Goodbye, sweeetheart.

Pesan dari salah satu teman Ansara langsung membuat Sabian pergi dari kediaman perempuan itu.

“Tan, Sabian bantu cari Ansara ya.” ucapnya kepada ibu yang sedang menangis menunggu kabar mengenai putrinya.

Sabian langsung mengambil kunci motor yang ada di meja makan rumahnya, karena dia berfikir, jika dia memakai mobil, dia akan terjebak di dalam lautan kendaraan di pagi hari. Tanpa meminta izin kepada papanya, dia langsung menancapkan gas motornya menuju lokasi yang telah diberikan oleh seseorang bernama Gia tersebut.

Setelah sampai di tempat tujuan, tanpa babibu, Sabian berlari menuju tempat yang diberitahukan oleh Gia.

Benar, disana perempuan yang dia cari tersebut ada disana, dia menangis sambil memeluk satu-satunya teman yang menemaninya.

“Gue disini.” Sabian berdiri tepat di belakang kedua perempuan itu, dan membuat Gia menoleh dan langsung menyuruh Sabian untuk mendekat ke arah Ansara.

Ansara dengan air mata yang berderai kemudian menoleh sedikit, melihat siapa yang ada disana, serta menyapa dengan sua bergetar, “Sab…”

“Sabian, hiks…..”

“Mario, Sab…”

Suara bergetar itu membuat Sabian menjadi iba, tanpa bertanya dia kemudian memeluk perempuan yang ada didepannya dengan erat. “Gue disini, lo tenang, tenang ansara, gue disini.”

Setelah Ansara sedikit tenang dan bisa memeluk dirinya sendiri, Sabian dan Gia mengobrol agak jauh dari Ansara, untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

“Jam 3 pagi dia hubungin gue, katanya Mario koma dan barusan kritis, dia ngga berani bangunin ayah sama ibunya buat kesini.”

Sabian langsung lemas mendengar kabar tersebut, jadi orang yang ditangisi perempuan itu adalah Mario yang sedang terbaring lemah didalam sana, “terus? keadaannya gimana?”

“Lagi tindakan sab, gue takut kalo sampe…….”

Omongan Gia terpotong, tatkala dokter keluar dari ruangan dingin tersebut, menghampiri satu laki-laki yang berdiri disana.

Kata Gia, laki-laki itu yang mengabarkan keadaan Mario kepada Ansara.

“Lo kenal?” Tanya Gia

Sabian mengangguk, “itu Jean, sahabat deketnya Mario.”

Mereka berdua langsung merapat kearah dokter, mengejar Ansara ditengah tangisannya itu juga berlari mendekati dokter untuk mengetahui keadaan Mario,

“…maaf sekali lagi.” Hanya kata itu yang terdengar oleh Gia dan Sabian, namun 2 orang lain yang ada disana langsung lemah tak berdaya, begitupula dengan Ansara.

Setelah mendengar kabar itu, Ansara makin histeris. Gia & Sabian langsung bingung atas respon mereka.

“Sa? kenapa? Sa? Jawab gue..” Tanya Gia, berharap Ansara tidak sampai pingsan.

“Mario, gi” “Mario udah gaada, gi.” “Cowo yang gue sayang udah gaada, gi….”Jawab Ansara dengan suara yang super bergetar.

Sabian dengan cepat memeluk tubuh lemah Ansara yang menangis dengan sangat kencang. “Sa, i’m sorry to hear that sa..”

Hari itu, perempuan itu kehilangan sosok yang paling dia sayangi, orang yang paling berharga dalam hidupnya selain ayah dan ibunya, orang yang paling menyahanginya walaupun ujungnya harus berpisah tanpa alasan yang jelas.

Pagi itu, menjadi hari yang paling menyakitkan yang dirasakan oleh Ansara. Kehilangan tetaplah kehilangan, apapun hubungannya, kehilangan adalah salah satu hal yang paling menyakitkan yang ada di dunia. Ansara yang tetap menangis histeris tanpa ampun membuat laki-laki yang berstatus sahabatnya itu ada ikut menangis sedih.

“Ansara, you’re gonna be okay, i’m here, i’m here for you….”