir.

Kadang Danish suka salah tingkah karena enggak jarang tindakan gadis itu cukup untuk mencuri perhatian orang-orang di sekitar mereka, termasuk teman-teman Danish yang rasa-rasanya emang bertebaran di setiap penjuru kampus.

“Wiiiiih jagoan gue niiih, tumben lo kagak rapat? Cewek lo mana?” Tanya Harris, enggak tahu juga kenapa itu anak teknik nongkrongnya bisa sampai sini. Enggak mau tahu juga. Kalau Adimas idola jurusan, Harris mah raja kampus. Raja kelayapan di sekitar kampus maksudnya. Taruhan itu anak bolos kelas lagi demi nongkrong di sini bareng dia dan Adimas. FYI, Harris ini satu kos sama mereka. Tapi dia selalu merasa kurang cocok sama teman-teman jurusannya. Makanya dia lebih suka ngintilin dia sama Adimas. Danish enggak apa-apa sih, demi alek kagak ngapa-ngapa, tapi harusnya Harris mikir lah anjing. Masa diintilin sampai ke sini padahal gedungnya ujung-ujungan.

“Ngapain lu di sini?” Sinis Danish ke Harris.

“Sadis.”

Iyalah. Patah hati emang sadis. Soalnya patah hatinya lah yang udah menyebabkan ia menjauh dari teman-temannya tiga minggu belakangan. Tapi Harris enggak boleh tahu kalau sebetulnya diam-diam Danish kangen dikata-katain Harris.

“Lo punya cewek, Nish? Pantesan tiap hari lo ngelayap” Adimas ketawa.

“Enak aja, gue ngelayap ke sekre noh, kerja.”

“Kerja.” cibir Harris, “Madol kali lu?”

“Itu mah elu setan!”

Sayang sebelum Danish bisa ngejambak Harris, tiba-tiba HP Adimas bunyi, yang langsung disambut wajah sumringah sahabatnya itu.

“Cabut ya.” Adimas menyandang tasnya bahkan tanpa mengalihkan tatapannya dari ponselnya.

“Kemana lo?”

Adimas enggak menjawabnya, melainkan cuma tercengir ganteng sembari menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan nama 'Si Cantik' dengan emoji hati yang sontak membuat mereka seketika berdecak karena kecewa.

“See you bro.” Adimas menepuk pundaknya dua kali, kemudian menggestur ke arah yang lain sebelum berlari keluar area taman.

Danish cuma menghela nafas sebelum mendudukkan pantatnya. Semuanya aja punya pacar kecuali dia.


Beberapa hari yang lalu, Danish baru menemukan fakta kalau Hasyifa Febrianti ternyata ngekos enggak jauh dari kosannya. Hal itu berawal waktu dia kehabisan bensin di sekitar kompleks kosnya, jadilah dia terpaksa beli bensin eceran yang dijual di pinggir jalan.

Danish lagi duduk-duduk di jok motornya, sembari menunggu Ibu-ibu penjual bensin itu mengambilkan kembaliannya, waktu kemudian ia mendengar suara 'pspspsps' kecil. Iya, suara 'pspspsps'. Suara yang lazim digunakan manusia saat berbicara sama kucing. Danish menoleh ke kanan, kiri, depan, belakang. Enggak ada siapapun. Ia kemudian turun dari joknya dan mengintip sedikit di balik rak berisi botol-botol bensin eceran. Lalu tak jauh dari sana, tepat di undak-undakan sebuah warung tak jauh dari tempat ia membeli bensin, Danish melihat seekor anak kucing kecil sedang mengeong di bawah kedua kaki yang berjongkok. Kucing kecil itu menjilati tangan mungil. Tapi wajah sumringah si empunya tangan lebih menarik perhatian Danish sehingga ia tidak bisa menahan diri buat ngomong, “Lah, Syif?”

Kayaknya Syifa juga terlihat sama kagetnya dengannya. Soalnya mukanya cengo banget pas ngomong, “Loh, Kak Danish?”

Digendongnya anak kucing kecil itu dengan mudah di kedua tangannya sebelum memutuskan menghampiri motor Danish yang hanya berjarak beberapa meter.

