Dream A Little Dream of Me

Beberapa bulan setelah kepergian Billkin yang serba mendadak, ada banyak pesan yang belum tersampaikan antara keduanya. Kemudian, mimpi membawa mereka bertemu kembali. Akankah hal itu menjadi pertanda bagi Krit untuk belajar mengikhlaskan?


Teori terkenal dari Freud yang berkata bahwa mimpi adalah manifestasi dari keinginan, pikiran, dan motivasi yang tidak disadari. Hal-hal ini berkesinambungan dengan emosi seseorang. Terlepas dari dunia akademik yang berteori tentang mimpi – mitos di beberapa tempat menyebutkan bahwa mimpi itu merupakan kembang tidur dan juga pesan yang belum tersampaikan kepada seseorang. Jika dirasa demikian, maka, mimpi yang kuhadapi malam ini merupakan bagian dari kerinduan akan sosok yang telah lama tidak aku jumpai.

Beberapa bulan setelah kepergian Billkin yang serba mendadak, ia acap kali menemiku di dalam mimpi – menitipkan sepucuk pesan kepadaku yang masih belum bisa melepasnya. Bagaimana bisa aku melepaskan sosok lelaki yang dilahirkan setahun lebih muda denganku ini? Begitu banyak kepingan-kepingan memori tentangnya, dan tahun-tahun yang kami lalui bersama sebagai sepasang kekasih. Wajar, jika ia begitu dekat seperti nadi.

“Gimana kabar lo, Krit?” tanya lelaki manis berlesung pipi dalam mimpiku. Tanpa membalas pertanyaannya, aku langsung memeluk Billkin erat – menyampaikan rasa rindu yang membuncah untuknya. Betapa aku sangat bahagia bertemu dengannya walaupun dalam mimpi.

“Kin … Billkin … lo sehat, kan?” Tanganku menggerayangi setiap inci wajahnya yang terpahat sempurna bagaikan dewa Yunani sementara wajahku sudah basah karena air mata yang keluar dari kedua pelupuk mataku.

“Sehat, nih lihat sehat, kan? Udah ada dan berdiri dengan gagah di depan lo….” ujarnya setengah bercanda.

Billkin Putthipong, sosok lelaki yang setia menemaniku selama dua tahun pernah menjadi rumah untuk tempat menetap. Kini, ia harus pergi ke tempat yang tidak bisa dijangkau. Aku terlena akan waktu yang membuatku sombong. Aku begitu mempercayai jika lelaki yang pernah menjadi tunanganku itu akan tetap berada di sisiku sampai akhir hayat. Kenyataannya sekuat apapun kasih sayang yang kuberikan kepadanya, masih ada Tuhan lebih sayang kepada hamba yang mahir dalam mengolah suara ini.

Suatu pagi di bulan Januari, enam bulan yang lalu sebelum kepergian Billkin, ia memberiku kabar mengejutkan – di mana hal itu akan mengubah tatanan kami. Lelaki yang memiliki mata seperti anak anjing itu mengabari bahwa ia positif mengidap virus yang belum ditemukan obatnya.

Jantungku berhenti berdetak sepersekian detik. Nafasku tersengal. Tubuhku lemas. Batinku berkecamuk, Apa yang harus aku lakukan dengan informasi ini?

Air mataku tak terbendung – mengalir begitu deras seiring dengan informasi-informasi darinya yang terdengar begitu samar. Otakku benar-benar tidak bisa menelaah apapun. Ia hanya bisa membelai surai cokelat milikku, menggenggam tanganku dengan erat.

“Jangan nangis lagi, hmm? Gue sedih kalau lo harus nangis sendirian.” Begitu lah kalimat terakhir yang terdengar dari bibirnya sebelum kami berpisah. Malam itu, di hari yang sama, ia harus segera masuk ruangan isolasi untuk menekan penyebaran virus dalam tubuhnya. Hari itu, hari terakhir di mana aku bisa menyaksikan simpul senyum pada bibirnya dengan jelas.


“Kin, besok bioskop sudah dibuka lagi oleh pemerintah.…” celetukku kepada lelaki yang berulang tahun di bulan Oktober ini. Sementara, ia sedang menyandarkan punggungnya ke dinding. Pikiran itu tiba-tiba saja terlintas dalam benak. Menonton film di bioskop merupakan kegemaran kami saat masih bersama, bahkan kami sering lupa waktu. Kami bisa menghabiskan waktu seharian penuh untuk menonton berbagai pertunjukan film di satu bioskop. Gila memang, tapi hal sederhana itu justru membuatku semakin dekat dengan mantan indekos sebuah ruangan di hatiku ini.

