Sweet Surrender – Indonesian Version

Sepenggal kisah antara Billkin, Krit, dan kebenaran rasa yang disimpan dalam gelap.

“I give you more, you feelin’ the flow. You never let none of them bring down the vibe.”


Malam hari ini tampak muram, tidak seperti biasanya yang dihiasi oleh tebaran rasi bintang di sepanjang langit cakrawala. Aku melihat awan pekat yang menutupi keindahan langit malam dari jendela apartemen. Lalu, lamunanku dibubarkan oleh suara ketukan pintu yang terdengar tergesa-gesa.

“Kin…” Tampak sosok lelaki yang mengenakan setelan berwarna hitam. Ia berdiri di depan pintu, tumbuhnya basa kuyup karena derasnya air hujan di luar dan wajahnya sayu tak bertenaga seperti ada yang telah merengut kebahagiannya malam ini.

“Kamu mabuk?” Aku setengah berlari ke arah pintu, mempersilahkannya masuk.

Lelaki dengan nama lengkap Krit Amnuaydechkorn ini hanya diam mematung di tengah ruangan dan tidak mengindahkan pertanyaanku. Pandangannya menerawang, seolah sedang berusaha mencari jalan keluar terhadap suatu rahasia besar yang sedang ia simpan.

“Kin-” Ia menghela napas panjang lalu melanjutkan ucapannya, “- kamu mau tidur sama aku?”

Terdengar suara deru petir yang menggelegar, sama seperti suasana hatiku saat ini – bergemuruh mendengar ajakan yang disampaikan malam ini. Aku menatapnya seksama, mencari sebuah kebenaran dalam kedua obsidiannya yang tak pernah gagal menyihirku.

Namun kali ini, aku hanya bisa mendapatkan sebuah keputusasaan di dalam sana. Kedua netra yang biasanya mengirimkan jutaan kupu-kupu setiap kali sudut bibirnya membentuk senyuman. Kini tampak kosong dan muram, seperti akan ada badai yang datang.

“Kamu lagi mabuk, Krit” tegasku. Aku juga manusia dan tidak munafik jika ajakannya sempat menggoyahkan pertahananku. Sayangnya, aku bukan lelaki bajingan yang bisa memanfaatkan keadaan temannya untuk sekedar memuaskan fantasi. Aku sadar diri akan posisiku sebagai sahabatnya dan tidak ingin memperunyam hubungan kami dengan hal seperti ini meskipun aku diam-diam menyukainya selama tujuh tahun ini.

“I’m sober. I don’t drink today. Dan aku capek… Aku capek sama kita yang terus-terusan main tarik ulur kayak gini. Yang kamu rasain selama ini sebenarnya real gak sih?” Seolah diingatkan kembali akan mimpi buruk, pertanyaan darinya membuatku ketakutan setengah mati. Bagaimana tidak? Aku bersusah payah untuk meredam perasaan ini dan lebih memilih melihatnya bahagia dengan orang lain. Lalu sekarang tanpa tedeng aling-aling, ia mengajakku melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya.

“Krit, kita ini sudah sahabatan selama lima tahun. Gak mungkin lah aku bohong sama kamu. Apalagi nutupin perasaanku ke kamu.”

“Kamu masih belum jawab pertanyaanku…” Ia masih bersikukuh. Entah untuk mencari validasi atas perasaannya atau hanya ingin memperkeruh persahabatan kami dengan hal-hal yang sudah lama aku kubur dalam-dalam.

“Sesayang apapun aku sama kamu, aku lebih memilih untuk menjadi sahabatmu daripada harus berubah status dan kehilangan kamu nantinya.” Kalimat ini secara garis besar telah mewakilkan kebenaran tentang hubungan kami. Aku hanya ingin tidak mengulangi kesalahan yang sama lalu gagal bangkit. Sudah cukup aku menyiakan waktu selama dua tahun untuk menjadi budak cinta dalam permainan tarik-ulur hati yang tak pernah selesai ini.

