This is us.

“Akbar, kenapa keluar mobil?”

Naura terdiam saat melihat Akbar telah berdiri didepan mobilnya menunggu Naura keluar dari kost-nya hari itu.

“Gue minta maaf.” Ucapnya pelan.

“Ngga seharusnya ya gue baca, tapi sumpah nau gue baru baca sampe lo ceritain pas gue tau kak Raka itu abang kandung lo selebih—“

Naura tertawa, “hahaha iya udah ngga apa-apa, salah gue juga teledor, udah yuk jalan? nanti kesorean kan?”

Hari ini, memang sudah direncanakan keduanya jauh-jauh hari untuk sekedar saling bertukar cerita. Niatnya mereka ingin bersenang-senang sambil bersenandung saat perjalanan.

Namun, karena tragedi journal Naura tersebut, malah membuat keduanya terlihat canggung dalam perjalanan.

Ntah apa yang membuat mereka canggung, apa Naura yang terlalu memikirkan bagaimana menyampaikan apa yang tertulis di beberapa halaman terakhir journalnya, ataukah Akbar yang terlalu overthinking akan apa yang akan Naura sampaikan hari itu.

Yang jelas kali ini, suasana di dalam mobil hanya diisi oleh lagu yang bersenandung dari balik speaker mobil tersebut.

I'll be honest We're better off as friends I told myself I would never fall again But I can feel myself falling now

Lantunan lagu tersebut membuat Naura merenung seketika, mengalihkan pandangannua menujur arah jendela mobil.

The one thing I know is I'm scared to love again I need you now more than I needed you then I guess I'm too dependent Depend—

“Nau, udah sampe-“ ucapan Akbar membuat Naura kembali tersadar dari lamunannya yang bahkan membuat dirinya tidak sadar kalau mereka sudah sampai ditempat tujuan.

Mereka berdua sama-sama turun dari mobil, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, seperti orang yang baru pertama kali bertemu.

Hal itu tentunya membuat pikiran negatif selalu berdatangan kedalam otak dan perasaan Akbar kali ini.

Mengenai apa yang ada di lembaran terakhir journal Naura& mengenai apa yang akan disampaikan Naura kepada Akbar.

Pikiran itu terus menerus menghantui Akbar saat ini.

“Bar—haloo?” “Kenapa ngelamun bar?” Ucap Naura yang melambai lambaikan tangannya tepat didepan Akbar.

“Ah—sorry, ngga ngga kenapa napa, ayo gue tau tempat yang bagus disini—“ Ucap Akbar kemudian berjalan lurus kearah depan mendahului Naura.

“Bar—“ Panggil Naura.

Akbar menoleh, “Iya?”

“Bukunya lo taruh dimana?”

“Buat apa? Nanti aja pas pulang nau diambil, di taro di mobil aja ngga sih?” Tanya Akbar.

“Gue bukannya udah bilang kalo gue bakal bilang mengenai halaman terakhir yang ada di journal gue?” ucap Naura dengan suara pelan.

Akbar kali ini terdiam, perasaannya campur aduk, terdapat banyak ketakutan dan penasaran dibalik perasaannya kali ini. Akbar pikir omongan Naura soal dia akan memberitahukan mengenai isi halaman terakhir journal diary nya itu hanya omong kosong belakang.

“Bar? ini gue kaya ngomong sama tembok? mana? sini kuncinha biar gue ambil.”

“Ah iya astaga, sorry, ini, ada di tas gue di jok belakang, ambil aja.”

“Lo beneran belom baca kan?” Ucap Naura sambil memasang tatapan mengancam.

“Nau, astaga, gue udah baca…”

Naura langsung kembali membalikkan badannya, “TADI KATANYA BELOM BACA!!!!!!”

“Kan udah baca, halaman terakhir yang belom gue baca, gimana sih—“ jawab Akbar.

