Sweet Betrayal

Part 17 : Misunderstanding


Aletta, Jidan dan Anna akhirnya sampai di lantai 68 alias Heshin Restaurant yang terletak di rooftop hotel dengan segala perjuangan mereka.

“Gila mayan juga naik kesini.” Aletta menghela nafas panjang.

“Huft... Capek banget...” Anna ngos-ngosan, entah udah berapa anak tangga yang dia pijak hari ini.

“Ah lemah lu baru gitu aja udah capek.” Ejek Jidan.

“Sopan kah begitu?” Anna menatap tajam Jidan, udah tau dia abis lari-larian jelas lah capek.

“Makanya olahraga Anna, biar lari-larian gak capek.” Saran Jidan seraya merenggangkan tangannya yang pegal.

“Nyenyenye...” Julid Anna.

Aletta melihat sekeliling, ternyata suasana pesta sudah tidak seramai saat terakhir kali dia disini.

Dia pun berjalan menuju meja bar untuk mengambil salah satu minuman. Tenang, itu hanya soda jadi aman.

Jidan dan Anna juga melakukan hal yang sama untuk melepas dahaga mereka.

Mata Aletta menangkap salah satu meja yang ditempati oleh sekelompok orang yang cukup dia kenal.

“Jidan, itu abang lo kan? Kak Jefran.” Aletta menujuk meja tersebut dengan gelasnya.

“Lah iya.” Jidan baru ingat kalau kakak kandungnya itu juga diundang ke pesta Reyhan.

“Tolong bilangin abang lo sama orang-orang yang ada disana tentang Dinda.” Perintah Aletta, menurutnya akan lebih baik jika mereka mengetahui hal ini.

“Oh oke siap!” Jidan memberi tanda hormat lalu pergi ke meja yang Aletta maksud.

“Eh itu kaya Bella deh.” Aletta menyipitkan matanya untuk melihat orang itu. “Ah bodo amat gua harus kasih tau Azka dulu.”

Gadis itu pun berlari mencari kekasihnya.

Anna yang menyadari dirinya ditinggal sendirian oleh kedua temannya jadi kesal.

“Loh kalian kok pada ninggalin gua sih!? Ih nyebelin!” Dia menghentakkan kakinya.

Bagi Anna hari ini adalah hari kesialannya.

Pertama dia harus dikejar oleh beberapa orang tak dikenal yang berusaha menangkapnya dan Raina.

Kedua, dia harus mengetahui kenyataan pahit tentang orang yang disukainya ternyata berpacaran dengan teman dekatnya sendiri.

Anna mendengus sembari melipat kedua tangannya.

Gadis seperti Raina bisa mengalahkannya? Memangnya dia siapa? Dia bahkan tidak pantas bersanding dengan ketua osis itu.

Anna kembali mengambil ponsel Dinda yang sempat dia simpan.

Di dalamnya memang berisi banyak foto haram yang jika disebarluaskan, bisa membuat Raina dan teman-temannya mendapat komentar kebencian dari banyak orang atau bahkan merusak hubungan mereka.

'Ide yang bagus.' Batin Anna sambil tersenyum miring.

“Gua mending ikut Jidan atau Aletta ya?” Dia mengetuk jarinya di dagu.

“Aletta pasti mau ketemu sama Azka, kalo Jidan mau ketemu Jefran waketos... Berarti ada... Oke gua ikut Jidan.”

Jika para reader kesal dengan Anna, sabar ya dia emang gitu orangnya😃


“Azka!” Panggil Aletta ketika menemukan kekasihnya itu.

“Aletta? Lo kenapa lari-lari gitu?” Azka menghampiri Aletta, dia sangat khawatir karena belum melihatnya beberapa hari waktu lalu.

Aletta memeluk Azka dengan erat, dia lega untungnya Azka baik-baik saja.

Azka sebenarnya cukup terkejut dengan perlakuan Aletta ini, bahkan semua temannya sampai terheran-heran.

“Lo liat Reyhan dimana?” Tanya Aletta seraya melepaskan pelukannya.

“Gak, gak liat, kenapa?” Azka bingung kenapa tiba-tiba Aletta menanyakan soal Reyhan padanya, aneh sekali.

“Ayo bantu gue cari dia.” Aletta segera menarik lengan Azka untuk meneruskan misinya.

“Eh kamu siapa?” Tanya seorang gadis yang berusaha mencegat mereka, dia terlihat tak suka jika Azka dibawa oleh Aletta.

“Gua pacarnya Azka, kenapa? Masalah?” Aletta langsung to the point, lagi salah sendiri nanya-nanya disaat genting gini.

“Iya dia pacar gua, Aletta namanya.” Azka tersenyum, dia merasa bangga memamerkan kekasihnya di hadapan teman-temannya.

“O-oh jadi kamu pacarnya.” Alya melangkah mundur, dia merutuki dirinya yang sudah lancang bertanya.

“Lo siapa?” Tanya Aletta dengan tatapan sinis, dia punya firasat kalau gadis itu menyukai Azka.

“Aku Alya.” Balasnya sedikit tertekan.

“Kalo aku Shella.” Sahut Shella sambil melambaikan tangannya friendly.

“Gak nanya lo.” Ucap Aletta, dia menggelengkan kepalanya tak habis pikir, pengen banget apa dikenal juga.

“O-oke.” Shella menundukkan kepalanya malu.