“Kak Danish ngapain?” Syifa akhirnya memasang senyum cerah default-nya, sementara Danish masih belum pulih betul dari keterkejutannya. Diperhatikannya Syifa yang cuma memakai setelan rumahan anak-anak kos putri, yakni celana training, kaus, luaran kardigan, serta kresek hitam berisi entah apa yang melingkar di tangannya. Danish menebak-nebak kalau isinya belanjaan warung. Enggak, maksudnya Danish juga suka beli hal-hal di warung kayak sampo, sabun, dll. kalau stok belanja bulanannya habis di tengah bulan. Maksudnya Danish lucu aja melihat Syifa dalam keadaan seperti itu. Maksudnya, ya, gitu deh...

“Oh, keabisan bensin ya?” Syifa manggut-manggut. Tapi sebelum Danish bisa menimpali, Syifa beralih ke kucing di gendongannya yang ia timang selayaknya bayi, “Ternyata kakaknya keabisan bensin, Pus.” lalu kucing itu balas mengeong, seolah menimpalinya. Danish sampai terpana.

Gemes banget..

Kucingnya. Ia dengan cepat meralat pemikirannya sendiri. Kucingnya.

“Lo belanja apaan tuh?” Tanya Danish, enggak buru-buru beranjak sehabis si Ibu menyerahkan uang pecahan 5000-an kembaliannya dan ia berterimakasih.

“Nih, beli telor buat makan.”

“Kos lo dimana emang?”

“Muterin blok ini aja Kak. Kak Danish ngekos dimana?”

“Deketan juga. Lo jalan?”

“Iya.”

“Bareng gue aja?”

Danish enggak tahu, kenapa tiba-tiba dia nawarin Syifa buat mengantarnya pulang. Danish cuma berdoa Syifa enggak baper, atau mikir yang aneh-aneh. Soalnya dia juga enggak berniat yang aneh-aneh, cuma ingin aja. Yang Danish tahu, kalau lagi sama Syifa, rasanya Danish lupa sama dunianya yang lagi monokrom. Dan Danish suka perasaan itu. Syifa sama tingkahnya selalu berhasil bikin dia lupa sama hal-hal yang ingin dia lupakan. Untung kayaknya Syifa enggak berpikir apa-apa. Dia cuma tersenyum senang, “Boleh.”

“Itu mengnya lo tinggalin?”

“Iya, ini emang mengnya ibu warung hehe. Dah meng!” Mengnya didadahin.

Gemes banget (2).

Tapi begitulah, Syifa kemudian duduk di jok belakang Danish. Baik ia maupun gadis itu memilih melewati beberapa menit dalam hening. Sampai waktu Danish hampir sampai ke kosan yang Syifa maksud, gadis itu membuka suaranya.

“Eh kak, bentar lagi ada festival anime sama manga anak-anak Sastra Jepang kan ya.” Syifa melarikan pandangannya sewaktu tatapan mereka bertemu di spion, “Kak Danish mau dateng enggak?”

Perasaan Danish aja, atau suara Syifa makin kecil dan pegangannya ke besi belakang motornya itu untuk sedetik semakin mengerat? Seolah dia butuh sesuatu untuk dicengkeram sedemikian kuatnya guna menahannya agar tidak goyah. Danish menelan senyumnya, jangan-jangan Syifa baper sama dia?

Enggak ah, enggak mungkin. Syifa kan ceweknya Levi Ackerman. Mana mungkin baper sama Danish Ackerman. Tapi lagi-lagi yang Danish tahu, kalau lagi sama Syifa, rasanya dunianya kembali berwarna. Dan Danish suka dunianya yang seperti itu. Makanya, tepat ketika ia memelankan laju motornya sebelum menanjak melewati polisi tidur dan membuat Syifa sedikit kaget sehingga tanpa sengaja mencengkeram jaketnya karena terlalu tiba-tiba, Danish menjawab saja sebagaimana yang dia inginkan.

“Boleh tuh Syif.”

Danish pikir, wajah Syifa dari spion sudah semerah tomat nasgor yang tadi dimakannya di kantin FK. Danish pikir juga, mungkin enggak masalah kalau Syifa emang baper sama dia. Maksudnya kan, biar nanti dia yang tanggung jawab begitu.


Ralat, kayaknya malah Danish yang baper sama Syifa deh.

