Serangkai Sederhana

Barisan kalimat sederhana yang ditulis dari sudut pandang seorang Nino, anak adopsi dari Billkin dan PP. Tulisan ini diambil dari latar yang sama dengan A Moment Called Happiness .


April 2021

“Papa!” teriakku kepada seorang lelaki berumur dua puluhan yang sedang berdiri di taman bermain dekat sekolahku.

“Nino!” Ia berlari ke arahku dengan kedua tangan terentang seolah ingin segera membawaku ke dalam dekapannya. Dekapan Papa yang hangat.

Perkenalkan namaku Nino, umurku lima tahun dan aku termasuk anak spesial karena memiliki orang tua yang sangat hebat. Di saat teman sebayaku memiliki sosok ayah dan ibu dalam hidupnya, aku dikaruniai oleh Tuhan dengan sosok Ayah dan Papa yang senantiasa menemani setiap petualanganku. Aku tidak iri karena berbeda, justru bersyukur karena aku bisa merasakan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya dan tidak salah mereka memberiku nama Nino. Aku hadir sebagai kado terindah dari Tuhan di dalam kehidupan Papa dan Ayah walaupun kadang Papa masih suka memarahiku karena tidak mau membereskan mainan.

“Gimana sekolahnya hari ini, nak?” tanya Papa.

“Nino tadi diajarin bikin origami, Pa” ujarku girang sambil menunjukkan kerajinan tangan berbentuk hati kepada Papa.

“Bagus banget! Nanti kita mampir beli kertas origami, ya?” Aku menganggukkan kepala. Papa dengan segudang kreatifitasnya, tidak pernah absen mengajariku hal-hal baru. Aku sayang sekali dengan Papa.

“Pa, Bu Aska bilang kalau kita bikin seribu origami nanti permintaannya akan terkabul,” jelasku kepada Papa yang sedang fokus menyetir.

“Nanti kalau Nino capek gimana?” Tangan kirinya mengusap rambutku lembut.

“Kan ada Papa sama Ayah … nanti kita buat bareng, ya?” pintaku kepadanya. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Berpetualang dan mencoba hal-hal baru yang belum pernah aku rasakan.

Pak Tono, satpam kompleks, sering menyebut kami sebagai tiga serangkai sementara Ayah sering memanggil kami dengan sebutan Triple N yang merupakan singkatan dari nama Nino, Nemo, dan Nunu. Entah dari mana Ayah menemukan nama lucu seperti itu, mungkin karena Papa suka sekali dengan tokoh ikan Nemo dalam sebuah film animasi sementara Ayah mirip dengan si Nunu di film Teletubbies.


Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kami menghabiskan waktu hampir seharian untuk membuat origami berbentuk burung. Ada seratus buah origami yang sudah dimasukkan ke dalam toples berukuran sedang.

Kemudian, terdengar nada dering dari ponsel Papa. Itu sudah pasti Ayah yang ingin mengabari bahwa ia akan pulang terlambat. Aku pun segera beringsut mendekat ke arah Papa dan mendudukkan diri di pangkuannya.

“Ayah nanti pulang jam berapa? Nino mau es krim!” tanyaku kepada Ayah melalui sambungan video call. Wajahnya tampak lelah namun sebuah senyum masih terulas di sana.

“Ayah pulang malam, nak … tidur sama Papa dulu, ya?” timpal Ayah. Beliau biasanya akan sering pulang malam jika sudah memasuki akhir bulan karena pekerjaanya yang menumpuk. Aku jadi kesal karena beliau jadi jarang membacakan buku dongeng serta menemaniku tidur. Bahkan ketika akhir pekan pun, Ayah masih sibuk berkutat di depan laptop untuk menyelesaikan laporan kantornya.

“Tapi Nino mau es krim, yah….” rengekku, berusaha membuat Ayah agar tidak pulang terlalu larut. Meskipun terkadang Ayah jarang menghabiskan waktu bersamaku, ia tidak pernah lupa untuk memasak pancake dan mengantarku ke sekolah di pagi hari.

“Besok kan hari sabtu, Ayah main sama Nino seharian. Kita beli es krim besok, gimana?” tawaran yang diberikan oleh Ayah tampak menggiurkan, bermain bersama ia seharian serta makan es krim di toko favorit pasti sangat menyenangkan.

