The last story.

Sesuai dengan apa yang dikatakan Naura di emailnya tepat jam 12 malam walaupun sedikit terlewat.

Saat ini Akbar sedang bersiap untuk menjemput pujaan hati menuju ke tempat yang Naura katakan.

Akbar sebenarnya tidak terlalu mengharapkan surprise ataupun sebuah kejutan di hari ulang tahunnya, karena menurutnya hari ulang tahun itu berarti berkurangnya umurnya di dunia, bukan bertambah.

Tapi, demi merayakan sukacita Akbar tetap menerima undangan dari Naura yang ntah telah disiapkan dari kapan.

Mesin mobil sengaja dimatikan, laki-laki dengan pakaian berwarna putih itu keluar dari Mobilnya menuju ke beberapa orang yang sudah menyambutnua didepan pintu ruma Naura.

“Selamat ulang tahun ya, sayang.” Mama Naura memberikan ucapan penuh kasih sayang kepada Akbar, karena Akbar sendiri sudah dianggap sebagai anaknya juga.

“Makasih ya tante.”

“Yaudah ayo kita pergi?” Naura memotong pembicaraan Akbar dengan beberapa sanak keluarganya yang terus mengucapkan selamat.

Naura dan Akbar memasuki mobil dan menuju ke tempat yang akan mereka tuju.

Untungnya, perjalanan mereka tidak terjebak oleh kemacetan ibukota malam itu. Mereka hanya perlu menempuh waktu dua puluh menit untuk tiba di salah satu restoran yang terkenal dengan fine dining di rooftop tersebut.

“Kamu nyiapin ini? Kok repot-repot.”

“Gapapa sekalian kita fine dining ya, selama kita pacaran kita belum pernah ya begi..”

Tangan Naura yang sedaru tadi berada di samping kananya langsung di genggam erat oleh Akbar. “Yaudah ayo kita sering-sering fine dining habis ini, mumpung masih bisa ketemu, mumpung belum ldr lagi, oke?”

Naura tersenyuk mengangguk, Akbar benar-benar laki-laki yang selalu peke terhadap keadaan. Tidak seperti dirinya.

Setelah pesanan mereka datang, keduanya langsung menyantap dengan khidmat sambil sesekali mengobrol tentang hubungan mereka.

Vibes mengobrol langsung dengan virtual tentu saja berbeda, maka dari itu mereka benar-benar memanfaatkan waktu mereka yang bisa dibilang singkat.

Karena mereka berdua hanya mendapat cuti selama satu minggu saja—sesingkat itu.

“Kamu mau hadiah apa?”

“Ngapain ngasih hadiah lagi?”

Naura mencibir. “Ditanya kok malah balik nanya.”

“Ini juga udah hadiah.”

“Apaan ini mah makan-makan…” Naura terus menjawab, tidak mau kalah.

“Nau—“

Naura mengeluarkan beberapa hadiah yang sengaja disimpan dibawah meja agar tidak repot untuk membawa lagi.

“Ini hadiah pertama, kata kak Raka kemarin kamu nanyain soal sepatu, kamu belum beli kan?” Tanya Naura sambil menyodorkan satu paperbag besar berisi sepatu.

“Nau ini mahal mending uangnya ditabung…”

“Jangan nolak kalau ngga—“

Akbar kemudian menutup mulutnya, dengan tanda bahwa dirinya tidak akan berbicara lagi.

“Terus hadiah kedua—ngga ada, itu aja hadiahnya.”

Akbar kemudian menghela nafasnya lega, karena menurutnya, lebih baik untuk menabung daripada harus digunakan untuk membeli barang-barang untuknya.

“Bener kan cuma ini aja?” Akbar bertanya berkali-kali untuk memastikan. Hal tersebut tentunya mendapat anggukan dari Naura.

Akbar kemudian berdiri menghampiri Naura. Kemudian memeluk erat tubuh perempuan yang ada didepannya.

Hadiah yang diberikan bukan berupa hal yang besar, tapi kehadiran Naura lah yang merupakan kado terindah bagi dirinya diumur 25 tahun ini.

“Nau—“

“Akbar makasih ya udah selalu sabar, beneran deh gue ngga ngerti kalau dulu kita ngga ketemu, dan ngga temenan apakah mungkin gue ketemu orang kaya lo.”

Naura sengaja menggunakan bahasa pertemanannya karena dia merasa omongan menggunakan panggilan pertemanan akan lebih terasa artinya untuk saat ini.