Selain di malam festival dia dandan cantik banget dengan dress putih dengan aksen pita biru di lehernya dan totebag hitam polos karena katanya dia lagi cosplay jadi Meiko Honma (minus totebag polosnya tentu aja), dia juga pegangan ke Danish pas bonceng. Soalnya hari ini dia duduk menyamping, enggak kayak Sabtu kemarin waktu dia ketemu cewek itu siang-siang practically pakai piama. Suasana festival jejepangan yang sesak penuh orang-orang juga enggak membantu pemikiran Danish kalau mereka lagi daato. Alias nge-date. Alias kencan.

Lo halu Nish.

Kayaknya Danish emang halu. Tapi semesta lebih halu lagi. Soalnya di tengah-tengah menonton penampilan live sebuah band, yang Danish enggak tahu namanya, yang lagi menyanyikan ending-nya Zoku Natsume Yuujinchou yang judulnya—ehem—aishiteru, tiba-tiba hujan turun begitu saja. Membuat semua pengunjung yang kebanyakan mahasiswa berhamburan keluar dari lapangan olahraga kampus mereka, termasuk Danish sama Syifa, yang segera merapat ke stand takoyaki.

Hey, although i want to understand

there are still too many things i could not comprehend

that is why while these two bodies that would never become one

i would embrace them with all my might

Danish enggak berkedip. Hanya ketawa-tawa menatap Syifa yang juga tengah tergelak geli sehabis menembus tirai hujan bersamanya. Hanya ketika Syifa menatapnya balik, matanya begitu lain dan mereka telah sama-sama berhenti tertawa.

with only your presence the world would evolve

the monotonous scenery will even burst into a fountain of colors

before we've realized it

our separated hands are held together as we are walking side by side

Lagu itu masih berlanjut. Dan kayaknya baik Danish maupun Syifa sama-sama sadar ada yang berbeda di antara mereka. Sejenak Danish takut kehilangan sesuatu tapi kemudian Syifa tersenyum. Syifa tersenyum dan Danish merasa lega bahwa enggak ada yang canggung di antara mereka.


Pagi itu cerah sekali. Danish bangun dan menemukan satu pesan dari Syifa.

Kak, mau sarapan bareng gak nanti?

Danish tersenyum kecil. Sejenak ada hangat yang menjalar di wajahnya mengingat semalam mereka terpaksa neduh di warung makan indomie sampai larut hanya menunggu hujan reda dengan jaketnya bertengger di bahu gadis itu. Kemudian ia ingat aja kalau dia kangen makan nasi kuning.

Boleh. Deket kosan gue ada tempat nasi kuning yg enak tuh. Mau gak Syif?

Sent.

Read. Jantung Danish berdegup tidak sabar. Apa jawabannya?

Boleh Shareloc aja kak aku abis kelas

Danish mengetik lagi. Gue ke sana sekarang ya? Sebelum menghapus pesannya dan menimbang sebentar.

Aku ke sana sekarang ya?

Segera setelah mengirim pesannya Danish bangkit untuk bersiap-siap sebelum mengambil dompet dan HP-nya. Danish melirik kamar Adimas yang masih tertutup rapat, udah beberapa hari ini mereka emang jarang ketemu. Padahal biasanya dia sama Adimas bakal jalan kaki dari kosan ke warung nasi kuning kesayangan mereka itu. Tapi hari ini Danish berjalan sendirian, melewati rumah-rumah lain yang kebanyakan juga adalah rumah kos-kosan.

Karena warung nasi kuning itu terletak di antara kos-kosannya dan kampus mereka (tadi Syifa bilang dia abis kelas), mereka memutuskan ketemu di warungnya aja. Danish tersenyum kecil sesampainya ia di warung sederhana itu, dirogohnya saku celana pendeknya guna mengeluarkan HP untuk mengabari Syifa kalau dia udah sampai.

“Lama ndak ke sini Mas Danish?” Sapa Ibu yang udah dikenalnya baik sejak jaman ia dan Adimas masih maba beler. Danish sebentar-sebentar mengalihkan matanya dari layar ponsel demi membalas senyum si ibu.

“Biasa bu, banyak kegiatan akunya hehe.” Danish cengengesan.

“Walah, udah kayak pejabat aja Mas Danish ini.”

“Loh ya doain jadi calon pejabat beneran dong bu.”

Danish kemudian memilih duduk di atas kursi kayu panjang yang disediakan setelah melontarkan pesanannya sembari berharap Syifa suka menu yang dia pesan. Nasi kuning kesukaannya lengkap dengan lauk pauk dan satu porsi es teh. Sekilas ia bertanya-tanya kalau Adimas udah sarapan tadi pagi waktu sebuah seruan menginterupsi pemikirannya.

