we’re both just unlucky.

cw // mention of bloods, miscarriage.

Sabtu pagi. Entah kenapa, hari yang seharusnya menjadi hari liburnya hari ini mengharuskan Akbar untuk berangkat ke kantor karena ada urusan yang tidak bisa ditunda.

Berat rasanya, ditambah harus meninggalkan perempuan yang makin kesini makin bertambah lucu karena pipi gembulnya tersebut sendirian.

Apalagi mengenai perkataannya semalam, entah kenapa, Akbar semakin tidak ingin berpisah dengan Naura hari ini.

“Ngga apa-apa, pergi aja, sebentar doang kan? nanti pasti pulang terus sama-sama aku disini.” Ucapnya manis, setelah melihat wajah murung Akbar terpampang jelas memperhatikannya.

“Ah, aku ngga usah berangkat aja ya? Toh masih bisa dikerjain senin.” Akbar menolak, dan kembali duduk diatas kasur.

Naura menggeleng, “Pergi aja, aku gapapa, dirumah juga ada mba, jangan terlalu panik lah, kamu mah gitu.”

“Tapi janji ya jangan gerak berlebihan, jangan terlalu capek, kalo ada apa-apa, minta tolong ke mba aja.”

Hanya anggukan dan serta satu ciuman di pipi yang diberikan oleh Naura untuk mengiyakan perintah Akbar tersebut.

———

Tidak butuh lama di perjalanan hari ini, untungnya tidak terlalu padat seperti hari biasanya. Sapaan selamat pagi oleh beberapa orang yang nasibnya sama dengan Akbar ikut menyambut kedatangannya.

Tentu membuat mood sedikit berangsur membaik dari kenyataan yang sebenarnya menyakitkan, jujur masih tidak terima kenapa selalu ada kendala jika ingin menghabiskan waktu dengan Naura di weekend ini.

Namun, dikesampingkan pikiran tersebut jika tidak ingin menganggu pekerjaannya, toh jika kerjaan cepat selesai, dirinya akan cepat berkumpul kembali bersama Naura.

Satu jam Dua jam Waktu cukup terasa bagi Akbar sejujurnya. Namun, dirinya tetap berhasil menyelesaikan pekerjaan kantornya tersebut.

Bertepatan dengan selesainya pekerjaan, baru saja dirinya berdiri dan hendak berpamitan dengan yang lain, secara tiba-tiba Akbar mendapati notifikasi pesan di ponselnya.

”Akbar.” ”Jangan panik.” ”Lo ke tempat ini yang gue shareloc sekarang.” ”Jangan ngebut.” ”Naura disini, tenang ya bar, hati-hati bawa mobilnya”

Seketika tubuhnya lemas, tidak tahu konteksnya apa, tapi jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat tempat tujuan yang tertera di lokasi tersebut.

”Rumah Sakit”

Tanpa basa-basi, Akbar langsung berlari menuju basement, mengendarai mobilnya dengan laju yang cepat, tidak peduli kalau hal tersebut mungkin dapat membahayakan dirinya atau tidak. Yang terpenting, diri ya bisa memastikan, kalau apa yang berada di dalam pikirannya saat ini, tak terjadi.

Langkah gontainya berlari menuju ke ruangan yang mungkin tak pernah terfikirkan untuk didatangi secepat ini.

“Naura mana? Istri gue mana? Anak gue mana?” Hanya kata-kata itu yang mampu Akbar keluarkan dari mulutnya, Akbar hanya ingin melihat Naura, dalam keadaan baik-baik saja.

“Tenang dulu, tarik nafas, Akbar..”

Namun kata-kata penenang tersebut tidak cukup membuat dirinya bisa berhenti meneriakkan nama Naura disana.

“Naura mana..gue cuma mau liat Naura..”

“Naura di dalem, tadi dia jatuh, dia pendarahan, makanya kita semua disini, jadi sekarang lo tenang, berdoa, semoga semuanya baik-baik aja..”

Tuhan, rasanya kakinya langsung melemas seperti tidak ada tulang yang menopang, ternyata, perasaannya untuk tidak berangkat hari ini, membawa sebuah pertanda, pertanda yang tidak pernah dia harapkan sebelumnya

——————————————

Ternyata benar, kejadian ini mengharuskan keduanya merelakan sesuatu yang paling berharga dan ditunggu dalam keluarga kecil mereka.

Setelah tindakan dokter yang mau tidak mau harus dilakukan demi keselamatan, Akbar berusaha tegar, walaupun jujur, otaknya sedang bekerja keras untuk memikirkan bagaimana menyampaikan hal pahit kepada Naura, perempuan yang saat ini sedang terbaring lemah di ranjang berwarna putih tersebut.

Tangisnya tidak bisa tertahan, Akbar yang dikenal sebagai laki-laki terkuat, jatuh juga. Genggaman erat tidak lepas dari jari-jari perempuannya, dielusnya surai hitam perempuan tersebut, serta dibisikkannya beribu kata maaf disana.

“Sayang, maaf..”

