She’s Already Hurted.

Naura berjalan menuruni tangga kosannya, dengan menggunakan hoodie dan celana piyamanya.

Dia sejujurnya takut, dia takut pertemuannya ini akan membawa masalah baru kedepannya diantara dirinya dan Akbar.

“Nau”

“Eh, Akbar, maaf nunggu lama, masuk dulu?”

Akbar menggeleng pelan, “disini aja.”

Hening, suasana canggung tiba-tiba menyelimuti mereka saat ini.

“Akbar, ngapain kesini?” Tanya Naura membelah keheningan diantara mereka.

“Eh, oh iya, lupa, ini mau ngasih ini.”

“Ini apa?”

“Obat sama beberapa makanan.” Ucap Akbar singkat.

Naura terkejut, bahkan dia sama sekali tidak memberitahukan Akbar soal ini.

“Tau dari kayla, sama tadi abang lo cerita, minta tolong.”

“Jadi yang ntar lagi dateng dibilang sama kak raka itu lo?” Tanya Naura.

“Kenapa? Ngga boleh?”

Naura menghela nafas, kali ini dia tidak mau banyak bicara karena dia terlalu takut untuk menyakiti hati Akbar berulang kali.

“Boleh kok. Yaudah makasih ya.”

“Iya, gue pulang ya?” Ucap Akbar kemudian bersiap untuk memakai helmnya, namun tiba-tiba dihentikan oleh tangan Naura yang tiba-tiba menarik tangan Akbar.

“Kenapa?”

“Jangan pulang dulu, masuk dulu ya?”

“Emang ngga ganggu?” Tanya Akbar ragu.

Naura menggeleng, “Engga, ada yang mau gue omongin sedikit.”

“Ngomong banyak juga gapapa.”

“Serius—“

“hehe, yaudah bukain pagarnya, disini rawan curanmor, kalo motor gue dicuri gue ngga bisa sering-sering kesini nanti.”

TUHAAAAAAAN KENAPA AKBAR MASIH SEMPET SEMPETNYA BECANDA SIH, batin Naura berteriak.


Setelah mempersilahkan masuk dan tentunya meminta izin dulu kepada seperangkat penjaga kosan, akhirnya kini Naura & Akbar duduk bersama di sofa kesayangan para anak kost kalo lagi menerima apelan dari pacar-pacar mereka, tapi beda dengan Naura ya.

OK NVM T_T

“Mau ngomongin apa?”

“Panjang sih.”

“Katanya tadi sebentar.” Ucao Akbar

“Kalo sibuk yaudah gapapa boleh pulang.”

Akbar hanya tertawa, “Udah terlanjur masuk, kenapa diusir?”

“Yaudah diem disini, dengerin.”

Akbar memajukan badannya mendekat kearah Naura, “IH GAK USAH SEDEKET INI LO EMANG KALO AGAK JAUHAN NGGA DENGER?”

Benar-benar malam ini Akbar terlihat selalu happy, terlihat seperti tidak ada masalah yang sedang dia rasakan.

“Iyaiya, apa?”

Naura menghela nafas berat, “Yang pertama gue mau minta maaf.”

“Jangan dipotong, masih belum selesai.”

Akbar mengangguk tanda mengerti atas arahan Naura.

“Gue minta maaf atas sikap gue yang terlalu blak-blakan cenderung jahat kemarin bar, gue minta maaf.”

Akbar diam, benar benar tidak memotong perkataan demi perkataan yang disampaikan oleh Naura.

“Ada alasan yang bikin gue begini bar, sebenernya.” Naura mulai mengucapkan kalimat demi kalimat dengan suara bergetar.

“Kalo belom siap cerita, ngga usah diceritain.” Ucap Akbar pelan.

Naura menggeleng, “Gue harus ceritain, kata jovi gue ngga boleh mendem sendirian.”

“Lo patuh banget ya sama jo—“

“Dia sahabat yang gue punya, selain lo.” Potong Naura.

Akbar kembali mengangguk, “Yaudah, mau dilanjutin apa ngga?”

“Mau—“

Naura kembali menarik nafas panjang, dan berusaha mengingat kembali kejadian yang membuat dirinya begini.

Namanya Juna, laki-laki yang menjadi sahabatnya sejak kelas 1 SMA itu terus mengisi hari-hari Naura. Keduanya memang bersahabat, dengan Jovi tentunya.

Intensitas pertemuan mereka membuat Naura lama lama menaruh hati kepada seorang bernama Juna, dia adalah satu-satunya orang yang paling Naura kagumi saat itu setelah kedua orang tuanya. Hari-hari Naura hanya menceritakan semuanya tentang Juna kepada Jovi, tentunya secara diam-diam.

Ternyata, semesta mendukung Naura, karena Juna juga merasakan hal yang sama dengan Naura, berawal dari sana, Naura dan Juna mulai menjalani hubungan layaknya anak SMA yang berpacaran, namun karena notabenenya mereka berawal dari sahabatan, Naura selalu mendapat pesan untuk selalu menjaga komunikasi, karena sayang jikalau mereka harus selesai dan kedepannya malah menjadi musuh.