“Oh iya—“

“Makanya jangan marah-marah mulu, berkali kali dibilang kalau marah makin lucu—“ ucap Akbar berusaha mencairkan suasana canggung diantara mereka.

“Sempat-sempatnya dia gombal.” Bisik Naura sambil berjalan kearah mobil untuk mengambil harta paling berharga dihidupnya selain keluarga.


Sore itu, mereka berdua sama-sama berusaha menikmati waktu healing berdua dari segala perasaan takut, resah, gelisah, galau mengenai hidup mereka.

“Tempatnya bagus banget deh, kok lo tau tau sih tempat begini?”

“Ada yang lebih bagus lagi, tapi emang agak diatas gedung gitu.”

“Astaga ini masih belom ada apa apanya?”

“Belom—“

Naura diem. “Kenapa? Capek?”

“Lumayan, istirahat dulu ya?”

“Yaudah, nih minum dulu.”

“Kapan lo beli?”

“Tadi.”

“Perasaan lo ngga bawa apa apa deh pas jalan?”

“Perasaan lo aja kali nau, perasaan tuh kadang emang suka mempermainkan apa yang sebenarnya terjadi.”

Naura terdiam. Mereka canggung lagi.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk sekedar beristirahat dan menghabiskan beberapa cemilan yang ada di kantong ajaib Akbar (yang ntah dimana dia sembunyikan)

Akhirnya Akbar mengajak Naura untuk kembali berjalan ke tempat lanjutannya.

“Nau, yuk? Dikit lagi sih ini.”

“Beneran bagus ngga?”

“Bagus.”

“Kalo ngga bagus tanggung jawab ya?”

“Lo mau gue tanggung jawab apa?”

Naura mendelik, kemudian langsung mendorong Akbar dari belakang, “udah udah ayo sana jalan.”

Setelah tiba ditempatnya, dengan nafas yang terengah engah Naura kemudian menghentikan langkahnya sedangkan Akbar masih berjalan menaiki anak tangga untuk mencapai puncaknya tempat yang mereka datangi.

“Nau, liat anjir ini bagus bange—“

“AKBAR.” teriak Naura.

Mendengar teriakan itu membuat Akbar langsung menoleh dan hendak turun menghampiri Naura. “NAU, KENAPA?”

“Jangan turun, disitu aja.”

Akbar makin bingung sama tindakan Naura, hal apa yang mau dia lakukan.

“Gue bilang gue bakal kasih tau lo halaman terakhir di journal berkedok diary gue kan?”

Akbar tidak menjawab.

Naura mengambil nafas dalam-dalam dari tempat ia berdiri sekaang.

“Naura, are u okay?” Teriak Akbar.

“Tahun 2021–“

Naura kemudian mulai membaca inti diarynya tersebut—

tentang pertama kali pembahasan mereka saat di paralayang sampai beberapa chat Akbar yang mulai menyiratkan perasaannya

tentang dirinya yang mulai menyadari arti Akbar sebenarnya, tapi masih belum paham apakah ini tandanya dia menyayangi Akbar hanya sebatas teman atau lebih dari itu

tentang bagaimana Naura terus mencari tau mengenai apa arti perasaannya saat ini, dan menemukan satu balasan dari seseorang yang berkata *”so you can either prepare for him to try and convinance you why it would be a good idea to get with him or prepare for him to slowly dissapear from your life”. Kata kata yang membuat Naura kembali takut dengan yang namanya kehilangan tapi takut kembali menyebabkan perpisahan.

Tentang bagaimana dia survive untuk mengatasi segala trauma yang pernah dia punya dan tidak kembali menyakiti hati seseorang lagi, tentang bagaimana dia bisa jujur kepada dirinya sendiri mengenai perasaan yang sedang dia rasakan saat ini.

Naura tiba-tiba menghentikan perkataannya, sambil menatap lurus ke Akbar dengan tatapan sendu.

