Where I End and You Begin

Pernah berpikir bahwa alam semesta mungkin tidak setua kelihatannya?

Seseorang pernah bilang ke gue kalau dari segala ketidakmungkinan, tidak ada yang menyatakan bahwa waktu yang kita lalui kemarin benar-benar nyata. Jadi, bukan tidak mungkin kalau sejatinya alam semesta dan kenangan-kenangan yang kita simpan itu baru tercipta Kamis lalu.

pulang ke kotamu... ada setangkup haru dalam rindu...

Gue melihat ke arah perempuan di samping gue.

Satu, dua, tiga. Tiga kali dia berkedip sebelum menguap. Ngantuk?

Abila ketawa, lutut kami saling bersentuhan, “Dikit.” jawabnya dan gue baru sadar mengucapkan pertanyaan barusan.

Di tengah-tengah pelataran parkir bentara budaya kota ini, dengan langit Senin malam yang terlihat sama seperti waktu pertama kali kami ke sini beberapa tahun silam, kami duduk bersila bersama puluhan orang lainnya.

Gue mau enggak mau kepikiran lagi soal Konspirasi Kamis Lalu yang suka Arjuna omongin sampai mulut dia keluar busa: “Tergantung lu percaya atau enggak sih, tapi intinya enggak ada bukti riil bahwa hari kemarin itu nyata, jadi bukan enggak mungkin alam semesta diciptakan kamis lalu, karena enggak ada jarak nyata antara miliaran tahun yang lalu atau sedetik yang lalu.”

Sok iye emang tuh anak.

masih seperti dulu... tiap sudut menyapaku bersahabat...

Gue tersenyum kecut dalam hati ketika di samping gue, perempuan itu masih nampak begitu antusias menonton rendisi jazz dari lagu lawas KLA Project yang dibawakan oleh seorang pemuda secara impromptu di panggung. Dua tangannya memegang gelas seng berisi cokelat hangat sementara gelas seng gue sendiri yang tadinya berisi kopi sudah tergeletak kosong di antara kedua kaki kami. Gue enggan membayangkan rasanya melihat caranya membombardir minuman itu dengan gula tadi.

Lagi, rasanya seperti deja vu. Meskipun ini jelas bukan pertama kalinya gue pergi ke sini sama dia.

Mata gue mengikuti gerakan tiba-tiba jarinya menyelipkan anak rambut yang bandel ke belakang telinga dan ada sesuatu di kepala gue yang bilang gue seharusnya mengusap pelan puncak kepalanya. Gue mengulurkan tangan–tapi urung ketika dia dan penonton yang lain tiba-tiba tergelak karena kesalahan minor di panggung.

musisi jalanan mulai beraksi... seiring laraku kehilanganmu...

merintih sendiri... ditelan deru kotamu...

Kemudian lagu itu dilanjutkan lagi.

“Ga?”

Dia tiba-tiba menoleh ke arah gue yang lagi merenung sambil memandangi mukanya, membuat gue sedikit terkesiap dan otomatis menaikkan kedua alis penuh tanya.

“Hm?”

Abila kemudian mencodongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya seakan mau membisikkan sesuatu–dan laiknya auto-pilot, guepun segera merendahkan tubuh gue ke arahnya tanpa sadar. Tepat saat ia justru mengalihkan fokusnya ke wajah gue, “Eh, kamu gak apa?” tanya gadis itu dengan dahi berkerut-kerut.

“Kenapa emang?”

“Pucat banget, Ga.”

Gue cuma berkedip sebagaimana dahinya masih berkerut-kerut. Yang gue pikirkan saat ini hanyalah betapa gue ingin mengibu-jari keningnya itu agar ia berhenti mengerutkannya sedemikian rupa.

“Kamu mau pulang?” sambungnya.

Pulang ke lo, gue hampir bilang. Lagi-lagi urung. Kemudian seperti tersadar, gue cuma menggeleng, mengalihkan pandangan.

