write.as

𝐚 𝐰𝐨𝐦𝐚𝐧

Sudah hampir 45 menit Hisyam berdiri didepan kelas tempat Jelita menjalani sidang-nya. Jantungnya ikut berdetak kencang, isi kepalanya berkecamuk memikirkan Jelita di dalam, tak henti-hentinya laki-laki itu menggigit bibir bawahnya sendiri tanda ia sedang gugup.

di tangannya tersemat bucket bunga besar berwarna biru —sesuai dengan request Jelita. Laki laki itu duduk didekat bangku yang tersedia sebelum menaruh bucket bunganya disamping. Kepalanya menunduk, kedua tangannya mengusap satu sama lain, dan dari kejauhan, Hisyam dapat mendengar suara langkah kaki wanita yang mendekatinya.

Ia menggunakan high heels, wanita paruh baya yang sedang berjalan mendekatinya itu memakai rok dibawah lutut berwarna coklat muda, dipadu dengan blazer dengan warna senada serta kemeja satin putih didalamnya. Rambutnya terikat rapih ke belakang, dan bahkan dari kejauhan, Hisyam dapat merasakan aura intimidasi yang menjalar dari wanita tersebut.

dan saat ia mendekat barulah Hisyam menyadari, bahwa wanita yang kini ikut duduk disampingnya membawa sebucket bunga besar berwarna biru. Sama seperti miliknya.

“Dapat jadwal sidang juga atau lagi nunggu teman?” tanya wanita itu yang langsung membuyarkan lamunan Hisyam. Laki laki itu menggeleng sebelum menjawab, “Lagi nunggu temen, bu.” Jawabnya dengan penuh sopan santun.

Wanita tersebut mengangguk, “Sudah semester berapa?” tanyanya lagi.

“Semester delapan bu,”

“Wah sama seperti anak saya,” wanita tersebut tersenyum. “Kamu jurusan psikologi juga?”

Hisyam tersenyum sebelum menjawab, “Arsitektur bu,”

Senyum wanita disampingnya merekah, dan Hisyam hanya dapat mengingat satu wanita yang dapat tersenyum sama cantiknya.

Jangan – jangan ini…

“Keren sekali kamu bisa masuk arsitektur, setelah lulus udah ada rencana kerja?”

“Sudah bu, udah mulai cari – cari perusahaan yang buka lowongan juga.” jawab Hisyam yang kini rasa gugupnya jadi double. Karna kalau wanita disampingnya ini benar seperti yang ia tebak, maka…

“Kenal sama anak saya, nggak?” ujar wanita tersebut. “Namanya Jelita, jurusan psikologi. Anaknya cantik, mau nomor Whatsappnya?”

Waduh bu…

Hisyam tak kuasa menahan senyumnya, tidak pernah ia menyangka wanita yang selalu ia nantikan untuk bertemu kini berada tepat disampingnya.

dan seperti menyadari maksud dari senyuman Hisyam, wanita tersebut melirik ke arah bunga disamping Hisyam yang sama persis seperti miliknya. Persis seperti yang disukai oleh putrinya.

“Kamu sedang dekatin anak saya?” terdengar perubahan intonasi dari wanita tersebut yang langsung membuat senyum Hisyam mereda. Laki laki itu menegakkan tubuhnya sebelum menjawab, “Saya pacarnya Jelita, Bu.”

Lalu sebelum Jemma dapat menjawab pernyataan laki laki tersebut, pintu kelas akhirnya terbuka, menampakkan Jelita yang keluar dengan pundaknya yang terkulai lemas. Laki laki disampingnya spontan berdiri memegang pundak putri Jemma, menyemangatinya sambil mengelus puncak kepalanya.

“Gimana, gimana? lancar? ada yang susah pertanyaannya?” tanya Hisyam bertubi-tubi. Jelita mengangguk kecil, bibir bawahnya mengerucut, matanya sendu menahan tangis.

“Susah banget… aku mau nangis aja daritadi di dalem…” ujar Jelita sebelum menumpahkan tangisannya didalam pelukan Hisyam.

Hisyam menenangkan Jelita didalam pelukannya, “It’s alright… it’s alright… kamu pasti lulus, aku percaya sama kamu.”

Jemma melipat tangan didepan dada, wanita tersebut menarik nafas panjang. Sedikit kesal karena putri semata wayangnya tak pernah menceritakan tentang kekasihnya yang baru, dan sedikit senang karena laki-laki yang bersamanya kini berhasil menenangkan putrinya.

Jelita masih terisak didalam dekapan Hisyam sampai laki-laki itu melepas pelukannya pelan, matanya melirik ke arah Jemma yang masih memperhatikan mereka berdua. Hisyam menepuk pelan punggung Jelita, ngasih kode kalau sekarang ada ibu – ibu dengan tangan yang terlipat didepan dada lagi merhatiin mereka.

