write.as

...

“Zorooo!!”

Suara yang tak asing itu menggema ke seluruh lorong. Orang-orang yang mendengarnya memandang risih pada sosok itu.

Sanji pelaku yang baru saja meneriakkan nama Zoro segera meminta maaf dengan senyuman mengembangnya. Membuat para siswa jengah.

Siapa yang tidak kenal Sanji? Siswa yang dijuluki 3B buluk, bau, bodoh. Sayangnya si 3B itu pacar dari Roronoa Zoro. Most wanted sekolah.

Zoro itu tampan, mapan, dan menarik. Sangat sempurna, karena itulah banyak orang yang tidak terima si 3B berpacaran dengan Zoro.

“Pacar kesayangan lo dah dateng tuh, Zor. Urusin sana, bikin gue gak nafsu makan.” Ucap Law, sohib Zoro. Zoro menghela nafas.

“Gue pengen putus sama tuh bocah gak jelas. Bisa gila gue kalo terus-terusan sama dia.” Law tertawa terpingkal, ya mau bagaimana lagi sebenarnya si 3B itu hanyalah bahan taruhan saja di geng Zoro.

“Hai Zoro, aku sudah membawakan mu bekal. Aku memasaknya sendiri, makanlah.” Sanji dengan senyuman mengembang dan mata berbinarnya menyodorkan sebuah bekal pada Zoro.

“Oh! Hallo Law.” Sanji turut menyapa Law yang memandangnya jijik.

“Lo lihat Zor, tuh bocah otaknya dah kena.” Bisik Law.

Zoro memandang jijik pada tempat makan yang dibawa Zoro. Membayangkan makanan itu yang tidak bersih sudah cukup bagi Zoro untuk menolaknya.

“Gue udah kenyang. Pergilah.”

“Oh kalau begitu Zoro bisa memakannya saat istirahat kedua.”

“Gak perlu. Gue bisa beli sendiri.”

“Tetapi, aku sudah membuatnya untukmu.”

“Gue capek sama sifat memaksa lo. Pergi atau hubungan kita berakhir?” Ancam Zoro. Mata Sanji melebar, tidak. Sanji tidak mau, hubungannya dengan Zoro baru berjalan 1 bulan. Sanji tak ingin berakhir secepat itu.

“Baiklah aku akan pergi. Sampai berjumpa lagi, Zoro!”

Sanji segera pergi. Tidak peduli seberapa pedas cacian, dan banyaknya gunjingan padanya. Sanji hanya akan tersenyum pada semua orang.

“Gue harap kita gak bakal ketemu lagi.” Ucap Zoro setelah kepergian Sanji.

. . .

“Widih, siapa nih Zoro? Cantik banget.”

Zoro tersenyum, mengenalkan pacar cantiknya pada teman-temannya. Bagi Zoro kini dirinya semakin sempurna, tanpa ingat bahwa si 3B masih menjalin hubungan dengannya. Tanpa tau hanya Zoro lah lilin yang masih hidup didalam benak Sanji.

. . .

“Hei, bekerjalah dengan benar jika ingin dapat upah bodoh!”

“Maaf, saya akan lakukan dengan benar kali ini.”

“Sudah 2 piring kau pecahkan. Jika satu lagi pecah, akan ku usir kau bocah sialan!”

Sanji hanya mengangguk, mencoba berhati-hati lagi agar tidak melakukan kesalahan.

“Ayo semangat Sanji, demi membelikan hadiah yang layak untuk Zoro!” Guman Sanji dalam hati.

. . .

“Capek banget hari ini.” Sanji membanting dirinya pada kasur lipat miliknya. Jam 10 malam dia baru sampai rumah. Sanji segera menghitung penghasilannya hari ini.

50 ribu, upahnya mencuci piring 8 jam. Sanji menatap uangnya dengan senang. Akhir-akhir ini, dia sering tidak diterima kerja. Maka dari itu, Sanji senang sekali mendapat 50 ribu itu.

Sanji memiliki rumah yang lumayan besar. Tetapi sayangnya tidak ada banyak barang. Tidak ada listrik dan air karena sungguh Sanji tidak mampu membayarnya. Hanya lilin sebagai penerangnya ketika malam.

Sanji hanyalah anak terbuang. Tidak dibutuhkan karena lemah dan selalu dikira idiot. Keluarga Sanji membuang Sanji setelah sang ibu meninggal dan ayahnya memilih menikah lagi.

Kemudian ibu tiri Sanji mendorong Ayah Sanji untuk membuangnya. Ayah Sanji yang memang membenci Sanji akhirnya menyetujuinya.

Disinilah Sanji sekarang, bersahabat dengan sepi dan sendiri. Tetapi, harapan kembali muncul ketika sosok Zoro menyatakan perasaan pada Sanji dan Sanji hanya ingin menjaga cahaya lilinnya itu.