“Ibu!”

Dan seketika Danish mematung.

Bukan.

Bukan karena ketiba-tibaannya. Tapi karena suaranya. Bahkan tanpa harus menoleh Danish kenal suara ini dimanapun. Suara yang dulu kerap menemaninya di sesi nugas bersama mereka di perpus, atau di kafe, atau janjian untuk makan siang di kantin, atau sekadar nongkrong di kedai jus tak jauh dari kampus sembari menunggu mata kuliah berikutnya.

“Eh, Nish?”

Ini suaranya.

Danish akhirnya memberanikan menoleh hanya untuk menemukan—

“Lho, Mas Danish kenal Mbak Jani juga?”

“Kenal lah Buk.” potong Anjani sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya sebelum ia kembali kepadanya.

“Nyari UKM ya?”

“Hah? Enggak.. ngelihatin ini aja biar enggak kelihatan gabut banget gue.” dia ketawa. Kontrari sama penampilannya yang meninggalkan beribu kesan, ekspresi wajahnya melembut ketika ia ketawa. “Untung lo nyapa gue duluan. Gue enggak bisa nyapa orang duluan”

“Introvert much huh?”

“Pft yeah, first time with one, Mr. Extrovert?”

“Tahunya gue extrovert?”

“Gue kan tadi lewat pas lo ngobrol sama teman-teman lo itu.”

“Mereka bukan teman gue” Danish berdecak, “Kecuali cowok yang tinggi itu tuh. Sekosan sama gue.”

Alis perempuan itu menukik naik tapi diiringi ujung-ujung bibirnya yang tergerak juga.

“Danish” Danish mengulurkan tangannya kaku. Gadis itu ketawa lagi.

“Anjani”

Anjani? Dahi Danish mengerut. Kepalanya mengingat salah satu judul film indonesia keluaran 2008 yang salah satu tokoh utamanya memiliki nama yang sama dengannya. Tapi sebelum ia bertanya gadis itu melipat tangannya di dada lalu berkata sewot, “kalau lo mau nanya 'Jani? Pacarnya Radit dong?' Atau 'Jani? Cowok lo Vino G Bastian dong?' gue enggak mau ya jadi temen lo.”

Mengundang tawa lolos dari keduanya.

“Basi ya?”

“Banget.”

Hening sebentar.

“Tapi cowok lo ngeband juga enggak kayak Vino G. Bastian?”

“Iiiiish!”

“Nish?” Senyum Anjani merekah penuh tanya.

Senyum yang sama yang ia lihat di hari pertama mereka sekelas. Senyum Anjani yang selalu duduk di bangku depan. Senyum Anjani yang juga adalah sahabatnya dan pacar Adimas. Danish tidak tahu kenapa tapi mendadak ia merasa sesak sekali. Semua rasa sakit yang ia kira sudah hilang karena usahanya berbulan-bulan untuk pulih kembali menyergapnya tepat sasaran.

“Ish, lo kemana aja sih Nish? Susah banget ketemu lo, BEM sibuk banget ya?” Anjani mengambil tempat duduk di depannya setelah memesan entah apa, Danish enggak terlalu mendengarkan soalnya otaknya udah kena arus pendek.

“Hah? Iya hahaha. Lo ngapain di sini?”

“Oh, nih.” perempuan itu menunjuk etalase kaca di depan mereka, lagi-lagi menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga seperti kebiasaannya sebelum kemudian menumpu dagunya di tangan kanan, “mau beli nasi kuning buat Dimas. Dia kan suka banget tuh. Ya bu ya?”

Cantik. Danish sesak. Anjani masih secantik yang ia ingat.

“Iya, sakit apa Mbak Jani, Mas Dimasnya? Udah dua hari gak ke sini.” timpal Ibu, menyita perhatian Danish sejenak.

“Kecapekan aja Bu kayaknya, dia kan anaknya suka ngide semuanya diikutin.”

Adimas sakit? Kepala Danish berputar. Dia bahkan enggak tahu soal itu.

“Lo kenapa Nish?” tanya Anjani pelan, menyadari gelagatnya yang aneh. “Danish, lo enggak apa-apa?”

“Enggak gue.. belum sarapan.”

“Coba sini, lo sakit juga?” Tangan kecil Anjani terjulur untuk menyentuh dahinya.

Berapa lama?