“Jangan kebiasaan memanjakan anak, Mas!” tegas Papa. Bukan berarti Papa tidak sayang denganku, hanya saja beliau tidak ingin aku menjadi anak yang manja- dimana semua harus dipenuhi sesuai permintaanku. Papa dan Ayah mengajarkanku bahwa tidak semua yang diinginkan bisa didapat dengan muda. Mereka juga mengajariku menabung, baru ketika aku mendapatkan nilai yang bagus, mereka akan membelikanku sesuatu sebagai hadiah.

“Minggu ini kan waktunya cheat day, Sayang.” Sebulan sekali orang tuaku akan mengabulkan beberapa permintaan khusus dimana aku bisa makan sesuka hati atau meminta dibelikan mainan yang sudah kuincar dari lama.

“Ya sudah ... besok kita bikin es krim sama origami. Tapi, kamu jangan pulang larut, ya?” Aku yang mendengar percakapan Papa itu langsung berdiri dari pangkuannya, mengalungkan tangan kecilku di lehernya sembari memberi ciuman pada pipi kanannya. Ayah yang melihat tingkahku dari layar ponsel hanya bisa tertawa, mungkin ia juga ingin segera pulang dan mendekapku.

“Siap Bos! Nanti aku minta tolong Pak Udin untuk beli bahan-bahannya.” ujar Ayah menenangkan Papa.

Pak Udin adalah salah satu office boy di kantor Ayah. Beliau baik dan lucu. Jika aku berkunjung ke kantor Ayah, beliau sering mengajakku membeli jajanan pinggir jalan. Pak Udin juga sering bercerita hal-hal lucu yang bisa membuatku tertawa. Katanya, aku ini mirip dengan anak bungsunya yang meninggal beberapa tahun lalu karena sakit malaria. Rasanya sedih ketika mengetahui Pak Udin harus mengalami hal kurang baik itu. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untuk anaknya dan diberikan ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkan, batinku.

“Hati-hati di jalan ya, Mas. Aku sayang kamu,” kata Papa dengan seuutas senyu yang tidak pernah pudar dari wajahnya. Aku selalu suka saat Papa dan Ayah saling mengutarakan rasa cintanya. Ada bahagia menyeruak dalam batinku. Aku begitu bersyukur karena ditakdirkan untuk bertemu dengan Ayah dan Papa. Entah bagaimana jadinya jika saat itu Papa tidak mengadopsiku menjadi anaknya, mungkin aku tidak akan bisa merasakan bahagia dikelilingi oleh keluarga. Mereka adalah keluarga satu-satunya yang aku punya dan meskipun aku masih berumur lima tahun, aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk membahagiakan orang tuaku sampai akhir hayatnya.


Kicauan burung membelah kesunyian pagi disertai oleh cahaya kuning keemasan yang membuat kita terbangun dari mimpi. Sejuk udara pagi pun menambah semangat kita untuk memulai hari, rasanya begitu segar dan nyaman. Semua makhluk menatap indah hari yang penuh makna, tak terkecuali dengan aku dan Ayah yang sedang sibuk untuk membuat sarapan.

“Ayah … sst … ayah …” bisikku kepada sosok lelaki dengan kumis tipisnya ini.

“Iya nak … iya … ayah gak berisik deh,” kata Ayah dengan hati-hati mengeluarkan bahan-bahan pancake ke kitchen counter. Maklum, Ayah merupakan sosok yang berbanding terbalik dengan Papa. Sifat Ayah yang periang dan easy going menyeimbangkan karakter Papa yang lebih kalem dan pendiam.

“Ayo, Ayah! Cepetan! Kita bikin chocolate pancakes sebelum Papa bangun.” Pagi ini, kami ingin membuatkan sarapan sederhana sebagai kejutan kepada untuknya yang beberapa hari lagi merayakan ulang tahunnya.

Dengan perlahan-lahan dan menahan gaduh, Ayah menakar bahan-bahan untuk membuat pancake lalu memasukkannya ke dalam sebuah mangkuk besar. Aku yang berdiri di sebelah Papa berusaha membantu mengaduk adonan tersebut sembari menunggu Ayah yang sedang memanaskan teflon.

Satu per satu adonan tepung telah berubah menjadi pancake kesukaan Papa. Aku pun mengambil sebuah piring dan menatanya seindah mungkin. Ayah sekarang sedang sibuk memotong buah pisang dan stroberi sebagai pelengkap hidangan. Ia menyuruhku untuk mengambil saus coklat dan jus jeruk yang ada di kulkas. Sarapan untuk Papa pun selesai kami buat. Sepiring chocolate pancakes dengan irisan buah serta satu gelas jus jeruk untuk mengawali hari baik.