“Makasih udah selalu ada buat gue di suka dan duka ya, Bar..”

“Gue ngga tau kalo lo nyerah waktu itu, gue bakalan sama siapa ya sekarang, ada orang yang bakalan sesabar lo ngga ya…”

“Walaupun i’m not worthy at all to stand behind you, but—“

“Nau, 5 years ago, i fell in love with you. Setiap kali gue berusaha keras buat jauh, berkali kali gue bilang gue ngga bisa. Jangan selalu bilang makasih dan maaf. Lo dan gue, kita, semuanya itu udah punya garis takdirnya masing-masing.”

Akbar memotong pembicaraan Naura, mereka berdua masih saling berpelukan satu sama lain. Akbar kemudian menepuk dan mengelus pelan punggung perempuannya tersebut.

“Jangan pernah berfikiran kalau lo ngga ada gue lo ngga bakal hidup, jangan pernah. Apalagi kalau kamu ngerasa kamu itu ngga worth sama sekali untuk seseorang, berkali kali aku bilang kalau itu salah.” Lanjutnya.

Akbar menghela nafas panjang. Kemudian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Naura dalam rengkuhan tangannya.

“Nau, gue benci lo yang selalu nyalahin diri lo, yang selalu ngga yakin sama kualitas diri lo, kalo lo ngga worth buat gue—kita ngga bakalan berdiri disini. Berdua—fine dining bareng-bareng. Ngga bakal.”

Naura dengan mata sayunya menatap lekat kedua bola mata hitam Akbar yang tepat didepannya.

“Gue ngga bisa ngerubah lo, gue disini bukan untuk ngerubah lo. Nau, yang bisa merubah sifat dan watak manusia itu ya diri dia sendiri. Selama-lamanya gue sama lo, selama-lamanya kita barengan berdua pun ngga bakal bisa merubah semuanya.”

Naura mengangguk paham, padahal berkali-kali dirinya selalu di nasehati oleh Akbar, tapi tetap saja balik lagi dan lagi.

“Jadi, mulai sekarang terakhir ngatain diri kamu itu ngga worth buat aku.” Akbar kembali menunjukkan karakter lembutnya didepan Naura.

Akbar menghapus sisa air mata yang tadi sempat mengucur dari kelopak mata perempuan itu.

“Janji ya? Janji terakhir.”

“Kamu mau kemana? Kenapa janji terakhir?” Tanya Naura.

“Aku ngga kemana-mana, harus dibilang janji terakhir supaya kamu stop berfikiran kaya gitu terus menerus.”

Naura kembali memeluk tubuh Akbar kedalam rengkuhannya. “Iya..aku janji, tapi kamu juga janji jangan kemana-mana. Kita disini sama-sama, jangan saling meninggalkan atau ngga aku bakalan—“

Belum selesai Naura menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba beberapa orang yang dirinya kenal muncul dari balik pintu ruangan tersebut.

Ada mama, papa, kak Raka, Ezra, Kayla, Jovi serta beberapa keluarga besarnya berada disamping kanan, saat dirinya melirik ke samping kiri, terdapat Oma & Opa serta beberapa keluarga Akbar yang tersenyum menatap keduanya.

Naura kemudian melepas pelukannya, dan melihat kearah Akbar, raut wajahnya jelas menggambarkan kebingungan disana.

“Akbar, kok ada—“

“Nau aku ngga pinter nguatarain perasaan, kalau aku pinter, pasti aku cuma butuh 1 tahun aja buat bilang kalo aku suka sama kamu waktu itu. Tapi nau, sebagai temen, sahabat, sekaligus pacar saat ini. Aku ngga mau kehilangan momen ini. Sebenernya sengaja aku kumpulin semua orang. Kamu harusnya sih udah tau, karena tau kan aku ngga pinter nutupin sesuatu—“

Naura berusaha menahan nafasnya, masih berusaha mencerna semuanya.

“Lama deh bang Akbar.” Tiba-tiba oji yang berdiri dibarisan keluarga Naura menyeletuk kepada Akbar, membuat seisi ruangan tertawa mendengar ocehan oji tersebut.

“Sabar dong ji, gue ngga bisa nih sosweet begini, apalagi sama Naura yang gue udah tau kebobrokannya—“ Bukannya melanjutkan Akbar malah menjawab celetukan dari anak laki-laki tersebut.