“Kamu pernah gak sebentar saja mikir perasaanku? Gimana kalau aku maunya kita lebih dari sekedar sahabat?” Deg! Jantungku hampir saja copot setelah mendengar setengah pernyataan dan pertanyaan darinya. Gila! Ia sedikit banyak sudah pasti masih dibawah pengaruh alkohol dan bodohnya seorang Billkin ialah membuka pintu selebar-lebarnya untuk entitas yang menjadi adiksinya selama ini.

Ia masih diam mematung di tengah ruang tidurku. Mata kami saling menatap tanpa ada yang berani bertindak lebih. Tak pernah sekelebat pun aku berpikir ia akan memangkas jarak kami hingga indra penciumanku dikepung oleh lembutnya aroma bunga freesia yang bercampur dengan kuatnya aroma dedaunan khas musim gugur. Wajahnya kini tepat berada di depanku, hanya berjarak satu senti dan mataku membelalak lebar ketika ia memberikan sebuah kecupan kecil pada bibirku.


Ciuman kami yang awalnya hanya sekedar menempelkan kedua bibir menjadi sedikit lebih panas bak dua manusia yang kelaparan. Ada sedikit rasa manis khas buah cherry dari lipbalm yang biasa digunakan saat aku menggigit bibir bawahnya. Tanganku yang sedari tadi hanya bertengger pada pinggangnya kemudian dengan nekatnya berpindah untuk membelai punggungnya. Aku perlahan menyelipkan jariku di antara surai coklatnya, sedikit meremas rambutnya dan kembali memperdalam ciuman. Separuh akal sehatku sudah dikuasai oleh nafsu saat indera pengecapku dapat merasakan khasnya aroma daun mint di dalam rongga mulutnya seperti merk obat kumur yang biasa aku gunakan. Aku semakin enggan melepaskan tautan bibir kami.

“Jadi.. masih tetap mau menyangkal sama perasaan masing-masing?” Tangan kanannya berada tepat di atas dadaku. Tanpa ia berkata seperti itu, aku bisa mendengar dengan jelas betapa kerasnya degup jantungku saat ini. Mulutku terkunci rapat, tidak bisa menguntai kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya.

Semua terasa begitu lebih cepat. Tangannya yang semula berada di atas dadaku kini dengan lincah mencoba menanggalkan pakaian yang menjadi penghalang kami saat ini. Ia menyeringai. Pandangan mata kami bertemu, saling mengagumi keindahan satu sama lain yang kini sudah tidak ditutupi sehelai benang. Aku dibuat gila menyaksikan pemandangan indah di depan mata.

Dengan secuil nyali yang tersisa, tanganku menelusuri setiap lekuk tubuhnya. Wajahnya yang dipenuhi oleh beberapa tanda lahir serta bintik-bintik di sekitar pipinya yang timbul karena paparan sinar matahari. Leher putihnya yang jenjang. Dadanya yang bidang namun tidak terlalu berotot, sangat kontras dengan tubuhku yang keras dan berotot. Lalu, perutnya yang dihiasi oleh guratan garis-garis halus akibat menyusutnya berat badan serta lipatan lemak yang membuatnya tampak manusiawi.

Tangan kiriku semakin turun di antara kedua pahanya, mengocok lembut kepemilikannya yang masih tertidur. Terdengar suara lenguhan yang lolos dari mulutnya saat aku mempercepat tempo.

“Hnggh… Be gentle, please” Aku tidak mengindahkan permintaannya. Seolah sedang berlari marathon, nafasnya tak beraturan mengikuti pesatnya gerakan tanganku di bawah sana. Aku menyeretnya ke dalam kotak pandora, berlari sekencang mungkin untuk menggapai surga pertamanya.

“-can’t, please.. I can’t hold it, Kin” Suara desahannya semakin lantang, seperti berlomba dengan hujan untuk menentukan siapa yang terlebih dahulu usai.

“You can cum, babe” bisikku di telinganya. Tak berselang lama, tubuhnya menggelinjang dan kepemilikannya mengeluarkan cairan putih yang membasahi perutku.

Akal sehatku masih dikuasai oleh nafsu. Terbukti dengan betapa kerasnya kepemilikan ku saat ini. Ingin segera dipuaskan tapi nyiut nyali untuk meminta.