Kami segera membawa sarapan tersebut dengan sebuah nampan. Kami memasuki kamar utama dengan mengendap-endap, berusaha untuk tidak membuat Papa terbangun kaget lalu Ayah membuka tirai di dalam kamar yang perlahan-lahan menampakan terangnya sinar mentari.

“Papa … ayo bangun!” bisikku di telinga Papa. Beliau masih diam, enggan untuk beranjak dari mimpinya.

“Sayang … sudah pagi, ayo bangun,” kini Ayah yang membisikkan kalimat lembut di telinganya. Papa pun masih belum bergeming. Kami tidak kehabisan akal. Ayah mengeluarkan ponsel miliknya dan memutar satu lagu rancak dan mendekatkannya di telinga Papa. Sungguh sangat jahil.

Perlahan-lahan ia membuka kedua netranya, menyeimbangkan fokusnya karena silau sinar mentari yang memenuhi kamar tidur utama, “Surprise!!!” teriak kami berdua sementara Papa masih tercengang, berusaha mengumpulkan kesadarannya lalu tersenyum melihat tingkah kami pagi ini.

“Kalian masak ini buat aku?” tanya Papa kepada kami. Ayah pun menganggukkan kepala sementara aku sudah naik ke atas ranjang dan duduk sebelah Papa sembari memeluk lengan kirinya.

“Selamat ulang tahun, Papa” ucapku lalu menarik leher Papa dan membawa pipinya mendekat ke arah bibirku. Aku memberikan ciuman sebagai kado sederhana kepada Papa.

“Lha ini masih hari Kamis ... ulang tahun Papa kan masih besok,” kata Papa. Kami memang sengaja memberikan kejutan sederhana terlebih dahulu karena ingin membuatnya merasakan bahwa bulan April adalah waktu yang sangat spesial bagi keluarga kecil kami meskipun tidak genap sebulan tetapi paling tidak beberapa hari sebelum tanggal lahir Papa, kami berhasil membuatnya merasakan bahagia yang berbeda.

“Aku mau jadi yang pertama kasih kejutan ke Papa,” jawabku dengan masih mengalungkan kedua lenganku pada leher Papa.

Kalian tahu tidak? Aroma tubuh Papa seperti es krim vanila kesukaanku. Jika aku mengalami mimpi buruk, aku pasti akan mencari Papa lalu memintanya untuk mendekapku sampai tertidur. Aku sangat suka dengan baunya yang seperti ‘rumah’, membawa ketenangan tersendiri bahkan Ayah hampir tidak mau melepaskan dekapannya jika sudah rindu dengan Papa.

“Papa pengen kado apa, sih?” Aku selalu suka jika Ayah menatap Papa seolah ia adalah dunianya. Walaupun Ayah sedikit sableng, ia tetap menjadi kepala keluarga yang bisa diandalkan. Makanya, Papa sering sekali khawatir dengan sikap Ayah yang sangat easy going. Ia hanya tidak ingin Ayah terluka karena harus memikul semuanya sendiri dalam diam.

“Papa gak pengen kado mahal, cuma pengen liburan ke Taman Safari terus mampir ke rumah Eyang,” lanjutnya sembari mengunyah pancake buatan kami. Ayah memang pernah berjanji untuk mengajak kami pergi ke Taman Safari saat akhir pekan. Namun sayang, kesibukan Ayah di kantor membuatnya lupa akan janji itu dan bersyukurnya Papa mengingatkan kembali. Aku tidak sabar untuk melihat sang raja hutan dari dekat.

“Kalau gitu hari Sabtu kita ke Taman Safari dan menginap di sana, gimana?” tawar Ayah dengan semangat. Berpetualang di Taman Safari sama halnya dengan merasakan sensasi Jurassic Park secara langsung. Mencengangkan tapi juga asyik. Apalagi jika harus menginap semalam di salah satu penginapan dekat Taman Safari yang terkenal akan keindahan pemandangan serta kegiatan memberi makan jerapah di pagi hari. Aku semakin tidak sabar untuk segera ke sana.

“Berarti hari ini aku boleh ke rumah Mama, kan?” ijin Papa kepada Ayah. Ia memang sudah lama tidak berkunjung ke rumah Eyang karena banyaknya pesanan masakan yang masuk. Aku belum pernah bercerita tentang hal pekerjaan orang tuaku. Papa adalah seorang wirausahawan di bidang makanan. Atas dorongan dan dukungan dari Ayah, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari kantor dan membuka usaha katering makanan. Masakannya memang sangat enak apalagi jika Papa memasak ayam kecap, aku sudah pasti dengan lahap menyantap makanan tersebut sampai habis.