. . .

“Zoro! Aku membawakan—” senyuman lebar Sanji bergetar. Sanji mencoba menahan senyuman itu ketika melihat Zoro sedang berciuman pada seorang siswi.

Zoro menatap Sanji ketika ciuman itu terlepas. Menggandeng siswi itu melewati Sanji begitu saja.

“Zoro aku membawakan makanan kesukaanmu.” Sanji tak menyerah dan menarik Zoro mendekat. Zoro segera mendorong Sanji beserta bekalnya hingga berserakan.

“Gila ya lo, San? Kaga mandi berapa bulan lo ha?! Gue sampe gak bisa bedain antara bau manusia sampai bau comberan tau gak!” Hardik Zoro pada Sanji. Orang-orang yang mendengarnya tertawa terbahak.

Sanji berusaha berdiri dari jatuhnya setelah di dorong Zoro. Sanji hanya bisa ikut tertawa kecil.

“Maaf ya, aku akan mandi nanti.” Ucap Sanji dengan cengiran khasnya.

Zoro yang jengah memilih pergi bersama siswi tadi yang ikut menertawakan Sanji.

. . .

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Ulang tahun Zoro dirayakan meriah di sekolah. Banyak hadiah yang diterima Zoro.

“Zoroo! Selamat ulang tahun.” Sanji pun tak lupa untuk ikut merayakannya. Zoro yang tadinya dikerubungi banyak orang tiba-tiba orang-orang menjauh, karena tak ingin berdekatan dengan si 3B.

Zoro muak melihat wajah tolol Sanji. Zoro melihat Sanji hanya membawakan Zoro sebuah jam tangan murahan.

Zoro mengambil jam tangan itu, membuat senyuman Sanji mengembang. Tetapi kemudian, Zoro mematahkan jam tangan itu dan membantingnya ke tanah. Tak sampai disitu, bahkan jam tangan pemberian Sanji diinjak oleh Zoro.

Mata Sanji menatap nanar jam tangan itu. Rasanya semua kerja kerasnya musnah begitu saja tanpa arti. Lelah yang hinggap di tubuhnya untuk membeli jam tangan itu seketika terasa sakit dan pegal. Perutnya yang ia paksa makan satu kali sehari rasanya perih sekali.

“Haha, Zoro tidak suka ya? Gapapa, nanti aku bakal perbaiki lagi.”

Sanji mencoba mengambil, jam tangan itu. Tetapi tangannya diinjak oleh Zoro ketika tangan Sanji sudah menyentuh jam itu. Dan lagi-lagi orang-orang menertawai kebodohan Sanji.

. . .

Zoro membuka lokernya, ada yang aneh. Ternyata ada sebuah rajutan kecil di atas bukunya. Ia melihat sapu tangan rajut itu.

“Selamat ulang tahun, Zoro.”

Ternyata dari 3B. Ada sedikit perasaan menyesal dihati Zoro karena perlakuannya tadi pada Sanji. Zoro menghela nafas. Jika sudah begini, maka Zoro tak punya pilihan lagi selain memutuskan hubungan dengan Sanji.

. . .

Ketika pulang sekolah, Sanji dikejutkan karena Zoro mengatakan akan mengantarkan Sanji.

“Benarkah ini Zoro? Aku sangat senang. Aku berjanji tidak akan membuat mobil Zoro bau ataupun kotor.” Sanji menepuk-nepuk baju dan celananya. Bahkan Sanji rela melepas sepatu bututnya agar tidak mengotori mobil Zoro.

Zoro memilih abai tidak peduli.

. . .

Sampai di depan rumah Sanji. Sanji turun dari mobil dan mengucapkan terimakasih.

“Terimakasih sudah mengantarkan ku, Zoro.” Ucap Sanji dengan senyuman tulusnya.

“Lo gak basa-basi nyuruh gue masuk rumah lo?”

Sanji sempat bingung. Ada apa dengan Zoro? Apakah dia benar ingin berkunjung kerumahnya?

“Rumahku tidak cocok untuk Zoro, aku takut Zoro kotor.”

“Gapapa.”

Sanji dengan ragu membawa Zoro masuk ke rumahnya. Zoro memandang rumah Sanji. Tidak buruk dari luar, tetapi ketika Zoro masuk, Zoro dikejutkan karena hanya ada kursi di dalamnya. Sepi dan dingin yang dirasakan Zoro.

“Lo tinggal sendirian?” Seperti biasa Sanji tersenyum dan mengangguk.

“Aku hanya ada teh sebagai minum.”

“Gapapa, gue suka teh.” Sanji menuangkan teh yang telah diracik dan memberikannya pada Zoro.

“Dimana keluarga lo?”

“Aku tidak tahu. Mungkin kini mereka sedang bahagia tanpaku.”

