write.as

Written by Arash.

Langit sibuk menumpahkan segala kesedihannya sejak satu jam yang lalu. Derasnya hujan di luar sana menjadi penyekat di antara dua lelaki yang kini sedang meringkuk di atas ranjang empuk milik Haechan.

“Lo mau sampe kapan ngelihatin gue kayak gini?” Suara Renjun memecahkan keheningan.

Haechan terkekeh, “Lo sih...” Ucapnya diakhiri dengan sebuah jeda yang berhasil membuat kedua alis Renjun menukik penuh keheranan.

“Apa? Gue kenapa?” Tanya Renjun dengan sedikit meninggikan intonasinya.

Haechan tersenyum, “Lo cantik,” Ucapnya dengan tatapan penuh puja.

Renjun memutar kedua bola matanya, berusaha menyembunyikan rasa hangat yang tak henti-hentinya menjalar di kedua pipi gembilnya.

“Gue kesini tuh bukannya mau dengerin lo muji gue, ya, Chan. Gue sampe rela tidur bareng lo gini biar lo cerita. Buru deh, cerita!” Intonasinya kian meninggi bersamaan dengan deguban jantungnya yang kian menggebu-gebu.

Bukannya menjawab, Haechan justru tersenyum. Masih seperti tadi, maniknya jatuh pada lelaki mungil yang ada di depannya.

“Lo ada masalah?” Tanya Renjun sebelum bibirnya terkatup rapat kala jari-jemari Haechan menyentuh anak rambutnya dengan lembut.

“Banyak. Masalah gue tuh banyak, Renjun,” Jawab Haechan sambil merapikan anak rambut Renjun yang terlihat acak-acakan. Sesekali, menyelipkannya di belakang telinga Renjun.

“Kok diem?” Tanya Haechan diakhiri dengan sebuah senyuman. Senyuman yang Renjun sendiri tahu itu adalah senyuman palsu.

“Chan, asal lo tau, gak ada satupun di dunia ini yang kehidupannya sempurna. Kita semua sama-sama tumbuh dari rasa sakit, rasa kecewa, kebahagiaan, kesenangan, dan itu semua berjalan secara bersamaan dalam hidup kita. Kita gak bisa menghindar dari itu semua, Chan.” Haechan sedikit tersentak ketika Renjun merendahkan intonasinya.

“Capek banget ya?” Lagi-lagi Haechan terdiam. Lidahnya kelu dan mulutnya seperti dipaksa bungkam.

Sesaat kemudian, sebuah lengkungan manis terpahat di bibirnya menambah kesempurnaan pada wajahnya, “Gue tau, rasanya pasti capek banget. Gak apa-apa, Chan. Itu wajar. Cuma ya kalo capek ya jangan dipaksa. Sometimes, you just need a break from everything for a little while.” Haechan menghembuskan napasnya. Rasa sesak itu masih ada, rasanya enggan untuk lepas dari dadanya.

Lagi, Haechan tersentak ketika merasakan jari-jemari Renjun menyentuh kedua pipinya. Diusap pipinya dengan penuh kelembutan.

“Makasih, Renjun,” Barusan adalah kalimat yang berhasil Haechan udarakan setelah terdiam sedari tadi. Saat itu juga, Haechan berhasil mengantarkan telapak tangan Renjun yang berada di pipinya ke dalam genggamannya, menautkannya dengan sangat erat, seolah tidak ada yang bisa memisahkannya.

“Its ok not to be ok. its ok to feel pain and cry out your tears sometimes, its ok, Chan. Siapa tadi yang minta dipeluk? Sini peluk. Khusus hari ini gratis, besok-besok bayar,” merupakan kalimat terakhir yang Renjun lontarkan sebelum dadanya lembab karena Haechan.

“Chan, please, remember that im here for you no matter what. Remember that i love you. I love you so much, chan,”