“Boleh, nanti ajak Nino tidur di rumah Mama terus Sabtunya aku jemput ke sana, ya?” ia memberikan izin kepada kami untuk menginap di rumah Eyang. Di rumah Eyang itu asyik sekali, selain karena Eyang memiliki banyak hewan peliharaan, ada Princess dan Arsen- para sepupuku, yang dititipkan di rumah Eyang oleh orang tua mereka. Eyang juga biasanya membuat masakan kesukaan kami jika sedang berkunjung ke sana.

“Asyik!!! Aku mau main sama Princess dan Arsen seharian,” tandasku. Orang tuaku hanya tersenyum mengetahui betapa senangnya anak semata wayangnya ini untuk segera bertemu dengan sepupunya.

“Tapi Ayah gak boleh lembur, ya?” pinta Papa. Benar juga sih, akhir pekan ini kami akan pergi ke Taman Safari. Jika Ayah harus lembur, maka kemungkinan Ayah lebih gampang capek dan kegiatan berpetualang kita akan sedikit terhambat semakin besar.

“Iya … aku usahain gak lembur,” janji Ayah. Semoga saja, semoga Ayah bisa menepati janjinya untuk tidak memforsir dirinya.


Besoknya tepat pukul delapan pagi, Ayah menjemput kami ke rumah Eyang dengan membawa beberapa tas yang berisi perlengkapan menginap dan cemilan.

“Ma, pamit dulu ya! Mau ngajak anaknya pergi ke Taman Safari,” ujar Ayah gaya khasnya, tengil seperti anak ABG yang baru saja mengenal cinta pertama.

“Udah jadi Ayah juga masih aja kelakuannya kayak jamet,” timpal Papa. Kami pun berpamitan kepada Eyang untuk segera memulai perjalanan ke Taman Safari.

“Hati-hati di jalan ya, jangan ngebut loh!” eyang mengingatkan Ayah untuk tidak melebihi batas kecepatan ketika mengendarai mobil. Maklum bukan sekali dua kali, Ayah sering ditegur oleh Pak Polisi apalagi ketika mengantarkanku ke sekolah di pagi hari.

Ayah pun mengendarai mobil dengan kecepatan sedang lalu keluar dari kompleks perumahan. Semoga saja kami selamat sampai tujuan, batinku.

“Mas, kamu sudah booking hotelnya, kan?” tanya Papa. Ia memastikan kembali bahwa Ayah sudah memesan kamar untuk kami menginap karena terkadang ia sering lupa akan sesuatu.

“Sudah kok, sekalian satu paket sama breakfast bareng jerapah juga.” Aku yang mendengar hal itu langsung sumringah. Untuk bisa bercengkrama dengan salah satu hewan kesukaanku dari dekat merupakan impianku dari lama dan akhirnya kini Tuhan mendengarkan permintaan sederhanaku.

“Terima kasih, Ayah” ucapku sembari mencium kirinya. Ayah hanya tersenyum, kedua netranya masih fokus menatap jalanan tol yang dihiasi dengan hamparan sawah nan hijau di kanan kirinya. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan sedang karena Papa sudah mengeluarkan ultimatum jika ia melebihi batas kecepatan maka kami harus putar balik dan membatalkan rencana ke Taman Safari.

“Kok terima kasihnya ke Ayah aja… Papa gak, nih?” sosok lelaki bersurai coklat itu mencebikkan bibirnya, pura-pura kesal.

“Maaf gak dulu, Pa....” aku menggoda Papa. Sebenarnya aku telah mempersiapkan kado khusus untuk ulang tahun Papa. Ingat dengan kerajinan origami yang ditaruh di dalam toples, kan? Nah itu merupakan hadiah untuk Papa yang di dalamnya berisi surat cinta kepadanya. Aku merahasiakan ini darinya karena menurut Ayah akan lebih seru lagi jika membuat Papa merasa kesal terlebih dahulu.

“Ajaranmu nih, Mas.... ” celetuk Papa kesal.

Terkadang mereka suka sekali meributkan hal-hal kecil seperti ini tapi tidak sampai membuatnya marah besar, paling lama mereka bertengkar dan tidak ingin berbicara satu sama lain adalah tiga hari. Saat itu, Ayah dengan jahilnya tidak menuruti perintah Papa yang menyuruhnya untuk memanaskan ayam goreng dan ternyata hal itu membuatnya mendiamkan Ayah selama tiga hari. Ia pun berhasil diluluhkan saat Ayah membelikannya buket bunga mawar merah muda dan strawberry pie.