Ia masih mengatur nafasnya saat aku dengan gencar memberikan tanda pada lehernya. Ia tidak menghentikanku. Tangannya justru meremas rambutku, membuatku semakin bersemangat untuk menghiasi tubuhnya dengan tanda kepemilikan.

“Kin, can we do it raw tonight?” Permintaan darinya ini menghentikan kegiatanku. Aku menatapnya lekat, berusaha mencari arti dari pertanyaan tadi melalui kedua bola matanya.

“It’s been too long since we did it. I mean – of course, I trusted you. I just…” Suaranya berubah menjadi parau. Matanya pun memerah.

“I will move to another city next month. This will be the last time I asked you to do this with me. And I am sorry for everything…” Bajingan! Amarahku memadamkan api gairah yang ada dalam diriku.

Kedua tangannya mencegahku untuk bangkit dari tempat tidur. Ia membalikkan posisi kami.

“I have known your feelings since years ago but I did not dare to make a move. You were surrounded with girls and boys back then. And I was so insecure… I chose to ignore the sparks and waited for them to die down but I could not. I kept comparing someone with you until I dared myself to sleep with you that night.”

“Fuck you, Krit! I shouldn’t have done this with you! You… piece of shit! You are the most selfish person I’ve ever known. Isn’t it enough for you to pity me? Now what? You’ll leave this town and pretend nothing happened between us?”

“Neither I pity you nor belittling your feelings. I just- I don’t want to hurt you anymore, Kin. I want you to be happy, to be able to love someone freely and I don’t think that person is me. I can’t keep receiving the love and kindness from you where the fact is I kept hurting you. If I could turn back the time, I wish we could meet under different circumstances.” Seandainya aku tidak mengiyakan ajakannya untuk melakukan hal gila dua tahun lalu, hubungan kami mungkin tidak serumit ini sekarang.

Singkat cerita, aku diperkenalkan kepada Krit melalui salah satu teman kami semasa kuliah. Awalnya hanya sekedar teman untuk bertukar cerita namun semakin lama hubungan kami menjadi dekat, hingga suatu malam dia menelponku dengan kesadaran diambang batas – memintaku menemaninya di sebuah kamar hotel yang seharusnya ia sewa bersama pacarnya saat itu. Dia dalam pengaruh alkohol dan aku dengan keegoisan untuk memilikinya, melakukan sebuah kesalahan yang menjadi titik balik pada hubungan kami.

Seperti Bonnie dan Clyde, kami adalah dua entitas muda yang saling menyimpan rasa namun dikalahkan oleh ego dan ketakutan masing-masing. Kami hanya bertemu untuk saling melepas hasrat, tidak lebih dan semakin membuat hubungan kami beracun.


Posisinya yang kini berada di atas perutku memberinya kendali untuk mendominasiku malam ini. Tubuhku dibakar gairah saat jemari lentiknya menyusuri kulit tubuhku, kemudian memilin putingku dan menggesekkan kejantanan kami. Gesekan kulit yang tercipta menimbulkan percikan-percikan api yang dengan mudah melelehkan tubuh kami. Besarnya keinginan kami untuk menyentuh, disentuh, memberi dan diberi hampir menghilangkan akal sehat manusia. Eksistensi kami seperti sebuah simbiosis mutualisme dimana masing-masing dari kami saling ketergantungan untuk menuntaskan hasrat.

“I’ve prepared myself this morning.” Aku tidak kaget mendengar kalimatnya ini. Awalnya aku mengira seorang Krit adalah sosok polos yang tidak akan melakukan hal-hal berbau seksual sebelum memiliki ikatan resmi. Ternyata aku salah, ia lebih liar daripada fantasiku tentangnya selama ini.

Sesuai dengan permintaannya malam ini, ia melumasi kejantananku dengan pelumas rasa kelapa. Dan dan sedikit kurang sabar, ia memposisikan milikku yang sudah menegang tepat di depan lubangnya yang telah memerah. Aku melenguh merasakan sensasi sesak dibawah sana sementara ia memutar pinggulnya – mencoba memfamiliarkan lubangnya dengan kejantananku.