Jelita membelalak kaget, alisnya menyatu kebingungan. “Lah ibu…?” ujar Jelita masih mencerna situasi saat ini. “LAH IBU?????? IBU KOK DI JAKARTA?????”

dan Jemma hanya dapat menghela nafas pasrah.

•••

Sedang Hisyam hanya dapat melahap makanannya seadanya karna dilanda rasa gugup, gadis disampingnya kini sudah melahap habis porsi kedua-nya. Jelita benar – benar kelaparan, tangisannya tadi sudah berganti dengan senyuman cerah kala dosennya mengumumkan kelulusannya.

Tak berbeda jauh dengan putrinya, Jemma juga sedang menyantap dessert-nya yang baru saja datang. Tangannya sesekali mengecek handphone dan menerima panggilan demi panggilan telfon dari rekan kerjanya.

Intinya ibu-nya Jelita memang sesibuk itu.

“Jadi dari kapan kalian pacaran?” tanya Jemma usai mengusap bersih sisa dessert di sekitar mulutnya dengan tissue.

“Satu tahun,” jawab Jelita dengan santai.

“Siapa yang suka duluan?”

Jelita langsung tersedak mendengar pertanyaan dari Ibu-nya, sedang Hisyam tak dapat menahan malu. Laki-laki itu membasahi bibirnya sebelum menjawab, “Saya bu, saya yang suka duluan.”

“Hisyam asli mana?”

“Asli Bandung bu,”

“Berapa bersaudara?”

“Punya kaka satu tapi udah nikah, sekarang tinggal di Semarang ikut suaminya.”

“Mamah dan Papah kamu kerja apa?”

“Mamah ada usaha kecil – kecilan jual apa aja yang bisa dijual, Papah notaris.”

“Setelah lulus kuliah rencana cari kerja dimana?” tanya Jemma akhirnya. Hisyam mengerti, pasti ini yang dirisaukan Ibu-nya Jelita.

Jelita meneguk air dari gelasnya, matanya menatap ke luar restaurant. Meski sudah diyakinkan Hisyam, hatinya masih berat mengetahui bahwa ia nantinya akan berpisah dengan Hisyam.

Namun seperti paham dengan gerakan Jelita, laki-laki disampingnya itu memegang tangan Jelita yang bebas di bawah meja. Hisyam menyatukan jari jemari mereka yang berhasil membuat desiran menggelitik yang berputar mengiliingi tubuhnya.

and its her butterfly, flying around in her stomach.

diikuti dengan perasaan tenang dan hangat yang menjalar ke seluruh tubuh Jelita.

Ya pokoknya gitu. Namanya juga lagi kasmaran.

“Hisyam rencana cari kerja di Jakarta, Bu. mamah sama papah juga udah setuju.”

Senyuman perlahan – lahan naik dari ujung bibir Jelita. Begitu pula dengan Jemma.

“Untuk sementara ini, selagi nunggu waktu wisuda,” ujar Jemma yang membuat Jelita dan Hisyam langsung fokus kepadanya. “Jelita mau Ibu bawa ke Jogja dulu, sementara ibu urus apartement baru dia di Jakarta.”

“HAH?” Jelita spontan menutup mulutnya sendiri karna berteriak terlalu keras. “Jogja? Apartement? Ibu kok gak ngomong – ngomong dulu sih sama aku?”

Jemma tersenyum sebelum menjawab, “Kamu emang gak mau jalan – jalan sama Ibu? lagian cuma sebentar. Nanti setelah apartement kamu udah siap kamu boleh langsung balik ke Jakarta, cari kerja disini.”

Jelita menatap Hisyam yang hanya mengangguk meyakinkannya, “Gapapa… toh aku juga bakal di Bandung sambil nunggu waktu wisuda.” ujar Hisyam.

Perempuan itu mengangguk pasrah, genggaman tangannya dengan Hisyam dibawah meja masih enggan ia lepaskan. “Dengan satu syarat,” Jelita jeda sebentar. “Aku gabakal berani tinggal sendiri, jadi Mina harus tinggal bareng aku.”

Jemma mengangguk, setuju dengan syarat dari Jelita. “Ibu emang udah mikir juga buat ajak Mina biar tinggal bareng kamu, kok.”

Jelita akhirnya tersenyum. Ya walaupun dia terpaksa LDR beberapa bulan sama Hisyam, dia tetap setuju karna seperti kata ibu-nya, Jelita juga merindukan jalan – jalan menghabiskan waktu bersama dengan ibu-nya yang super sibuk itu.

“Nak Hisyam,” panggil Jemma tiba – tiba.

Hisyam menaikkan alisnya, “Iya bu?”

“Ibu titipkan Jelita ke kamu ya,” Jemma tersenyum sambil melirik diamond indah yang tersemat di jari manis Jelita. “Sayang toh… cincin udah mahal – mahal dibeli kalo sampai gak kepake nantinya.”

Jelita spontan melotot, “IBUUUUUUUUU!!!!!”