“Kamu tuh suka banget ngajarin anaknya aneh-aneh. Gini kan jadinya, ikutan tengil kayak Ayahnya,” lanjutnya lagi. Ia masih belum menerima bahwa aku juga mempunyai sisi tengil dan nakal seperti Ayah. Katakan saja aku tidak ingin membereskan mainan, Papa sudah pasti akan mendiamkanku seharian.

Aku kadang juga terheran bagaimana bisa Papa menerima tawaran untuk menikah dengan Ayah padahal sifat mereka sangat berbanding terbalik. Kata pepatah memang benar adanya, adalah sebuah atraksi yang paling menarik antara dua orang yang saling bertentangan dan tidak pernah bertemu. Seperti Papa dan Ayah, mereka tidak akan pernah mengetahui kejutan apa saja yang akan dihadapi setiap harinya.

“Kamu juga ambil andil ya… tapi ngajarin yang baik-baik, sih?” sekali lagi Ayah tidak pernah kapok menjahili Papa.

“Iyalah, kamu aja yang suka ngajarin aneh-aneh. Awas aja kalau anak kita jadi jamet!” ujarnya dengan nada memperingatkan. Tenang, Papa! Aku tidak akan menjadi anak jamet yang banyak tingkah itu, batinku.


Sekitar pukul dua siang, perjalanan kami telah sampai di tujuan. Ayah segera mengambil antrian di depan pintu masuk Taman Safari. Sebentar lagi, sebentar lagi kami akan memulai petualangan ini.

Perlahan-lahan, mobil kami memasuki area taman yang sekelilingnya ditumbuhi oleh pepohonan rindang. Sejuk adalah pertama kali kalimat yang ada di benakku. Taman Safari benar-benar terasa seperti taman Jurassic Park yang sering aku lihat di layar kaca. Aku bisa melihat satwa-satwa itu dari dekat.

Lalu, mobil kami disambut oleh segerombolan zebra yang tengah sibuk memamah biak tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya. Ada pula beberapa jerapah yang berdiri tak jauh dari gerombolan tersebut.

“Nino pas udah gede, apa bisa setinggi jerapah?” tanyaku kepada Papa yang sibuk membuka bungkus nasi kepal yang dibeli di rest area. Ia menyuapkan sejumput nasi yang berisikan lauk tuna kepadaku.

“Kalau Nino setinggi jerapah nanti repot masuk rumahnya,” timpal Papa. Benar juga sih. Jerapah diciptakan memiliki tinggi sekitar empat meter dengan tujuan untuk mempermudah mereka mendapatkan makanan, sementara aku yang ingin memiliki tinggi seperti jerapah pasti akan kesusahan untuk melakukan aktifitas layaknya manusia.

“Tapi… Nino tetap pengen tinggi kayak mereka,” rengekku kepada Papa.

“Nino bisa jadi tinggi kok, nanti Papa ajarin main basket, ya?” ujar Papa yang kali ini menyuapkan potongan sosis kepadaku. Aku menggelengkan kepala dengan semangat dan tak lupa mengajak Ayah untuk ikut bermain basket bersama kami walaupun aku mengetahui jika Ayah belum cukup pandai dalam bermain olahraga tersebut.

“Boleh, nanti Ayah semangatin kamu dari pinggir aja, ya?” katanya. Ayah pernah bercerita jika ia memiliki sedikit trauma dalam olahraga yang membantu tinggi badan kita bertambah ini. Dahulu kala, Ayah pernah mengalami patah tulang dan harus beristirahat selama beberapa bulan karena hal tersebut. Dari sana, Ayah tidak mau bermain basket dan hal itu masih berlanjut hingga sekarang.

“Padahal aku pingin lihat Ayah sama Papa duel.” Papa mengusap pipiku lembut, seolah mengetahui ada sedikit rasa kecewa dalam diriku. Meskipun Ayah memiliki sedikit trauma dengan basket, ia masih bisa melakukan banyak hal yang membuatku senang. Satu trauma tidak membuatnya menjadi seorang Ayah yang tertutup atau otoriter terhadap anaknya. Ayah memiliki segudang talenta dan ia sering mengajarkanku berbagai keterampilan.

“Bercanda kok, sayang! Iya, nanti Ayah temenin kamu main basket,” ujarnya dengan seutas senyum yang menampilkan lesung pipi di wajahnya.