Dari luar, lelaki bermarga Assaratanakul mungkin tampak seperti seseorang yang sangat cuek terhadap lingkungannya. Hal itu berbanding terbalik ketika kamu sudah mengenalnya lebih jauh, ia akan menjadi pribadi yang penuh kejutan. Aku sendiri juga kadang masih terheran bagaimana bisa terpikat oleh pesona seseorang berzodiak Libra.

“Ini gara-gara gue sakit, jadi gak bisa nonton, kan,” protesnya sambil mengeluarkan sekotak rokok beserta pematiknya. Salah satu kebiasaan buruk yang kurang aku sukai dari lelaki yang sangat mengidolakan tokoh Elsa dalam film kartun Frozen adalah adiksinya terhadap lintingan tembakau. Ia lebih rela menghabiskan uangnya untuk sekotak rokok daripada membeli sebungkus nasi uduk.

Dahulu, aku sempat marah atas suratan takdir yang diberikan oleh Tuhan antara aku dan pemuda Putthipong ini. Amarah yang begitu meluap karena Tuhan lebih membiarkan kekasihku untuk menjadi korban salah satu virus mematikan. Bagaimana sang Maha Kuasa bisa dengan gampang membalikan keadaan kami padahal hari bahagia kami tinggal menghitung hari.

Aku pun hanya bisa tersenyum getir mengingat hari-hari di mana ia harus berjuang sendiri di kamar isolasi untuk meminimalisir pertumbuhan virus tersebut. Ingatan di balik kaca ruang isolasi, saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentang perubahan signifikan pada tubuh sehatnya yang digerogoti virus. Ia ampak kuyu dan tak bertenaga.

Di balik masker oksigen yang menutupi sebagian besar paras rupawannya, ia tetap bisa tersenyum – menyampaikan kekuatan untuk tetap tabah melalui tatapan matanya di seberang sana.

“Udah lah … yang penting sekarang lo udah sembuh sekarang.” Satu kalimat yang tertahan di bibir dan tidak sempat tersampaikan kepada pendengarnya.


“Kalau gue ajak nonton om Dominic Torretto, mau gak?” kedua netra berwarna karamel itu menatapku lekat, ajakannya begitu sederhana namun aku tahu dibalik itu semua ada sebongkah rindu yang menetap di dalam dada Billkin atau mungkin ini memang salah satu wasiat pemuda bersuara merdu yang belum sempat tersampaikan.

“Mau, Kin!!! Kita udah lama gak nonton, kan?”

Aku sudah tidak bisa menghitung berapa lama berhenti melakukan kegiatan kesukaanku dengan Billkin. Ini seperti sebuah keinginan terpendam antara dua entitas yang hanya bisa tersampaikan lewat mimpi. Aku dibuat terlena dengan sebongkah rindu akan sosok hangatnya untuk kembali hadir di dalam hidupku.

“Kita nonton hari Jumat aja sepulang dari kantor, yang jam terakhir, gimana?”

“Mau nonton Cruella juga, gak, Kin?” Lelaki itu menganggukan kepalanya dengan semangat, seolah mendapatkan kado spesial dari Santa Claus. Pertama kalinya aku tahu jika Billkin sangat menyukai film-film Disney, rasanya begitu menggelikan. Rupanya yang tampak begitu dingin ternyata menyimpan begitu banyak rahasia, salah satunya adalah kegemarannya akan film-film buatan rumah produksi yang berdiri sejak tahun 1923. Bahkan, dalam ponselnya, ia memiliki playlist soundtracks dari film-film tersebut dan sering diputar setiap harinya.

“Sekalian sama nonton film horror yang lagi booming itu, ya? Mau ya?” pintaku dengan nada memelas.

“Langsung tiga judul, nih?” Aku mengangguk cepat, menyetujui untuk menghabiskan seharian penuh dengan menonton tiga judul film bersamanya. Ia pun hanya tersenyum dan merangkul tubuhku dari samping.

“Kangen banget….”

“Gue juga … sama besarnya kayak lo.” Kedua netra kami saling beradu. Lalu, dengan perlahan, aku menangkup kedua sisi wajahnya – mendekatkannya ke arahku dan mencium lembut belah bibirnya. Aku sangat mencintaimu, Billkin, batinku meneriakkan kalimat itu dalam bentuk aksinya – sebuah ciuman kerinduan tanpa ada hasrat yang menggebu.


Dua belas jam bukan merupakan waktu yang sedikit untuk dihabiskan bersama dalam satu hari. Namun, rasanya masih kurang. Aku masih ingin menghabiskan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan selamanya bersama pemuda Putthipong ini.