Masih lekat dalam memori otakku, bagaimana ia memintaku untuk tidur dengannya malam itu karena ingin mendapatkan validasi bahwa sosoknya juga pantas untuk mendapatkan cinta. Selama menjadi sahabat yang merangkap tugas sebagai teman tidur, ada banyak sisi yang aku temukan dalam sosok seorang lelaki yang dilahirkan pada bulan April ini. Salah satunya adalah sifat spontannya yang suka melakukan hal-hal gila di luar nalar. Apartemenku menjadi saksi bisu kegilaanya. Bagaimana tidak? Setiap sudut ruangan apartmenku menjadi tempat favorit kami untuk memadu cinta.

“Hngg.. Kin.. Here.” Ia menarik kedua tanganku ke arah kedua noktah yang sudah mengeras, memintaku untuk memilinnya dan tanpa berpikir panjang, aku menuruti kemauannya.

“Ahh… Nghh... You’re so good, Krit” Tubuhnya yang basah dibasuh peluh semakin bersemangat bergerak di atasku, lubangnya mencengkeram kejantananku dan membuatku mendesah nikmat.

“God! Nghh… Ah...Billkin… Ah… It’s so deep” Aku mencengkram pinggulnya, memperdalam gerakanku di dalam lubang duniawinya dan dengan mudah menemukan titik spesialnya di dalam sana. Tubuhnya berubah lemas. Pasrah karena titik rahasia nya dihajar habis-habisan oleh ereksiku.

“Shit! It’s so tight..hhh.. I can’t stop” Aku menyandarkan punggungku pada headboard sementara tubuhnya menghadap kaca meja rias yang berada tak jauh dari tempat tidurku. Aku bisa menangkap pantulan sosoknya yang kini tidak kalah erotisnya dengan model majalah dewasa.Kulitnya yang dihiasi oleh tanda cinta dariku serta lubangnya yang dipenuhi oleh milikku.

“Fuck! Ah…Ahhh..Kin..Ah..Faster…Fuck..Billkin.” Aku semakin menggila. Menggerakkan tubuhnya naik turun dan menghujam titik terdalamnya telak.

Aku menyeringai saat melihat sosoknya di dalam cermin yang tidak bisa menahan kenikmatan. Kedua kelopak matanya tertutup rapat dan bibirnya yang tidak berhenti mengeluarkan desahan nikmat.

“Nnhh, Krit – I, I need to.. Ah! Fuck!” Ia semakin menyempitkan lubangnya seolah mengerti maksudku.

“Come inside me, Kin” Sentakan bertubi-tubi kuberikan di dalam lubangnya setelah mendengar permintaannya. Ini pertama kalinya ia memintaku untuk melepaskannya di dalam. Biasanya ia tak pernah seperti ini. Mungkinkah ini benar-benar yang terakhir kalinya untuk kami? Fokusku terbagi antara segera mencapai pelepasan dengan kekhawatiran jika ia akan sepenuhnya menghilang dari hidupku.

“Billkin..hhh.. Ahhh..Kin..Come inside me, please?” pintanya sekali lagi.

“Krit..Ah...Krittthhh..Akhhh!” Tanpa berpikir panjang aku mengeluarkannya di dalam lubang dan tidak lama setelahnya, ia mendesahkan namaku lantang; pertanda ia telah mencapai surga keduanya.

“Billkin hhh.. I’m comingghh..Akhh!” Nafasnya tersengal seperti seorang atlet maraton yang berhasil mencapai garis akhir dan aku selalu suka memandangi wajahnya setelah mencapai pelepasan. Damai. Layaknya malaikat yang menemukan surga kecilnya namun ia berbeda. Surga kecilnya ada di dalam sebuah kamar, diatas kasur berukuran sedang di tengah malam penuh badai.

“I’m so sorry, Krit. I’m sorry for being a coward while I have these feelings for you. I understand that you will need some space to clear your mind, to ensure that you indeed deserved all of this. So, go explore the world and I will still be here when you come back.”

Ia membalikkan badan menghadapku. Matanya menatapku tajam, seolah sedang mencari afirmasi atas pernyataan yang kulontarkan.