Puas berkeliling Taman Safari, kami pun akhirnya memutuskan untuk check in ke penginapan yang telah dipesan. Beruntung sekali letak kamar yang dipesan oleh Ayah berada di lantai 1 sehingga aku bisa melihat kandang jerapah tepat di depan mata.

“Ayah!!! Aku mau kasih makan jerapah!!!” teriakku kepada sosok lelaki yang masih sibuk dengan koper di tangannya.

“Tunggu dulu! Papa mau beres-beres kamar! Nanti setelah itu kita pergi ke kandang jerapah, ya?” tukas Papa sembari menahan tanganku untuk pergi ke arah kandang jerapah.

Akhirnya aku pun membatalkan niat untuk segera berlari ke kandang jerapah, hanya berdiri mematung di depan jendela kamar sembari melihat para pengunjung yang sedang menikmati acara memberi makan jerapah.

“Pa, jangan sering marah-marah, kan sekarang hari ultahnya Papa.” Aku melihat Papa yang muka berubah menjadi masam karena Ayah tak kunjung membantunya. Ia malah menyibukkan diri dengan ponsel dan siaran bola yang terpampang di televisi hotel.

“Papa gak boleh marah? Lihat tuh! Ayahmu malah main ponsel, gak bantuin beres-beres,” bibir Papa mencebik, pertanda bahwa amarahnya sudah di ubun-ubun. Ayah malah tidak menggubris kalimat yang dilontarkan oleh Papa. Ia masih sibuk dengan ponselnya.

“Mas! Udah kek main ponselnya!” Kan, begini jadinya jika Papa sudah mengeluarkan tanduknya. Papa akan mengomeli Ayah habis-habisan sampai tidak saling bertukar sapa.

“Bentar … bentar, sayang … nanggung nih, tinggal 10 menit lagi.” Tak kunjung beralih dari tempatnya, Papa pun mengambil kapstok baju kemudian memukul paha Ayah dengan keras.

“Aduh! Iya … iya … sabar kenapa, sih?!” Ayah mengadu kesakitan dan tidak sengaja menaikkan nada bicaranya.

“Kamu tuh kenapa sih suka banget bikin aku marah? Gak cukup apa seharian sibuk di kantor? Masa mau liburan sama keluarga aja kamu malah gini,” omel Papa.

Aku hanya terdiam menyaksikan pertengkaran kedua orang tuaku ini. Lucu, seperti anjing dan kucing.

“Pa … Yah … ayo cepetan! Nino mau main sama jerapah!” rengekku.

“Tuh mas! Jangan mager! Ayo gerakin badanmu!” ujar Papa dengan menarik lengan Ayah, membuatnya berdiri tegak meskipun tak mau berjalan. Tak ambil pusing, aku pun segera menarik tangan kedua orang tuaku dan mendorongnya ke pintu keluar kamar.

Awalnya aku mengira kedua orang tuaku ini hanya saling menggoda, tapi nyatanya mereka malah berjauh-jauhan. Dua orang dewasa secara angka tapi masih memiliki mental berumur remaja tidak mengeluarkan sepatah pun dari mulutnya. Mereka benar-benar bertengkar.

“Ayah … Papa … jangan marahan dong!” kataku kepada mereka yang masih diam seribu bahasa. Aku pun menarik tangan mereka, memaksanya untuk bergandengan dan saling bertatap-tatapan.

“Papa maafin Ayah, ya? Ayo dong … Nino pengen kasih makan jerapah, nih?!” Kedua nya masih enggan mempertemukan netranya, saling berpaling muka meski kedua tangan telah terkait erat.

“Kalau gak mau maafan, Nino pergi, nih?!” ancamku. Salah satu titik terlemah Papa adalah ketika aku mengatakan keinginan untuk dewasa lebih cepat. Sepertinya, Papa tidak ingin aku tumbuh dewasa dengan cepat; tidak ingin melihatku berpisah darinya dalam waktu dekat.

Ayah pun bergeming. Malu-malu, ia menatap wajah Papa yang sudah berubah menjadi merah karena menahan amarah, “Maafin Ayah ya, Papa?” lalu diremas kedua tangan Papa yang berada di genggamannya.

“Aku hari ini nyebelin banget. Maaf ya, hmm?” sekali lagi Ayah menyampaikan permintaan maafnya. Akhirnya, Papa pun luluh karena nada dari kalimat yang diucapkan oleh Ayah terdengar sangat tulus.

“Aku maafin, Mas. Jangan diulangi lagi ya!” kata Papa sembari memeluk Ayah dengan erat.

