Simply Journal

By : Prima Chandra

Siapapun bisa marah. Bahkan anak kecil sekalipun.

Namun marah untuk hal yang tepat, dalam porsi yang cukup, dengan cara yang konstruktif...hmm, tak semudah itu Ferguso.

Dalam sudut pandang pengembangan diri, marah bisa menjadi sebuah alat yang efektif untuk mengembangkan seseorang.

Seorang atasan yang mampu marah secara efektif, dapat mengembangkan potensi orang-orang yang ia pimpin.

Namun ketika marah ini digunakan dengan sembarangan, alih-alih berkembang, ia justru akan mengubur potensi timnya dan pada akhirnya mengubur dirinya sendiri tanpa ia sadari.

Bagaimana Menggunakan Marah Sebagai Alat Pengembangan Manusia?

Ada beberapa hal yang perlu Anda pertimbangkan sebelum marah agar marah Anda efektif.

Pertama, tanyakan pada diri Anda, kenapa Anda perlu marah. Dan saya harap, jawaban dari pertanyaan ini bukan sekedar Anda tersinggung karena orang lain tidak melakukan apa yang Anda minta.

Mengetahui alasan yang tepat untuk marah tidak mudah. Perlu latihan. Namun, layak untuk dilakukan.

Kedua, apa bukan siapa. Banyak orang marah secara membabi buta ketika sebuah kesalahan dilakukan oleh orang tertentu tetapi diam seribu bahasa saat orang lain melakukan kesalahan yang sama.

Kunci agar marah Anda efektif adalah, marahlah kepada perilakunya, bukan orangnya.

Ketiga, evaluasi efektifitas marah Anda. Kalau dengan marah-marah, Anda tidak mencapai apa yang Anda inginkan, mungkin Anda perlu mengambil langkah lain.

Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil berbeda – Albert Einstein-

Anda punya cara lainnya?

Dulu waktu masih jaman pacar-pacaran di masa sekolah, salah satu alasan yang cukup 'romantis' buat mutusin cewek adalah

Kamu terlalu baik untukku

Entah kenapa, kalimat itu dari sudut pandang yang mutusin terdengar romantis dan berwibawa. Menciptakan kesan legowo untuk melepas pasangan yang kaya-kayanya jauh dari jangkauan.

Seiring berjalannya waktu, dengan bertambahnya pengalaman dan perspektif baru, kalimat “kamu terlalu baik buatku” itu jadi terkesan cengeng dan letoy.

Alih-alih kalimat itu terdengar seperti Kamu tidak terlalu berharga untuk aku perjuangkan.

Kalau memang maunya seperti itu, kenapa nggak bilang aja terus terang? Takut terkesan jahat?

Sebenarnya ada kok cara lain yang lebih baik buat mutusin pacar dengan manusiawi.

Pertama, seperti proses putus pada umumnya, seyogyanya lakukan di tempat yang cukup pribadi tapi tidak terlalu intim. Misalnya di kantin pas nggak terlalu rame, atau di kafe yang cukup sepi. Jangan mutusin di kamar hotel apalagi kuburan.

Kedua, sampaikan kondisi hubungan kalian saat ini dan seperti apa harapan kalian ke depan. Bisa nggak mimpi kalian terwujud dengan kalian tetap bersama. Kalau memang nggak perlu putus ya nggak usah putus.

Tapi kalau memang harus putus, langkah ketiga, bicarakan baik-baik. Memang berat sih, tapi pastikan kalau kalian sama-sama sepaham bahwa jikalau memang jodoh toh nggak akan ke mana. Mungkin suatu saat nanti kalian akan dipertemukan lagi dalam kondisi fisik, mental, spiritual, hingga finansial yang jauh lebih baik dari hari ini.

Kalau nggak jodoh? Ya setidaknya kalian sama-sama punya chapter indah di dalam buku perjalanan hidup kalian. Chapter yang membuat kalian bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.

Terakhir, mutusin cewek itu berat. Mungkin lebih berat daripada mutusin cowok (saya nggak punya pengalaman di sini). Jangan bikin lebih berat bagi kalian untuk sama-sama move on hanya karena kalian putus dengan alasan cemen seperti kamu terlalu baik buatku.