Danish penasaran setengah mati, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sembuh dari patah hati?

Berapa lama sampai hati seseorang berhenti bercekit ketika ia mengingat pahit yang dirasa dan alasan dari rasa sakitnya? 1 kali 24 jam? Atau 100 kali 24 jam?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai tubuh kita berhenti memproduksi hormon adrenalin serta kortisol secara berlebihan? Danish pikir beberapa bulan akan cukup untuk menegosiasi semua sakit yang ia dera setiap melihat gadis itu dan sahabatnya sendiri bercengkerama sebagai kekasih. Di kantin, di lobi, di kelas. Tapi ia salah. Enggak ada yang bisa menegosiasi rasa sakitnya. enggak ada yang bisa menegosiasi rasa sakit siapapun. Danish merasakan dunianya perlahan kembali kehilangan warnanya. Tapi kali ini Anjani bukan sesuatu yang ia rindukan. Dan sentuhan tangannya seperti membakar.

Kemudian...

“Kak Danish.” sebuah suara lain menarik Danish pelan.

“Lama ya?”

Danish menoleh, entah bagaimana menemukan kelegaan yang menggantikan nyeri bahkan sebelum ia melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. Danish tahu saja. Suara itu. Sepasang mata itu. Syifa.


Bukannya Danish tidak pernah menduga Adimas akan jadian dengan Anjani. Sebaliknya, Danish udah menyadari perasaan teman seatapnya itu bahkan sebelum yang punya hati sendiri menyadarinya.

Danish ingat pertama kali melihat Adimas enggak bersikap ramah adalah waktu anak-anak tongkrongan mereka membawa-bawa nama Anjani dengan nada yang... ya bayangin aja deh cowok-cowok kalau lagi nongkrong terus ngomongin cewek, mereka ngomonginnya gimana. Rasanya saat itu Danish setuju mengutuk bangsanya sendiri dengan kata-kata andalan para SJW di twitter bahwa men are trash. Sampah emang mereka semua.

Sementara Adimas memang enggak mengatakan apapun, tapi rautnya mengeras dan setelah itu dia menolak ajakan nongkrong dengan berbagai alasan. Danish tahu Adimas bukan tipe orang yang akan repot-repot ribut sama orang karena selama Danish mengenal Adimas, bisa dibilang dia orang yang amat terkendali dan tahu bagaimana caranya membawa diri. Makanya temannya banyak. Hanya malam itu saja reaksi Adimas begitu lain.

“Tadi lo kenapa man?”

Danish bertanya hati-hati, tapi Adimas bahkan enggak merenggut kedua matanya dari gitar yang sedang dimainkannya di lantai kamar indekosnya waktu dia menjawab dengan santai, “Gue enggak suka sama omongan mereka”

Adimas meletakkan gitarnya sebelum mendongak menatapnya serius, “Cewek tuh bukan objek buat lo omongin kayak gitu, Nish”

Pernah melihat orang yang biasanya senyum dan ramah ke semua orang tiba-tiba memasang ekspresi serius? Sama, Danish juga baru sekarang melihatnya dan dia harus bilang itu jauh, amat sangat lebih menakutkan daripada melihat orang yang emang biasanya marah-marah.

“Bayangin kalau ada bangsat yang ngomongin ibu, atau kakak, atau adik perempuan lo kayak gitu”

“Katanya rapat, rapat ngomongin cewek maksud lo?”

Danish mengangguk, menyuap satu suapan dari mie tek tek yang ia beli di jalan pulang sama Adimas tadi, gak tahu kenapa punya Adimas belum dimakan. Mungkin udah keburu eneg duluan sama obrolan cowok-cowok di tongkrongan tadi, “Harusnya tadi lo ngomong gitu aja ya depan mereka, terus gue backup”

“Terus ribut sama orang kayak mereka?” Adimas menggeleng ogah, meraih lagi gitarnya dan kembali memetik beberapa nada pelan dan seketika Danish tahu, Adimas enggak benar-benar sedang ingin bermain seperti biasa, dia cuma berusaha mengalihkan amarahnya.

“Cukup tahu ajalah gue. Not worth it”

Danish menyuap nasinya dalam hening, melirik Dimas yang kembali melampiaskan amarah dengan memetik sinar gitar. Walaupun diam-diam menyetujui omongannya, entah bagaimana Danish tahu Dimas enggak cuma marah karena omongan anak-anak di tongkrongan tadi soal cewek-cewek di kelas.