“Billkin, why do you love me?” Adalah sebuah pertanyaan yang sampai detik ini masih menjadi misteri untukku. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang akurat akan hal tersebut.

Pikiranku menerawang kembali pada memori masa lalu, tepat sehari setelah kami melakukannya. Aku menemukannya menangis sendirian di pinggir kolam renang hotel. Setelah kutanya mengapa, ia hanya menjawab sosoknya adalah manusia jahat yang hanya suka merusak hubungan orang lain. Aku sempat kaget mendengarnya. Lalu ia kembali menjelaskan bahwa orang tuanya memutuskan untuk bercerai setelah hampir seperempat abad bersama tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengannya, kekasihnya saat itu juga memilih untuk meninggalkannya demi orang lain yang memiliki fisik lebih sempurna daripada dirinya, ditambah dengan meninggalnya peliharaan kesayangan yang menemaninya sedari kecil. Hal tersebut membuatnya semakin yakin bahwa kasih sayang tidak diciptakan untuk seorang yang entitasnya sudah menyirihku di pertemuan pertama.

“Aku tadi gak sengaja ketemu sama Khunpol di bar. Kita sempat ngobrol lama dan dia bilang pengen balikan sama aku” ucapnya datar.

“Terus kamu bilang apa?” Kalimat yang terucap dari bibirku berbanding terbalik dengan nyeri yang kurasakan di ulu hatiku saat ini.

“Ssshh-Ah! Pelan-pelan, Kin” Ia mendesis menahan sakit saat aku membaringkan tubuhnya di sebelahku dan mengeluarkan ereksiku dari dalam lubangnya.

Ia meletakkan kepalanya di dadaku. Tangan kirinya melingkar pada tubuhku sementara tangan kanannya membelai kulit perutku yang sedikit agak lengket karena cairannya tadi, “Aku langsung teringat sama kamu. The memories of us together came flooding my mind and I felt so terrible for not noticing it sooner. How you’re always there for me in every situation. You never leave me even if I showed you my dark side.”

“Why did you finally decide to love me back?” Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang ini karena sesungguhnya aku tidak pernah membayangkannya membalas perasaanku. Aku sudah cukup senang menjadi sahabat sekaligus teman tidurnya.

“Because it’s you and I don’t know what I would do if it wasn’t you” Kepalanya mendongak dan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapih.

“Am I allowed to say ‘I love you’ now?” Aku menundukkan kepalaku untuk memperpendek jarak pandang kami.

“That depends…” ucapnya lembut. Aku bisa merasakan deru napasnya tepat di depan wajahku.

Cup! Kuberikan kecupan pada bibir ranumnya yang memerah akibat kegiatan panas kami, “I love you because you are human after all and doing backward things with you doesn’t seem bad.”

Tubuh kami beringsut masuk ke dalam selimut, saling menempel. Lalu, aku membawa tubuhnya kedalam pelukan dan mencium surai coklatnya.

Setidaknya aku bisa tertidur lelap untuk malam ini. Tidak perlu terbangun di tengah malam untuk memastikan bahwa ia masih mengistirahatkan badannya di ranjangku.


Writer's Notes:

Written for BKPP Universe Fest and based on Prompt Obession.

Aku tidak bisa berkata banyak. Sejujurnya, nulis mature story lebih susah daripada angst. Jadi, aku memohon maaf sebesar-besarnya jika tulisan ini tidak sesuai dengan ekspektasi kalian.

Aku mendedikasikan tulisan ini untuk enam wanita yang tidak pernah gagal membuatku tertawa. Kak Cile, Cin, Cher, Kazz, Mbak Joo dan Ayi; Terima kasih banyak karena kalau bukan kalian, aku gak mungkin bisa seberani ini untuk menuangkan ide-ide gila ke dalam sebuah tulisan. Terima kasih juga karena selalu menghadirkan tawa dlam setiap overthinking dan keseriusanku. AKU SAYANG KALIAN TAPI AKU GAK MAU DIGANTUNG MACEM FWB-AN WKWKWK

chanstergram, 28 February 2021.