“Lo dingin enggak?” kata gue setelah beberapa detik cuma mendengarkan pertanyaan terlontar dari perempuan itu.

“Kok aku? Kamu tuh, pucat banget. Dingin?”

Melihat raut wajahnya yang berubah cemas, gue mengusap tengkuk gue tanpa sadar. Entah mengapa malam ini memang dingin.

“Sini deh sini” ujar Abila pada akhirnya, lebih dulu bergeser mendekat sebelum gue bisa bilang apapun, lantas tanpa gue duga-duga mengulurkan tangannya guna mengusap punggung gue naik-turun.

Tanpa sadar gue telah menahan napas menyadari betapa kecilnya jarak di antara kami dan gue bersumpah kalau dia bermaksud membuat gue merasa lebih hangat, yang gue rasakan justru sebaliknya.

“Udah anget?” tanyanya.

Hampir-hampir gue mentertawakan diri gue sendiri.

“Ini deket-deket lu gini nih yang bikin anget” gumam gue goblok. Abila mendengus kecil, meninju lengan atas gue pelan lantas kembali pada pertunjukan musik di depan–membuat gue lega sekaligus kecewa.

Tapi kemudian inilah yang gue lakukan: memperhatikan wajahnya. Karena di saat-saat kayak ginilah gue bisa melihat Abila yang paling lepas. Di saat dia ikut bernyanyi dengan tangan yang terangkat naik ke atas dan senyum lebar yang enggak henti-hentinya tergambar di wajahnya. Di saat-saat kayak ginilah Abila terlihat paling magnetis.

Paling Abila.

Gue selalu takjub setiap kali melihat wajahnya yang kaya akan ekspresi itu. Rasanya seperti menyaksikan sebuah kaleidoskop yang terus-menerus berubah warna dan rona–bagaimana sesekali alisnya bertaut, lalu matanya mengerling ke arah gue jenaka sebelum kemudian terpejam untuk menghayati lagu yang dinyanyikannya.

Dan senyum itu.

Senyum yang bisa bikin gue gila setiap kali mencoba menerka maksudnya: kadang polos, kadang lugu, kadang juga ingin tahu, tapi sesekali menyimpan sesuatu yang enggak bisa gue baca dengan mudah.

Gue masih memperhatikannya dengan seksama waktu tiba-tiba satu persatu penonton mulai berdiri untuk menghayati penampilan entah yang kesekian malam ini. Dari jarak kami, gue bisa melihat matanya yang berkilat senang dan ketika kemudian gue menangkap gerakan kepalanya yang berputar ke arah gue dengan bibir setengah terbuka entah untuk mengatakan apa–gue sudah lebih dulu merunduk untuk mendaratkan ciuman di bibir perempuan itu.

Sedetik, gue enggak bisa memikirkan atau menyimpulkan apapun seolah gue sedang mengalami amnesia parsial. Yang gue rasakan cuma sebelah tangan gue yang merangkum wajahnya pelan-pelan seolah dia akan hancur kalau gue menggenggamnya terlalu erat.

Shit.

Shit.

Shit shit shit shit shit.

Gue menelan ludah. Separuh kewarasan gue yang masih tersisa membuat gue berkutik dan menyudahi tautan kami.

Yang gue dapati kemudian adalah Abila yang tengah memandang gue balik enggak percaya. Sama seperti gue, napasnya sedikit berkejaran karena tindakan gue barusan.

Gue masih berusaha membaca kedua matanya yang juga tengah memandang gue penuh telisik, mencari-cari entah apa. Kemudian riuh tepuk tangan penonton lebih dulu membuyarkan gue. Begitupun Abila, yang kini telah berdiri dan tanpa bisa gue cegah lagi mendahului gue menyeberangi lapangan parkir ini ke pintu keluar.

No.

Not again.

Not me losing you again.