“Ini? Jadi..kamu mau ngomong sama aku atau sama oji?” Tanya Naura memotong pembicaraan mereka berdua.

“Oke lanjut-lanjut, jadi Nau, aku tuh aduh ngga bisa kaya ala-ala gitu, tapi nikah sama aku dong? Aku mau ngubah status lagi dari temen sepermainan, jadi temen hidup, mau ya? Kalo ngga mau ya paling akunya nangis…”

Semua orang tertawa mendengar omongan akbar yang tidak ada kata romantis sedikitpun.

“Ini? Kamu ngajak aku nikah apa ngajak aku main perosotan sih?” Cibir Naura, kali ini bukan haru biru, tetapi satu ruangan penuh kekehan dari orang-orang melihat momen diantara mereka berdua.

“Yah, tapi bar..” Naura mengucap dengan hati-hati, membuat beberapa audience disana ikut merasakan ketegangan dari kata ‘tapi’ tersebut.

“Lo telat..”

Mata Akbar langsung terbebelak, Akbar tidak paham maksud dari perkataan Naura. “Hah? Lo udah dilamar? Tapi kata papa lo belum ada yang ketemu selain gue……”

“Lo udah ketemu papa? Kapan? Kok ngga bilang?”

“Yah bukan surprise dong namanya kalo bilang-bilang sayang..” celetuk salah satu tante Naura.

“Ih iya maksudnya tuh iya telat, kenapasih ngga dari dulu? Aku kan udah ngode walaupun diujung becanda. Soalnya orang kantor aku ngecengin mulu kalo ldr ngga pernah berhasil, apalagi ldrnya sama pacar yang dulu itu temen sendiri. Godaannya banyak. Tadinya aku mau putusin kamu—tapi karena dilamar ngga jadi deh, eh ini beneran dilamar kan?” Candanya, kembali memecah tawa di ruangan tersebut.

Suasana pertemanan masih erat terasa diantara mereka, sebisa mungkin walaupun status mereka sudah dapay dikatakan naik level, tetapi keduanya masih terus membawa vibes pertemanan agar tidak ada perbedaan dari sebelumnya.

“Jadi diterima apa ngga neh? Oji laper—katanya bang Akbar mau traktirin steak.” Oji kembali membuka suaranya walaupun setelah itu mulutnya ditutup rapat menggunakan tangannya.

“Iya aduh gimana nih kak Nau? Diterima atau ngga?” Tanya Akbar jahil.

“Dih? Cincinnya mana?”

Menyadari hal tersebut, Akbar kemudian menepuk jidatnya. Bisa bisanya dirinya melupakan satu benda penting yang menjadi sebuah simbol dalam acara ini.

“Jadi Naura, mau nikah ngga sama gue?” Tanya Akbar dengan nada penuh harap.

Naura yang berdiri dihadapannya, kemudian tersenyum dan menjulurkan tangannya kearah Akbar.

“Iyadeh, kasian kalau ngga diterima—ENGGA NGGA BERCANDA. Iya aku terima, tapi kalau udah nikah aku mau liat kamu—“

Belum selesai Naura berbicara, Akbar kemudian langsung memeluk erat kekasihnya bahkan sebelum mengaitkan cincin pada jari manis perempuan tersebut.

Disini, malam ini ditemani dengan keluarga besar keduanya. Akbar dan Naura kembali menunjukkan kuasa dari pertemanan dan hubungan mereka.

Keduanya membuktikan, tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia. Sepahit apapun orang menilai dan memberikan tanggapan mereka, jika keduanya sudah sama-sama saling di takdirkan, tidak akan bisa dipatahkan oleh opini belaka.

Karena dalam suatu hubungan mereka berdua percaya bahwa yang dibutuhkan hanyalah perjuangan bersama. Karena sejatinya perjuangan yang telah dilalui bersama-sama pasti tidak akan mengkhianati hasilnya pula, karena yang mengerti akan seluk beluk hubungan adalah diri sendiri, bukan orang lain.

Kali ini, bukan hanya disaksikan oleh saksi bisu, tetapi hari ini persatuan keduanya disaksisan oleh saksi hidup yang selalu mendukung hubungan mereka untuk serius melanjut ke jenjang berikutnya.

Untuk yang terakhir kali, terimakasih Akbar dan Naura. Terimakasih atas perjuangan sejak pertemanan hingga saat ini menuju dihalalkan<3

— Sequel From 0% Interest, End (16 December 2021)