Tatapan itu kembali membuat Akbar takut akan apa yang disampaikan Naura mengenai halaman terakhir yang ada di journal diarynya itu.

“Akbar—maaf..” ucap Naura dengan suara bergetar.

Kata maaf kembali terucap dari mulut gadis yang sedang berdiri di anak tangga pertama tersebut.

Ntah apa, tapi kali ini Akbar kembali merasakan kesedihan yang sungguh hebat menghantam hatinya, ntah apa, tapi dia tidak sanggup untuk mendengar isi dari halaman terakhir tersebut.

“Nau, ngga usah dilanjutin..”

Naura menggeleng, “lo harus tau, udah waktunya bar.”

“Nau gue ngga sanggup dengernya—“ Ucap Akbar.

Ntahlah, memang kisah mereka sepenuhnya terlalu drama untuk dikisahkan.

“Di agustus 2021, tepat beberapa hari yang lalu, gue tulis halaman terakhir yang ada di journal gue.” Lanjut Naura.

Akbar kali ini menunduk, dia benar-benar tidak siap, walaupun kemarin dia bilang ke Raka kalau dia ikhlas perjuangannya tidak dibalaskan, tapi sejatinya Akbar juga manusia yang tak luput dari rasa kecewa.

“—gue mulai nyadar kalo apa yang gue lakuin salah, setelah gue dapat wejangan dari ibu hanna selaku psikolog gue saat ini, yang ngebantuin gue buat nyembuhin luka lama yang gue tanggung, gue menyadari sesuatu yang sepenuhnya ngga pernah gue bayangin selama kita berdua temenan, bar.”

“Gue mulai nyari mengenai artikel yang mengatakan kalau ”You’re truly in love with him.””

Akbar kemudian kembali mengangkat kepalanya saat mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Naura.

“Dan, semuanya menggambarkan perasaan gue sekarang ke lo bar. Lo selalu berusaha ngasih gue motivasi atau ngehibur gue disaat gue jatuh dan salah satu yang paling nampar gue saat gue baca adalah ketika artikel itu bilang ”his happiness means the world to you, if he’s miserable, you’re genuinely messed up as well.”, dan semuanya beneran bar, gue ngerasain itu—“

“Nau—ra..” “Kalo lo ngerasain itu kenapa lo harus minta maaf sama gue nau?”

“gue gatau harus ngomong apa lagi, tapi gue seneng karena udah bisa jujur sama perasaan gue sendiri—“

Akbar hanya diam, mendengarkan segala perkataan yang keluar dari balik mulut perempuan tersebut sambil menatap lekat manik mata perempuan tersebut dari jauh.

“—gue ikhlas kalo misalnya lo mau pergi dari gue, gue ikhlas karena lo ngga deserves orang kaya gue, gue terlalu munafik, gue selalu denial soal perasaan, dan yang terakhir, gue selalu nyakitin lo dan ngga pernah bisa menghargai perasaan lo.” Lanjut Naua.

“Semuanya gue lakuin karena gue ngga mau kalo suatu saat kalo kita emang bener-bener ditakdirkan buat sama-sama, gue nerima lo cuma karena kasihan, gue ngga mau, jadi selama ini gue bener-bener harus meyakinkan diri gue, tapi yang ada gue cuma nyakitin lo dari hari ke hari.”

Akbar mengangguk, “boleh gue bicara sebentar?”

Naura menghembuskan nafas panjang, “boleh, tapi bar, gue ngomong ini bukan mau ngebawa lo buat ngambil keputusan baru karena gue tau lo udah terlalu capek sama drama yang gue buat, gue cuma mau lo tau kalo sebenernya gue udah 100% interest ke lo, itu a—“

“Siapa yang bilang kalau gue nyerah?” Potong Akbar, membuat Naura yang tadinya menunduk kembali mendongakkan kepalanya untuk menatap laki-laki yang ada disebrang sana.

“—tapi lo bilang kalo lo capek kan bar?”