“Udah puas, belum?” Sebuah pertanyaan retorik yang ia sendiri tahu akan jawabannya. Aku hanya tersenyum getir, menggelengkan kepala.

“Krit, kita kan udah seharian nonton, makan, jalan-jalan muterin pusat perbelanjaan ini. Masa gue gak boleh pulang, sih?”

“Gue gak bisa ketemu lo lagi setelah ini….” Sebuah tamparan keras bagi kami berdua. Ia hanya menghela nafas panjang.

“Gue bakalan di sini terus sama lo.” Ia menunjuk tepat di tengah dadaku.

“Gue gak bakalan hilang, Krit. Gue tetep di sini, ngejagain lo sampe kapan pun. Janji, deh?”

“Kin, kalau gue kangen gimana?” tanyaku.

Aku benar-benar belum bisa melepaskannya pergi. Aku belum bisa merapikan serpihan-serpihan memori, menaruhnya dalam sebuah kotak dan menyimpannya sebagai pertanda bahwa Billkin sudah tiada. Aku tidak benar-benar menganggapnya pergi; ia masih ada di sini, bersamaku – melalui hari-hari bersama.

“Gue akan terus ketok pintu rumah lo. Gue bakalan dateng ke lo tiap hari. Gue akan pulang ke lo, karena lo rumah gue satu-satunya.”

Janji itu. Janji yang sering diucapkan berkali-kali. Bahkan beberapa hari sebelum maut memisahkan, ia masih sempat menyakinkanku sekali lagi untuk tetap setiap di sampingnya.

Tangisku pecah, tidak ada lagi yang bisa membendung kesedihan sekaligus rasa-rasa lain yang menyelimutiku setelah kepergiannya. Aku menangis dalam mimpi melihat Billkin berpamitan pergi.

“Krit, tolong janji satu hal sama gue.” Aku mengangguk lemah. Apapun … apapun,Kin. Asalnya kita tidak terpisah, batinku.

“Selama gue gak ada, lo gak boleh nangis sendirian. Lo orangnya kuat, Krit. Gue yakin lo bakalan survive dan gue akan selalu support lo dari sini. Gue udah janji buat jagain lo sampai kapan pun. Gue ada disini, Krit….” Ia kembali menunjuk ke arah dadaku.

“Gue bingung, Kin … gue gak tahu harus gimana kalau lo gak ada. Gue gak bisa ikhlasin lo, Kin” Akhirnya kalimat itu meluncur dari kedua belah bibirku.

“Gak, Krit … lo harus ikhlasin gue. Lo harus bisa bertahan tanpa gue. Lo bisa, Krit.” Ia mencengkram kedua lenganku, seolah ingin menyalurkan kekuatan ke dalam tubuhku.

“Billkin….”

“Janji sama gue, jangan sedih, hmm? Lo besok harus bangun pagi, berangkat ke kantor dengan senyuman, makan siang dengan nyaman, bercanda sama temen-temen kantor, istirahat yang cukup, nonton bioskop kalau bosen. Lakukan semua hal yang membuatmu senang, Krit. Maka dengan begitu, gue bisa bahagia di sini. Tugas gue mungkin sudah selesai di Bumi, tapi gue akan selalu nunggu lo di sini – sampai waktunya tiba, okay?”

Ia membawaku ke dalam dekapannya. Ia pun mencium pucuk kepala dan dahiku. Hangat dan akan selalu kurindukan.

Billkin, perlahan waktu akan menyembuhkan luka atas kepergianmu yang serba mendadak. Kini, tugasmu hanya lah melihatku menemukan bahagiaku dari atas sana. Aku akan belajar mengikhlaskanmu. Sampai jumpa di lain waktu. Rindu dan doa ini tidak akan pernah surut untukmu.

Billkin tersenyum bahagia dan melepaskan sedikit pelukannya. Ia menatapku dari ujung kepala hingga kaki.

“Bahagia, ya? Nanti gue akan berkunjung lagi,” ucapnya lalu membalikan tubuh dan berjalan menjauh dariku.

Beristirahatlah dengan tenang, sayangku.


Writer's Notes:

Tulisan ini terinspirasi dari mimpi yang dialami penulis beberapa waktu belakangan ini. Terdengar aneh,ya?

Ini hanya untuk kesenangan dan media penyaluran emosi belaka. Terima kasih telah membaca tulisan sederhana ini dan jangan sungkan untuk memberikan feedbacknya.

Pembaca diharapkan membaca sepenggal kisah ini dengan background lagu ini.

Sampai jumpa di karya selanjutnya dan stay safe! Happy weekend!

chanstergram, 4 July 2021.