Cukup banyak kenangan manis yang pantas dikenang selama mereka menjalin hubungan, namun hubungan yang tidak didasari atas keterbukaan sama saja seperti hubungan pura-pura. Juna berubah menjdi orang yang tertutup, tiba-tiba juan menjadi orang yang berbeda 180°. Dia menjadi tertutup, dia suka bolos sekolah, jarang mengerjakan tugas dan bahkan Juna yang terkenal pintar tidak bisa lolos kedalam seleksi olimpiade untuk mewakilkan sekolah. Tapi bukan itu yang menjdi permasalahan bagi Naura. Tapi sisi tidak terbukanya Juna yang menjadi permasalahan di hubungan mereka.

Berubahnya Juna juga mendoktrin orang-orang seantero sekolah untuk menjudge Naura telah membawa pengaruh buruk kepada Juna.

Bahkan setiap hari pesan berisi ujaran kebencian tidak berhenti diterima Naura.

”Naura, lo kasih pengaruh buruk apasih ke Juna?”

”Naura, lo apain Juna sih?”

”Naura, putus aja sama Juna, lo itu cewe pembawa pengaruh buruk tau ngga.”

Hal tersebut membuat Naura mau tidak mau harus bertanya dan menyelesaikan permasalahan yang ada diantara mereka, Naura tidak menuntut, hanya saja dia ingin Juna bisa terbuka dengan dirinya.

Malam itu, Naura hendak membicarakan hal ini dengan Juna, dia minta untuk bertemu disalah satu taman, mereka berusaha menyelesaikan dengan kepala dingin, tapi setan apa yang merasuki mereka berdua, mereka berdua malah mengambil keputusan dengan emosi yang masih ada di kepala.

“Kamu kenapa ngga mau cerita?” “Kita janji buat selalu terbuka, Ju.” “Kamu ada masalah kenapa ngga mau diceritain ju?”

“Nau, stop, lo cuma pacar, bukan berarti gue harus ceritain semuanya sama lo.”

Kalimat itu tentunya membuat Naura sakit hati, selama mereka menjadi sahabat, mereka tidak pernah begini, Sebenarnya ini yang paling ditakuti oleh Naura.

“Kita putus aja deh nau, itu kan yang lo mau?”

Sampai kata-kata yang tidak diinginkan keluar dari mulut Juan, menbuat Naura tidak habis pikir, sebegitu bercanda kah hubungan mereka? Its sounds cringe, tapi Naura hanya meminta Juna untuk tidak memendam tapi nyatanya, dia memendam dan tidak membagi keluh kesahnya kepada Naura, sesuai janji mereka di awal.

“Lo mau putus kan? Itu kan yang lo mau makanya lo ngajak gue ngomong sekarang nau? Yaudah kalo lo mau putus, kita putus sekarang, Nau.”

“Junaa..”

Malam itu Juna pergi, ntah kemana meninggalkan Naura sendiri yang menangis tak berhenti. Dia tidak tahu, rasa ingin tahunya malah membuat Juna sakit hati sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan, semua itu memang terdengar kekanak-kanakan memang.

Sampai Akhirnya, Naura malam itu dijemput oleh Jovi yang rela menjemput dirinya walaupun jarak rumahnya dengan lokasi Naura sekarang jauh. Jovi menyuruh Naura untuk tenang, sampai akhirnya ntah apa membuat Naura tidur sangat pulas hingga tidak sadar, malam itu telfon genggamnya tidak berhenti berbunyi,

“Naura, lo yang buat ini semua terjadi” “Naura, lo emang pembawa sial.” ”Naura, kembaliin Juna, kemarin lo buat Juna berubah, sekarang lo ngebuat Juna pergi.”

Pesan terakhir itu tiba-tiba menyadarkan Naura dari tidur lelapnya, awalnya dia tidak mengerti apa maksudnya, dia kira semua itu mimpi, sampai akhirnya, 1 pesan dari Jovi muncul “Naura, sorry to say, Juna kecelakaan semalem setelah kejadian kalian berantem, idk how to tell u dan gue ngga tau penyebabnya karena apa, tapi dia, dia pergi ninggalin kita semua, Nau.”

Naura mengakhiri kisahnya dengan isakan yang sangat keras, tidak perduli dengan tetangga kosannya yang berasumsi macam-macam terhadapnya, tapi tragedi itu cukup membuat Naura sampai saat ini selalu menyalahkan dirinya sendiri.

“Seharusnya kalau malem itu gue ngga ngajak dia ketemu, dia ngga bakal pergi.”

“Seharusnya kalau gue ngga nuntut dia untuk terbuka, dia ngga bakal pergi, bar.” Isak tangis kembali terdengar dari mulut kecilnya.

Akbar masih shock mendengar kisah tragis yang dirasakan oleh sahabat perempuannya, mungkin cerita tersebut terkesan terlalu dramatis bagi orang lain, tapi bagi Akbar, tragedi itu cukup membuat Akbar paham mengapa Naura selalu takut jika ada yang mendekatinya, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.

Akbar berusaha menenangkan perempuan yang ada disebelahnya ini

“Nau—“ “Gue minta maaf..”

Naura mengangkat kepalanya, mata sembab sudah tercetak jelas di wajahnya, “Lo ngga perlu minta maaf, seharusnya gue yang minta maaf udah nyakitin lo dengan kata-kata gu—“

“Nau, ngga—“

“Akbar, gue ngga mau lo jadi korban kesialan gue. Akbar, you deserves someone better than me.

Akbar memalingkan wajahnya kearah depan, tidak lagi menghadap Naura, dia sedikit berusaha menetralkan pikirannya saat ini.

“Nau, udah berkali kali orang bilang gue bodoh karena terus berharap lebih dari lo.”

“Tapi Nau, what if someone who deserves it is you?”