home (sick)

warn : toxic parents, toxic parenting, broken home, daddy issue, abusive parents, abusive act, verbal abuse, physical abuse, mentioning blood, naked, making love, etc.


tepat setelah silas dua jam lalu di kediaman rui, sejak saat itupun orang tua rui sibuk mendengarkan penjelasan silas yang diakui sebagai korban dari pemberontakan rui terkait perjodohan yang mereka laksanakan sejak dulu.

papa yang sedari tadi hanya diam mendengar tidak mampu melakukan hal lain selain mengepalkan tinjunya sekeras mungkin diikuti dengan rahangnya yang mengeras. bahkan tatapan matanya kepada rui mampu mengalahkan tajamnya pisau dapur rumah mereka.

“anak bapak dan ibu berselingkuh dari saya. dan yang lebih mengejutkan lagi, putra kalian tanpa sungkan atau rasa malu sedikitpun mengirimkan beberapa gambar seorang lelaki telanjang yang berada di tempat tidur saat mereka selesai melakukan kegiatan tidak senonoh tersebut.”

satu penjelasan telah berakhir, disambung dengan penjelasan lainnya oleh pria yang lebih tua beberapa tahun dari putra tunggal keduanya, “dia juga sudah berterus terang bahwa ingin pisah dengan saya. maka keinginan saya disini untuk mengabulkan permintaannya, maka tanpa basa basi, tolong tanda tangani surat pernyataan pembatalan kerjasama ini tuan nara, silahkan”

papa yang mendengar permintaan silas terkait hal yang selama ini telah ia impi impikan diam diam memendam kekesalan kepada sang anak. kenapa begitu ceroboh dan bodoh? kenapa begitu gegabah dan tidak sopan? tidak tahu kah rui bahwa ayah dan juga ibunya memiliki nama baik yang harus dijaga?

“sebelum saya menandatangi dokumen tersebut, izinkan saya menyalurkan kekesalan nak silas beserta keluarga” bersamaan dengan itu papa membawa langkahnya tepat dihadapan rui yang sedang menunduk dalam dalam, tangannya terkepal tidak nyaman saat melihat siluet sang papa yang begitu kentara.

BUGH!

PLAK! PLAK! PLAK!

BUGH!

tanpa aba aba, papa melayangkan tinju besarnya pada rahang rui, menampar pipi pualam sang anak semata wayang hingga rui terjungkal dari balik single sofa yang sedang ia duduki. lalu menendang bagian panggul hingga kakinya dengan sendal rumah tebal yang sehari hari pria paruh baya itu gunakan di musim penghujan.

mama yang melihat putra tunggalnya kesakitan dari balik pintu dapur hanya mampu menutup mulutnya yang menganga kaget. “anakku…” katanya lirih. ia tidak mampu melawan sang suami, jika pun ia mampu mungkin sudah ia lakukan sedari dulu.

“papah ampun, hiks!”

BUGH!

“papa sakit hiks! sakit pah!”

BUGH! PLAK!

bersama dengan kekesalannya yang tidak berakhir, sesadis itu pula ia meringankan tangannya kepada sang anak hingga rui tidak mampu memijakkan kakinya sendiri,

“rumi! bawa anak ini masuk ke kamarnya! jangan biarkan keluar! dasar tidak tahu malu, anak dan ibu sama saja.” katanya dingin sebelum memanggil sang istri untuk membantu rui yang sudah menangis kepayahan di tempatnya sekarang.