Ada rasa menyesal ketika melihat raut getir terukir di wajah Sanji. Zoro merasakan rasa tidak tega.

Banyak yang ingin Zoro tau dari Sanji. Zoro melamun hingga tak sengaja menumpahkan teh pada bajunya.

“Sial! Mana wastafelnya? Aku akan membersihkan ini.” Sanji buru-buru mengelap baju seragam Zoro dengan pakaiannya yg paling bersih. Membuat Zoro kebingungan.

“Maaf ya Zoro, di rumahku tidak ada air dan listrik.” Zoro tertegun. Zoro segera menarik bajunya menjauh. Meminum tehnya hingga habis.

“Kenapa lo masih bertahan sama gue?”

“Zoro itu orang yg buat aku ngerasain perasaan cinta. Selama ini nggak ada yang mengatakan hal manis seperti Zoro saat menemuiku untuk jadi pacarmu. Aku mencoba melakukan hal sebisa ku agar cinta Zoro tidak lenyap. Tapi, Zoro risih ya?”

“Iya gue risih. Lo gagal Sanji.”

Satu kalimat yang membuat seketika hati Sanji runtuh. Kata yang sering Sanji dengar dari keluarganya. Lilin dalam hatinya seakan berkelap-kelip tanda akan redup.

“Maaf ya, Zoro.”

Zoro bersiap untuk pulang. Mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Ini, undangan pertunangan gue. Kita putus, sorry bikin lo berharap tapi gue cuman jadiin lo bahan taruhan. Setelah ini jangan ganggu gue lagi. Lo boleh dateng ke acara pertunangan gue, tapi minimal jangan bikin ulah.”

“Selamat atas pertunanganmu, Zoro. Aku pastikan akan datang.” Setelah itu punggung Zoro mulai menjauh. Tanpa tau binaran mata biru Sanji sudah tergantikan dengan derasnya air mata. Senyuman Sanji kini terbalik menjadi lengkungan kebawah.

. . .

2 minggu setelah Zoro memberikan undangan pada Sanji. Saat itulah Zoro tak lagi melihat Zoro. Dalam hati sedikit rasa rindu.

Zoro terbiasa melihat senyuman bodoh si 3B. Sekarang si 3B tidak terlihat lagi, membuat hatinya sedikit sepi.

Bahkan, Sanji tidak datang ketika pertunangan Zoro. Kemana bocah itu sebenarnya?

. . .

Kau tau? Sekarang Zoro ada di depan rumah Sanji. Entah kenapa hatinya menuntunnya kemari. Ketukan demi ketukan, tetapi rumah itu tampak seperti tidak ada orang.

“Mencari siapa ya?”

“Ah, pemilik rumah ini. Dimana ya?”

“Saya pemilik rumah ini, nak.”

“Apakah rumah ini baru saja dijual?”

“Ahh kau mencari anak yang tinggal disini ya?”

Zoro mengangguk, kemudian melihat wajah masam orang di hadapannya itu dengan bingung.

“Sanji, sudah meninggal nak.” Bagai disambar petir di siang hari. Apa maksudnya ini?

“Dia meninggal tertabrak mobil yang rem nya blong ketika ingin pergi ke suatu acara 1 minggu yang lalu. Aku merasa sedih, sebelumnya dia memberiku rumah ini untuk jaminan meminjam uang padaku. Katanya untuk membelikan kado yang layak. Tetapi malang sekali nasibnya.”

Tangis orang itu seketika pecah. Mengawang-awang bagaimana Sanji yang memohon untuk dipinjami uang.

“Dia memang anak yang bodoh, tetapi dia sangat baik dan tulus. Dia bahkan sudi untuk mengantarkan koran ke setiap rumah tanpa dibayar. Memang ya, orang baik akan pulang lebih dulu. Dunia ini tidak cocok untuk malaikat sepertinya.”

Entah kenapa tanpa diminta air mata Zoro ikut turun. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Zoro baru tersadar kehadirannya seberharga itu untuk Sanji. Sanji bahkan rela melakukan apapun untuknya.

Zoro tau, 1 minggu yang lalu adalah pertunangannya. Sudah dipastikan saat itu lah Sanji ingin datang ke acara pertunangannya.

Kau ingin tau yg lebih gila lagi? Zoro baru saja tersadar, korban tabrak larinya adalah Sanji.

Yaa, ketika pertunangan Zoro tidak tau kenapa mobilnya mengalami rem blong. Tak sengaja ia menabrak seseorang, karna tak ingin terkena masalah Zoro memilih kabur tanpa tau orang itu adalah Sanji. Sanji yang malang.

Maaf, Sanji. Terlambat ya? Aku merindukan senyum bodohmu. Kumohon kembalilah, aku ingin memelukmu, MAAFKAN AKU SANJI!

Saat itulah, Zoro menjadi gila.

Tragis.