Perjanjian

“AO LO KENAPA NANGIS?!” Teriak aras sesaat setelah dia berhasil masuk ke kamar Ao.

Ao yang kaget akan teriakan aras langsung loncat dari kasurnya, maklum teriakannya keran banget, bun.

“Aras—hiks lo tuh—ngagetin banget.” Ucap Ao tentunya diselingi isakan dari tangisannya.

“Ya abisnya gue chat lo gak bales, terus gue sampe depan denger suara lo nangis, ya gue panik lah, kenapa lagi sih?.” Celoteh Aras.

“Gue gapapa.”

“Gue juga cewe, gapapa artinya ada apa apa. Perasaan lo seneng tadi abis jalan sama mark?” Tanya Aras

“Iya awalnya seneng, tapi akhirannya gue kecewa juga sama dia.” Jawab Ao

Aras menatap Ao bingung, kecewa? Kecewa karena apa?

“Dia bilang ke gue kalo dia lost contact sama Ten, tapi nyatanya, tadi Ten nelfon dia didepan mata kepala gue sendiri, ras.” Ucap ao seakan akan mengerti apa yang ingin diketahui aras.

Aras menepuk jidatnya pelan, “astaga, lo masih aja ngarepin mantan lo itu?”

Ao diam, dia tahu kalo aras paling tidak suka dirinua disaat masih mengharapkan Ten yang sudah hampir 1 tahun tidak ada kabar.

“Ao, ayo kita buat kesepakatan biar sedih lo gak berlarut larut, liat lo jarang senyum, nangis mulu kerjaannya, gue gak suka.” Tawar Aras

“Kesepakatan apa?”

Aras menarik nafasnya dalam, kemudian mengambil sepucuk kertas dan pulpen serta tinta yang kebetulan ada di nakas samping tempat tidur Ao. Menuliskan sesuatu disana.

“Apaan ini ras? Surat Perjanjian? Lo mau gue janji apa sama lo ras?” Tanya Ao bingung.

“lo harus janji sama gue, kalau orang yang selama ini lo harepin dateng di momen wisuda lo nanti, gue izinin lo balik sama dia lagi, tapi kalau orang yang lo harapin gak dateng, berarti konsekuensinya lo harus bisa lupain dia dan buka hati buat orang baru, okay? Okay aras deal.” Tawar Aras sambil mengambil cap jari Ao dan menempelkannya di kertas tersebut.