Katanya, dari pelukan kita bisa menilai apakah seseorang itu tulus atau tidak. Pelukan yang kulihat di depan mata ini termasuk salah satu yang tulus.

Rasanya lucu juga melihat dinamika hubungan kedua orang tuaku ini. Tidak ada lagi semerbak romansa sebagai pasangan, hubungan mereka sudah berada pada titik dimana besarnya rasa cinta tidak lagi dipertanyakan. Begini lah jadinya jika hubungan persahabatan yang sudah lama dibangun lalu memutuskan melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, bahkan tidak ada kalimat yang cocok untuk mendeskripsikan hubungan mereka yang begitu dinamis.

“Yuk, kita kasih makan jerapah!” aku mengajaknya dengan penuh semangat.

Akhirnya kami pun melakukan kegiatan yang paling ditunggu dengan damai. Ayah menggendongku di atas pundaknya sambil berkeliling taman dan memberikan makan kepada jerapah sementara Papa membuntuti kami dari belakang dengan membawa bermacam-macam sayuran untuk sang jerapah. Suasana sore hari ditutup dengan indahnya langit senja dan hiruk pikuk taman yang dipenuhi oleh para pengunjung. Kami pun akhirnya mengakhiri kegiatan dengan duduk di hamparan padang rumput sambil menatap awan dan langit jingga, pertanda matahari akan segera digantikan oleh gelapnya malam.

“Papa, sekali lagi selamat ulang tahun,” begitu ucapku kepada Papa yang masih fokus menikmati semilir angin sore ini.

“Selamat ulang tahun suamiku tercinta,” tambah Ayah dengan nada bicaranya yang damai. Sedamai suasana sore hari ini.

Aku melirik ke arah Papa, melihat mengapa ia belum merespon ucapanku kepadanya dan ternyata Papa tertidur. Aku pun membangunkannya dari mimpi singkatnya, menggoyangkan tubuhnya agar ia segera tersadar.

“Pa, bangun!!!” nadaku sedikit tinggi.

“Eh … maaf, Papa ketiduran.” Ia menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. Aku pun hanya tersenyum dan mengulangi ucapanku kepadanya.

Hari ini adalah ulang tahunnya dan kami memutuskan untuk bertamasya ke Taman Safari karena ingin mengabulkan salah satu permintaannya, yaitu bermalam dengan suasana hutan.

“Gimana? Seneng gak?” tanya Ayah yang kini sedang merebahkan badannya di kasur sementara Papa masih sibuk memakaikanku piyama tidur.

“Seneng … hehe … makasih ya hadiah ulang tahunnya, Mas” cengiran Papa menunjukkan betapa senangnya ia hari ini. Wajahnya yang sumringah dan senyuman pun tak pernah lepas dari raut wajahnya.

“Papa, aku punya hadiah juga!” teriakku sambil memberikan sepucuk amplop yang berisi rangkaian kalimat sederhana dengan coretan pensil warna yang kubuat saat pelajaran kesenian di sekolah serta satu botol kaca berukuran sedang yang berisi origami kecil berbentuk burung.

Pelan-pelan, ia membaca surat yang kuberikan dan kedua netranya nampak berkaca; ada air mata yang perlahan turun membasahi kedua pipinya. Wajahnya sedikit memerah, mungkin karena tangis yang tertahan. Satu emosi yang kutangkap dari mimik wajah Papa, ia terharu dan tidak mampu mengungkapkannya dengan kalimat.

“Nino....” sedikit ada getaran saat ia mengucapkan namaku.

“Papa dan Ayah sangat bersyukur kamu hadir di dunia ini. Nama ‘Nino’ dipilih agar kamu menjadi pribadi yang penuh belas kasih dan Papa bersyukur kamu tumbuh dengan baik, nak” lanjutnya.

Selama ini, aku menyadari bahwa diriku bukan lah anak kandung dari kedua pasangan yang telah mengikat janji suci sepuluh tahun silam. Awalnya, aku mengetahui hal ini dari teman sekolahku. Mereka menanyakan keberadaan sosok ibu dalam hidupku, bagaimana aku yang baru lahir seharusnya digendong oleh sosok tersebut. Namun sayang, aku hanya menemukan foto-foto saat aku masih balita dengan Ayah dan Papa – tanpa Ibu yang selama ini dimiliki oleh setiap individu di sekitarku.