Kemudian Danish menyikut Dimas sengaja, “Mie tek tek lo dingin noooh”

Di lain waktu, Danish juga selalu bisa merasakan gerak-gerik Adimas yang berubah kaku setiap Anjani menyapanya. Entah itu di parkiran motor, di kantin atau di perpus. Dua tangannya yang mengepal di kedua sisi dan matanya yang berlarian ke segala arah kecuali Anjani. Bahkan walaupun Danish tidak sedang melihat ke arah Adimas, Danish bisa merasakan temannya itu tengah menahan napas.

“Daniiish!”

Danish melambaikan tangan balik ke Anjani. “Pulang Jan?”

“Hooh, gojek gue di depan. Duluan ya!”

Gila. Di sebelahnya ada pujaan hati satu FISIP tapi sama sekali enggak disebut-sebut. cuma dilirik sekilas saja, sebelum Anjani kembali tersenyum ke arahnya. Ke arahnya. Ke arahnya.

Atau saat mereka satu kelas dan Adimas minta bertukar tempat duduk dengannya demi sekelompok sama Anjani, tapi Anjani malah lebih sering menghampiri bangkunya. Bener-bener ya itu cewek.

Tapi Danish enggak nyangka Adimas akan bisa melewati tembok di antara mereka berdua begitu saja dalam dua semester.

Malam waktu Adimas bercerita kalau ia akhirnya bisa ngobrol lagi sama Anjani dan bahkan mengantarnya pulang, Danish tahu ia tinggal menunggu waktu sampai mereka meresmikan hubungan. Yang Danish tidak tahu, ternyata kebahagiaan Adimas dan kebahagiaannya tidak berada pada satu garis linear. Yang Danish tidak tahu, ada alasan kenapa ia selalu tersenyum lebar sekali setiap kali Anjani ada di sekitarnya. Kenapa ia suka sekali memperhatikan gadis itu duduk di barisan depan di kelas, cara dia mencatat materi yang diberikan oleh dosen, kerutan di dahinya. Danish juga suka semua yang dipakai Jani setiap hari. Pilihan kemeja atau kausnya, aksesorinya yang warna-warni, sama riasannya yang cukup berani. Dan kenapa sapaan dari Anjani saja bisa membuatnya merasa seolah dia sedang melawan gravitasi. Bodohnya, ia baru menyadari itu semua setelah Jani jadian sama Dimas. Bodohnya selama ini dia bahkan tidak pernah sempat memperjuangkan. Bodohnya selama ini terlalu nyaman mempertahankan Jani di sampingnya sebagai teman. Dan Jani tidak pernah tahu.

Tidak bahkan dengan bagaimana selama ini Danish selalu berusaha ada untuknya. Tidak dengan bagaimana waktu Anjani butuh tempat bercerita, Danish selalu ada, baik secara langsung maupun hanya dalam jaringan telepon hingga larut malam. Anjani enggak pernah tahu.

Anjani enggak pernah tahu sorotnya setiap harus melihat gadis itu dengan sahabatnya sendiri di kantin. Bagaimana setiap kedua mata mereka bertemu dan Anjani tersenyum ke arahnya Danish harus mati-matian menyembunyikan sakit yang bercekit di dadanya.

Dan betapa Danish enggak sanggup bertemu Adimas karena cuma wajah Anjani yang akan terbayang.


“Kak” segera setelah Anjani berpamitan, suara Syifa membuyarkan lamunannya.

“Ya?”

Dua alis Syifa menyatu simpati. “Dia orangnya?”

“Hm?”

Giliran Danish tertegun.

“Maksud lo Syif?”

“Yang bikin Kak Danish kayak gini”

“Gue enggak apa-apa”

“Kak” Syifa tersenyum bersahabat, “elo enggak bisa nipu gue lagi”

Danish diam, bukan untuk yang pertama kalinya sejak ia bertemu Anjani beberapa menit yang lalu.

“Gue cuma perlu waktu aja Syif” ia akhirnya membuka suara, “harusnya gue bisa bahagia kalau dua teman gue bahagia tapi ternyata enggak segampang itu”

Syifa enggak mengatakan apapun, hanya mengusap pelan pundaknya, pelan saja dan ragu-ragu. Seolah ia takut ia mungkin membuat Danish merasa enggak nyaman. Entah bagaimana bagi Danish semuanya terasa lebih ringan dan memungkinkan sekarang.