Kemarin, saya diminta oleh salah seorang rekan kerja untuk mengupdate rekap laporan data audit.

Bagi saya, pekerjaan ini adalah pekerjaan mudah. Namun saya agak ogah-ogahan untuk segera menyelesaikannya.

Alasannya sederhana. Pertama, memangnya ini kerjaan saya? Kedua, yang minta ini adalah orang yang secara level posisi setara dengan saya, bedanya dia lebih senior. Ketiga, saya nggak paham, kenapa kok saya harus bantu dia menyelesaikan tugas itu.

Buat saya pribadi, alasan ketiga ini lah yang paling penting. What's in it for me kalau istilah kerennya.

Pencerahan

Keesokan harinya ketika saya berdiskusi dengan manager baru saya, barulah saya paham tentang fungsi dari posisi saya dan bahwa tugas tersebut memang bagian dari pekerjaan saya.

Kemudian, tanpa disuruh lagi saya segera menyelesaikan tugas tersebut.

Take Away

Pernah nggak kamu merasakan apa yang saya rasakan?

Mengerjakan sesuatu tanpa tahu kenapa kita harus luangkan waktu, tenaga, pikiran kita di situ?

Males kan ya jadinya.

Poin saya di sini adalah bila kita ingin orang memberikan waktu, tenaga, dan pikiran mereka melakukan sesuatu yang kita minta, kita perlu terlebih dahulu meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran kita untuk 'memberi tahu' mereka kenapa dan manfaatnya buat mereka.

Orang itu egois. Satu-satunya yang mereka pentingkan adalah diri mereka.

Jadi, kenapa nggak kita berikan apa yang mereka mau supaya mereka mau melakukan apa yang kita mau?

Ngapain sih puasa di bulan Ramadhan? Karena wajib? Atau, karena semua orang pada puasa?

Saya punya teman di kantor yang kadang bikin saya heran, puasa tapi yang dipikirin itu adalah tentang kapan berbuka, menunya apa, dan segalanya tentang berbuka puasa.

Moga-moga saya nggak jadi riya' nulis begini...tapi toh nggak ada yang baca, jadi rasanya aman lah 😁.

Yang ada dalam benak saya cuman satu, ngapain sih puasa?

Bukannya salah satu hikmah puasa itu adalah supaya kita bisa memahami, gimana rasanya saudara-saudara kita yang kekurangan, nggak tahu besok makan apa, dsb.

Kita mah santai bisa galau mau menu apa untuk berbuka. Lah mereka, bisa berbuka aja udah bagus.

Salah-salah, puasanya extend gegara nggak ada yang bisa disantap ketika adzan Maghrib dikumandangkan.

Dan mereka juga mungkin nggak bingung sama menu sahurnya...lah nggak ada.

Karena itulah, kadang saya agak miris denger temen saya ini ngeluh menu sahur dan berbuka.

Tapi, ya mungkin dia juga punya alasan sendiri di balik keluh kesahnya. Semoga saja apapun itu nggak mengurangi pahala puasa dia.

Sayang kan kalau puasa cuma dapat lapar dan haus.

Menulislah agar kau ingat apa yang telah kau lalui hingga hari ini

Ceritanya, kemarin saya ada keperluan untuk mengurus paspor. Sudah beberapa hari saya habiskan untuk mempersiapkan segala kelengkapannya. Dan, menjelang hari H ternyata ada satu dokumen yang belum saya siapkan, surat pengantar dari perusahaan.

Bukan saya tidak tahu kalau dokumen itu perlu, melainkan lebih karena saya tidak menganggapnya penting.

Kenapa? Karena saya mendapat masukan kalau dokumen itu nggak diperlukan dari seorang kawan yang pernah mengurus paspor. Dan, lebih parahnya lagi...betul memang teman saya mengatakan kalau dokumen itu tidak diperlukan, tapi sebagai gantinya bawalah ID card.

Nah, bagian ID card ini yang saya nggak baca dengan teliti.

Alhasil, saya benar-benar tidak mempersiapkan dokumen ini. Baik surat keterangan bekerja maupun ID card.

Di sini saya masih saja mencoba mencari pembenaran bahwa dari pengalaman blogger lain, mereka tidak memerlukan dokumen ini.