Aku marah, kecewa, dan sedih. Aku kerap kali mempertanyakan alasan kenapa aku dilahirkan dan dibuang ke panti asuhan; kenapa pula aku harus diadopsi oleh dua sosok lelaki yang membuatku semakin berbeda dari kebanyakan orang. Semakin aku mempertanyakan, semakin aku jatuh dalam lubang hitam yang tidak berujung. Aku menjadi pribadi yang tertutup dan pendiam, bahkan Ayah sempat mempertanyakan perubahan signifikan yang terjadi dan hal tersebut tidak sesuai dengan perkembangan anak seumuranku. Beliau sempat membawaku ke sebuah klinik psikolog untuk anak – berharapnya menemukan secerca cahaya terhadap perubahan emosiku. Psikolog hanya menyarankan kepada mereka agar berbicara dari hati ke hati denganku; berbicara sejujur-jujurnya tentang keadaanku dan mengapa dibesarkan di lingkungan berbeda.

Mereka pun akhirnya menceritakan awal pertemuan dengan Nino balita hingga proses pengadopsian yang sempat berkasus karena ibu kandungku yang meminta imbalan atas jerih payah mengandung selama sembilan bulan. Peliknya permasalahan yang meliputi kehadiranku, akhirnya terbayar lunas saat pengadilan memberikan sepenuhnya hak asuh dan adopsi kepada Papa.

Dari sana, mereka benar-benar menganggapku anak kandungnya meskipun tak satupun dari mereka dianugerahi rahim oleh Tuhan. Aku pun juga tidak mempermasalahkan seksualitas kedua orang tuaku yang berbeda dari kebanyakan orang. Menurutku, selama Papa dan Ayah mencintaiku serta mendidikku menjadi seorang pribadi yang lebih baik adalah sebuah anugerah yang tidak ternilai harganya dan aku bersyukur hal itu ada. Semoga mereka tidak pernah lelah dan selalu menemani langkahku kemana pun aku pergi sampai Tuhan memanggil salah satu dari mereka.

“Papa, aku sayang sekali dengan keluarga kita meskipun aku adalah anak angkat kalian tapi aku berterima kasih telah mendidik Nino menjadi seorang yang baik,” jelasku sambil mengalungkan kedua tangan mungilku di lehernya – mendekap Papa lebih dekat.

“Kita berjuang dan berpetualang sama-sama, ya?” kini Ayah pun menarik tubuh kami untuk masuk ke dalam dekapanya. Kami saling berpelukan dan menyalurkan hangatnya semangat yang tak pernah padam ke relung hati masing-masing.

“Selamat ulang tahun, Papa! Semoga tahun depan kita masih bisa merayakan banyak hari spesial bersama.”

Setiap keluarga memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan itu lah yang membuat mereka unik. Aku pun tidak bisa memilih harus dilahirkan dari rahim yang mana dan keluarga seperti apa, namun bersama mereka – aku bersyukur atas semua nikmat dan pelajaran yang kami lalui bersama.

Semoga kisahku dengan Ayah dan Papa bisa menjadi angin segar untuk kalian yang sedang berjuang – entah sedang berusaha untuk memaafkan masa lalu atau pun berbenah diri menjadi lebih baik. Ingatlah, semua orang di dunia ini berhak untuk dicintai dan mereka berhak untuk menjadi lebih baik terlepas dari latar belakang dan perbedaan yang ada.

Selamat jalan! Semoga engkau bahagia, selalu!


Writer's Notes:

Hello! Setelah sekian purnama memutuskan untuk hiatus menulis, aku akhirnya memberanikan diri untuk mencoba sekali lagi. Ini adalah tulisan sederhana yang aku persembahakan untuk ulang tahun PP Krit di bulan April. Namun karena satu dua alasan, aku tidak bisa menerbitkannya tepat waktu.

Tulisan ini mungkin akan menjadi karya terakhirku di akun Twitter 'Chanstergram' dan setelahnya, aku memutuskan untuk benar-benar rehat dari fandom ini. Jika mungkin ke depannya, kalian menemukan gaya tulisan yang sama; itu adalah aku menggunakan akun pribadi.

Sejujurnya, banyak hal yang telah terjadi dan masih belum menemukan titik terangnya dalam hidupku. Aku ingin memfokuskan diri untuk menyembuhkan luka dan memaafkan yang pernah terjadi. Aku mohon doa dan support kalian, ya!

Singkat kata, aku secara pribadi memohon maaf apabila ada salah kata atau tindakan selama berinteraksi di akun Chanstergram. Twitterku akan tetap ada namun sengaja dibiarkan kosong sebagai pelajaran untuk diriku.

Terima kasih dan sampai jumpa di lain kesempatan!

chanstergram, 30 Mei 2021.