(“Bentar, gue enggak pernah nanya di Shingeki No Kyojin lo paling suka pasukan apa”

“Pasukan pengintai. Pasukan yang menggambarkan kalau di tengah semua kekacauan yang paling kacau sekalipun selalu ada harapan”)


Jadi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sepenuhnya sembuh dari patah hati?

Danish baru tahu jawabannya ketika ia berdiri dengan Hasyifa Febrianti di sebelahnya, berbalut (lagi-lagi) gaun putih dengan cantiknya sembari menyalami tamu-tamu. Kok bisa ya perempuan itu enggak ada capek-capeknya? Padahal Danish aja udah mau pulang tapi urung. Ya iyalah, kan dia yang punya hajatan. Lagian, dia belum melihat dua orang yang paling ia nanti-nanti.

“Mas” Syifa menoleh ke arahnya dengan senyum, untuk sesaat Danish terpaku karena man, Syifa cantik banget dan lagi-lagi untuk keseratus kalinya hari ini Danish merasa beruntung perempuan itu kini sudah sah menjadi istrinya. Kok kayak enggak nyata banget, ya. Tapi menyadari gestur Syifa, Danish pun akhirnya menoleh mengikuti kerlingan mata si cantiknya. Demi menemukan Adimas..

dan Anjani.

“Adiiiiimaaaaas my man” Danish memanggil Adimas.

“Parah, ini istri lo di sini niiiiih” Adimas menggestur ke Syifa yang tengah menyalami Anjani kalem, sementara Anjani cuma ketawa kecil di balik pundak pacarnya itu.

“Maksudnya ini hari terakhir kamu jadi cowoknya kali?”

“Dih aku kan cowok kamu” balas Adimas setengah bergidik.

“Duuuh abis ini ada yang nyusulin kita kayaknya ya Syif?” Danish mencolek Syifa, seketika membuat Adimas ketawa tapi kemudian berbisik “doain aja” sementara Anjani cuma tersenyum dengan cuping telinga yang memerah.

“Amin” gumam Danish balik.

“Amin” ulang Adimas, kemudian menepuk pundaknya pelan, dan menyalaminya penuh.

“Selamat ya, Nish” ujarnya, kali ini dengan sorot mata yang serius namun masih teduh khas sahabatnya itu. Si ganteng pujaan hati satu FISIP.

Danish menatap Adimas haru. Terlebih ketika Adimas tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan yang bersahabat. Dua matanya bertemu dengan Anjani yang tersenyum ke arahnya dan ikut menyalaminya.

Anjani yang pernah membuatnya jatuh hati di satu waktu di hidupnya. Anjani yang pernah membuat hatinya patah sepatah-patahnya, tapi juga Anjani yang menjadi sebuah tanda yang kemudian membawanya sampai di sini.

“Selamat ya Nish, bahagia selalu” Anjani berujar, tepat setelah Adimas melepaskan pelukan.

“Lo juga”

Lo dan Adimas juga.

Dan Danish memaknainya. Danish hanya ingin kedua sahabatnya mendapatkan apa-apa yang paling baik dari dunia ini. Ia tersenyum ketika Anjani melambaikan tangan dan menyusul Adimas yang menunggu di sampingnya untuk kemudian menggenggam tangannya, senyum yang mengembang di wajah keduanya menularkan senyum yang sama di hatinya. Tidak lagi ada rasa sakit yang bercekit, tidak lagi ada keberatan, pada akhirnya Danish merasa rongga dadanya diisi kapas-kapas yang bisa membuatnya terbang kapan saja begitu ringannya.

Usapan tangan mungil di sikunya. Danish menoleh ke arah perempuan yang bersanding dengannya hari ini. Pada akhirnya Danish tahu, mungkin waktu bukan satu-satunya jawaban. Tapi waktulah yang sudah menyampaikan jawabannya ke depan muka rumahnya seperti ini.


Even the smallest cut needs time to recover only time will tell If I will love another (Time Will Tell, The Overtunes)


Mains Kim Donghan as Danish Arfa Rasydan Xiyeon as Hasyifa Febrianti Image

Sides Kim Donghyun as Adimas Reza Sinatria Park Jinny as Anjani Puspita Image

Extras Baekho/Kang Dongho as Gadafi/Bang Dafi Kyulkyung as Keisya Image