write.as

31 Desember 2020 pukul 23.00

Tidak seperti malam tahun baru yang lalu, tahun baru kali ini terasa hampa tanpa adanya seorang kekasih yang dulunya ada di sisiku. Tak hanya itu, sebab Pandemi Covid tidak ada lagi malam perayaan tahun baru. Langit yang biasanya bertaburan bunga api kini hanyalah terhiasi rintik hujan yang seolah menggambarkan sorak sorai kesedihanku.

Kala itu diantara megahnya bunga api di angkasa, rupa sang kasih nampak syahdu. Tentulah hati mana yang tak akan jatuh melihat rupanya? Malam dimana harsa terindah serta kenangan pahit terukir dalam benak, ada pada tanggal yang sama di malam ini di tahun lalu.

“Apa kopinya enak?” Tanya ibu yang datang dan menghampiriku. Aku terlalu sibuk melamun di loteng hingga lupa bahwa ibu masih disini.

“Kopinya pahit, tapi ini masih lebih baik daripada narkoba atau minuman keras,” jawabku.

“Karena narkobalah kekasihmu pergi.” Ibuku mengacak-acak rambutku dan pergi.

Andaikan kala itu aku berhasil mencegahnya, tentulah beban rasa bersalah di kalbu tidaklah terbenam di hati. Rasa yang tak pernah terungkap menjadi satu dari selaksa kesedihan. Meski tidak pernah bisa bersatu, namu sorai kita pernah bertemu.

“Hai, gadis yang sangat aku cintai. Bisakah bertemu denganmu sekarang? Janji pada diri sendiri untuk mengungkapkan rasa di tanggal ini tiada pernah bisa aku tepati. Jika saya mengikutimu bisakah kau anggap pernyataan cinta?”

Tidak ada jawaban, tentu saja. Hanya ada suara rintik hujan yang semakin gencar membasuh bentala bumi beserta petir yang semakin menggelegar.

Saat itu juga, kuputuskan untuk pergi ke dermaga tidak peduli apapun yang ibu katakan dan orang lain pandang. Segera aku masuk ke kapal dan berdiri di pinggiran dan meloncat ke bawah. Sekarang, aku bisa menemuinya dan menyatakan rasa.