Cemas dan khawatir plus nggak ada yang bisa saya lakukan karena 'baru nyadar' malam hari sebelum mengurus paspor. Saya memutuskan menyerahkan segalanya kepada-Nya yang Maha Kuasa.

Doa saya hanya satu, saya berharap proses pengurusan paspor ini bisa berjalan lancar walaupun ada kekurangan satu dokumen tersebut.

Jawaban Dari Doa

Allah punya cara-Nya sendiri dalam mengabulkan doa hamba-Nya.

Jujur, ketika saya berdoa agar proses pengurusan paspor berjalan lancar. Skenario bayangan saya adalah petugas imigrasi tidak akan menanyakan dokumen itu.

Namun, Allah punya cara yang lebih baik.

Lepas santap sahur bersama istri saya, istri saya yang sangat well organized mengajak saya untuk memeriksa ulang kelengkapan dokumen dan persiapan lainnya.

Dan di sinilah akhirnya 'ketahuan' kalau saya belum punya surat keterangan bekerja.

Saya berdalih kalau di aplikasi resmi badan imigrasi tidak mencantumkan perlunya dokumen itu. Namun, pertanyaannya, “Kalau ditanya gimana? Apa back up plan-nya?”

Pakai ID card.

Cilakanya, ID card saya tinggal di kantor. Alasannya biar nggak hilang.

Praktis rencana pun berubah.

Saya harus berangkat lebih pagi, berhenti di kantor dulu untuk mengambil ID card saya.

ID Card bukan satu-satunya

Selain ID card, dari proses pemeriksaan itu ternyata ada dokumen lain yang belum saya lengkapi.

Minor sih, hanya copy beberapa dokumen. Tapi tetap saja, artinya belum siap tuh.

Dibantu istri saya, kami pun mempersiapkan ulang semua kelengkapan dokumen yang diperlukan. Kami tata dengan sedemikian rupa untuk kemudahan ketika diminta petugas imigrasi.

Proses pun berjalan lancar

Alhamdulillah, proses pengurusan paspor pun berjalan dengan lancar. Semua dokumen yang diminta saya bisa tunjukkan dan proses wawancara dan foto pun sukses kami lalui.

Dalam hati saya berbisik Allah is absolutely awesome.

Kalau bukan karena-Nya, mungkin nggak tahu deh gimana jadinya proses pengurusan paspor saya. Terlebih, kalau skenario yang saya minta dikabulkan, mungkin saya juga nggak akan belajar bahwa persiapan itu penting.

Apalagi ketika saya harus absen kerja untuk pengurusan paspor ini. Kalau sampai prosesnya berulang artinya saya harus absen lagi dong. Terus kerjaan saya gimana.

Semoga pengalaman ini membuat saya benar-benar memperhatikan detil dari setiap rencana yang saya buat.

Pelajaran penting dalam membuat sebuah rencana adalah :

Expecting the best, prepare for the worst

Kalau membuat persiapan tanpa memikirkan skenario terburuk dan bagaimana langkah antisipatifnya, maka rencana itu belumlah matang.

Keep improving ya.

Few years ago, I created Tumblr account because I want to blog. At that time I was so in to blogging that I wanted to try every blogging platform.

Now, I only blog in my personal blog and write.as for my daily blogging.

I believe, with less blog have, I can be more focus on creating content that add values.

I want to do blogging, not bragging.

Perjalanan menuju tempat kerja kali ini saya tempuh dengan menggunakan angkutan umum bus. Kebetulan lepas pulang kerja, saya dan keluarga ada rencana mengunjungi tempat kelahiran kami, kota Surabaya.

Di dalam bus, seorang musisi jalanan atau yang akrab disebut pengamen menemani perjalanan saya dan penumpang lainnya dengan alunan lagu lawas.

Berbekal suara parau dan gitar akustik, ia pun menandungkan tembang yang membuat saya teringat bapak. Bapak saya adalah pecinta tembang jadul.

Waktu di rumah dulu, bapak senang sekali memutar radio kencang-kencang untuk mendengar lagu-lagu nostagia.