“Maaf, maaf dan maaf..”

Akbar merasa gagal, gagal sebagai pendamping dan gagal sebagai calon ayah yang harusnya bisa menjaga

Mungkin, suara permintaan maafnya tersebut terlalu berisik, sehingga secara mendadak, Naura membalas genggamannya, membuat Akbar sedikit terbangun dan melihat ke arah perempuannya.

Kalimat yang dilontarkan pertama kali setelah perempuan itu membuka mata adalah

“Akbar? Dia pergi ya?”

Tuhan, rasanya Akbar tidak sanggup melihat perempuan ini, kehilangan untuk kesekian kalinya.

“Nau..”

Suara isakan sedikit terdengar, namun kembali hilang, yang ada hanya suara bergetar dari pertanyaan yang dilontarkan.

“Akbar, kenapa ya? Semua orang di dunia, bahkan yang kali ini belum bertemu secara langsung di dunia, udah pergi tanpa berkenalan..”

Akbar hanya bisa menggigit bibirnya pelan, Tuhan, jika Akbar bisa meminta, hanya satu permintaan yang dia inginkan, jangan pernah membuat wanitanya bersedih, untuk seterusnya.

“Akbar…”

“Ya sayang? Udah kamu istirahat dulu, gapapa ya? Ikhlas ya?”

Akbar menghela nafasnya pelan, terpaksa & harus dipaksa untuk ikhlas walau sejujurnya berat rasanya.

“Bener ya berarti yang aku tanyain kemaren? Dia pergi apa karena dia ngga bahagia? Karena dia tau aku jadi ibunya? Apa karena dia ngerasa bakalan lebih baik sama yang Kuasa daripada berkenalan dengan kita yang ada di dunia?”

Dunia harus tau, sakitnya cinta tidak terbalaskan zaman dulu bukan apa-apa dibandingkan mendengar kalimat yang dilontarkan Naura barusan.

“Naura….”

Bahkan, untuk menjawab saja Akbar tak sanggup.

If the baby leave me, kamu bakalan pergi juga ngga?” Ucapnya dengan nada parau, Akbar tau, saat ini Naura pasti sangat amat ingin menumpahkan seluruh tangisnya, tapi tertahan.

“Nau, if you want to cry, go ahead. I’m here, semua ini, bukan salah kamu. Dia pergi, bukan karena kamu, bukan juga dengan alasan ngga bahagia karena tahu kalau kita orang tuanya. God has plan, kita cuma manusia yang hanya bisa berserah diri, sayang.”

Tanpa sadar, air mata mengalir jelas di kedua pelupuk mata perempuannya.

Akbar rapuh, melihat Naura menumpahkan seluruh tangisannya disana, dengan mata terpejam, Akbar mengeratkan genggamannya.

Dengan sigap, Akbar memeluk Naura dengan erat, membisikkan kata-kata penyemangat, yang dirinya sendiri tahu kalau itu semua sama sekali tidak berarti sekarang.

Tegar bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan saat ini, tapi hal tersebut tetap berusaha Akbar lakukan demi Naura

”Nau, if you wondering i’ll leave you alone, the answers is “never”. From this moment, i promise to never leave you again, even for one centimenters. Ini duka kita, kamu punya aku, kamu ngga boleh nanggung semuanya sendiri.”

Naura masih diam dalam tangisnya, walaupun tak lama kemudian, dia hanya dapat mengangguk lemah tanpa daya.

“Akbar…maaf kalo aku ngga bisa jagain dia.”

“Nau..ngga, ngga ada yang salah disini.” Jawab Akbar

“Naura, like i said before, Dia pergi bukan karena ngga bangga sama kenyataan kalau kita orang tuanya, dia pergi bukan salah kamu, bukan salah kita, bukan salah semua orang. Kalo kita ikhlas, dia bakalan nunggu kita, kita bakalan ketemu lagi sama baby, Nau..”

Naura kembali mengangguk pelan, membuka kedua kelopak matanya yang sudah membengkak dan merah, sambil menatap lurus kearah mata Akbar.

”Then, Akbar, boleh ngga aku nitip pesan, sampaiin salam ku ke baby ya, bilang “see you soon, our puzzle piece. Mama will loves you, even we haven’t met before..”

Akbar kembali mengangguk dan memeluk wanitanya, tanpa sadar, bulir air mata yang sedari tadi dia tahan, terjatuh juga.

“Iya..aku bakalan sampein, aku bakalan bisikin ke baby-nya ya, Nau..aku bakalan bilang, kalo mama papanya sayang banget sama dia, walaupun kita bertiga, belum saling bertatap muka..”

Tak disangka, pertemuan tadi pagi, adalah pertemuan Akbar dan Naura dengan buah hati mereka.

Manusia memang berencana, tapi Tuhan yang punya kehendak. Perpisahan memang menyakitkan, namun selama Akbar bisa berikhtiar, perpisahan tidak akan kembali ke kehidupan mereka satu tahun, ataupun seribu tahun yang akan datang.