Dan itulah hebatnya musik. Se-enggak suka-enggak suka-nya kita dengan sebuah musik, tapi saat musik itu didengungkan berulang-ulang, lama-lama kita 'terpaksa' ikut nyanyi.

Dan setelah 2 tembang ia nanyikan, musisi tersebut menutup sesi pagi ini dengan sebuah kalimat yang tampaknya menjadi tagline para musisi jalanan.

Ikhlas bagi Anda, halal bagi kami

Merujuk pada nominal uang yang diikhlaskan para pendengar setia terpaksa buat si musisi.

Lepas itu, saya jadi berpikir...tagline saya apa ya?

Hari ini ada sebuah kicauan menarik yang melintas di lini masa Twitter saya dari mas @AdjieSanPutro.

Begini nih isinya,

Banyak orang mikir, berani mati itu hebat.

Padahal yg benar2 hebat itu BERANI HIDUP. Berani menerima kenyataan yg bertubi2 enggak sesuai harapan, berani menerima kekalahan, berani hidup sendirian, berani melanjutkan langkah meski berulang kali patah.

Apakah kamu berani hidup?

Terlepas dari isu dan polemik perpolitikan yang sedang hangat. Menurut saya pesan singkat ini bermakna cukup dalam. Terlebih untuk saya yang punya suicidal tendency lumayan berat.

Semua orang pasti mati, tapi hidup adalah tentang memilih dan komitmen terhadap pilihan yang sudah diambil.

Jadi apakah kamu berani hidup? Hmm...agak susah jawabnya.

Pembekuan media sosial yang sering dianggap sebagai dalang di balik cepatnya hoax dan ghibah beredar di masyarakat mengingatkan saya pada sebuah ceramah tentang bulan Ramadhan.

Diceritakan bahwa di bulan Ramadhan, para setan dibelenggu supaya tidak mampu menggoda umat manusia.

Namun, apa iya umat manusia tanpa kehadiran syaithon nirrojiim ini lebih baik?

Kalau dari yang sejauh mata saya memandang sih...nggak juga.

Ada yang lebih baik memang, tapi yang pancet ae maupun yang lebih buruk ya nggak tambah sedikit.

Saya jadi mikir. Dulu setan sering menjadi kambing guling hitam ketika umat manusia melakukan kekhilafan, kenistaan, dan kedustaan.

Mudah sekali mereka merasa 'digoda setan' sebagai dalih ketidakmampuan mereka mengendalikan diri. Padahal mungkin...mungkin lho ya, setan itu ya lagi nggak ngapa-ngapain, cuma cangkrukan di warung kopi langganan, nyeruput secangkir kopi lethek sambil mikirin cara gimana menggoda para alim ulama.

Terus kamu, yang sholat aja enggak, puasa ogah, ngaku-ngaku lagi digoda setan?

Setan juga nggak senganggur itu juga sih nggodain kamu. Nggak level.

Sama halnya dengan setan, media sosial yang selama ini jadi candu dan dalih ketidakproduktifan seseorang, kurangnya perhatian dengan keluarga karena terlalu asyik dengan gadget, dan label-label miring lainnya.

Sekarang, media sosial ini lagi dibekukan. Sekarang kamu sudah nggak bisa lagi males-malesan, karena keasyikan main Facebook atau stalking IG si mantan.

Kalau kamu masih malas, ya emang dasarnya kamu malas.

Kesimpulannya

Jangan suka cari kambing hitam, belum tentu kambing suka sama kamu mantanmu aja ninggalin kamu. Mulailah berbenah diri dan mari jadikan Ramadhan kali ini penuh arti.

Biasanya ketika buah hati sedang sakit, kita sebagai orang tua itu nggak tega lihatnya. Terus hal pertama yang terpikirkan itu seringnya nih, “Mending ayah/bunda aja yang sakit, jangan kamu Nak.”

Betul nggak?

Teman saya dulu pernah menasehati ketika saya berpikir begitu. Dia bilang, “Mas Prim jangan bilang gitu...bukannya lebih baik kalau semua sehat, nggak ada yang sakit?”

Benar juga sih. Daripada berdoa sakitnya si anak pindah ke bapak/ibunya, kenapa nggak berdoa supaya dia cepat sembuh dan semua sehat sehingga bisa beraktivitas seperti sedia kala ya.