Sedangkan ketiga teman yang lain seperti Daffa, Kai dan Terry jadi ngebug. Mereka bertiga benar-benar bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Eh ini ada apa sih!?” Daffa akhirnya memutuskan bertanya.

“Lo bertiga bantuin gua cari Reyhan, ngerti!?” Aletta menunjuk ketiga orang itu tanpa dosa.

“Emang Reyhan kenapa?” Kai masih gak paham.

“Tau ih, perasaan tadi Reyhan baik-baik aja dah.” Terry melipat tangannya.

Kalaupun Reyhan kenapa-napa dia juga gak peduli sih, toh dia disini kan cuma numpang makan.

“Oh gua tau, lu pasti mau ngasih surprise kan? Hayo ngaku...” Tebak Daffa.

Aletta memutar matanya, dasar otak udang mereka semua. “Kalian kenal Dinda kan?”

“Kenal!” Jawab mereka serempak.

“Dia ada disini.” Jelas Aletta.

“APA!?” Kaget lah mereka semua.

“Bukannya dia lagi... Oh iya ini kan bukan di sekolah.” Daffa baru sadar kalo orang di skors kan masih bisa berkeliaran di luar sekolah.

“Tapi ngapain dia kesini?” Tanya Kai, setaunya kan Dinda itu anaknya bermasalah jadi gak mungkin diundang kesini.

“Kalo ada Dinda pasti hal buruk akan terjadi.” Pikir Terry.

“Dinda meresahkan.” Timpal Kai.

“Pokoknya jangan sampe ada yang makan kue apapun disini.” Peringat Aletta, dia punya firasat buruk tentang makanan itu. Mungkin saja masih ada Bodyguard Dinda disini.

“Emang kenapa?” Tanya Shella, dia langsung menaruh kue yang ada di tangannya.

“Nanya sekali lagi gue gampar muka lo!” Ancam Aletta, capek dia tuh ngeladenin mereka semua.

“Ampun bestie.” Shella auto kinap.

“Udah sana cepet mencar cari Reyhan, sama bilangin orang-orang kalo polisi bakal dateng kesini.” Aletta nyuruh mereka nyebar bukannya malah bengong disini.

“Po-polisi?” Shella tak menyangka, seserius itukah masalah Dinda sampai melibatkan polisi?

“Iya polisi, Dinda itu terlibat pembunuhan berencana.” Menurut Aletta ini lah satu-satunya cara agar Dinda tidak berulah lagi.

“Gila, Dinda sikopet banget.” Kai jadi emosi.

“Spikopat anjir.” Sahut Daffa.

“Psikopat goblok!” Terry mengoreksi kalimat mereka semua, dasar gak pernah belajar bahasa Indonesia.

“Ya udah sih sans!” Daffa melipat kedua tangannya, namanya juga typo harap dimaklumi dong.

Aletta menarik tangan Azka untuk ikut dengannya mencari Reyhan di suatu tempat.

“Kita mau kemana Al?” Tanya Azka, pasalnya dia tidak tau kemana arah tujuan mereka.

“Kita cari ke kamarnya.” Balas Aletta tanpa menoleh kearah lelaki itu.

“Ke kamar?” Azka tersenyum, entah apa yang dipikirkan olehnya.

Aletta menghentikan langkahnya. “Jangan mikir yang macem-macem.”

“Gak, gua gak mikir apa-apa, sumpah.” Azka seketika panik, dia juga tidak mengerti akan jalan pikirannya.

“Bagus. Oh iya, lo liat Shucy sama Bella gak?” Tanya Aletta, dia sedikit khawatir dengan kedua bocah itu.

“Kalo Bella gak liat tapi kalo Shucy liat, dia abis jambak-jambakan sama Satya.” Jelas Azka, dia ingat terakhir kali bertemu teman Aletta itu.

“Hah? Ngapain anjir!? Kobam kah?” Aletta nampak syok mendengarnya. Aneh banget sampe jambak-jambakan gitu, fix ini mah pasti gak beres.

“Hmm... jangan marah ya, gua udah berusaha ngelarang Satya, tapi dianya ngeyel.” Ucap Azka dengan suara rendah, dia takut Aletta akan memarahinya.

“Oh kayanya gua tau nih.” Gumam Aletta.

“Iya bener.” Azka mengangguk.

“Apa yang bener? Lo aja belom cerita.” Aletta berkacak pinggang.

“Ya masa kamu gak tau kelakuannya Satya.”

Siapa yang tidak tau dengan kelakuan busuk lelaki buaya itu? Jelas saja semua orang tau hanya dari namanya.

“Huft...” Aletta menghela nafas. “Satya selingkuh gitu? Atau cuma iseng godain cewek lain? Atau malah...”

“Ya intinya gitu.”

“Kalo kamu?” Kini Aletta menatap Azka penuh selidik.

“Hah?” Azka tak mengerti maksud Aletta. Apa dia juga menuduhnya selingkuh? Hei, itu tidak mungkin terjadi.

“Kamu deket-deket sama cewek lain juga gak? Tadi kan aku gak sama kamu.” Aletta sampe gak sengaja manggil aku-kamu saking gemesnya.

“Ohh sekarang ngomongnya aku-kamu, oke.” Goda Azka, jarang-jarang kan Aletta kaya gini.

“Gak usah ngalihin topik. jawab pertanyaan aku, oh jangan-jangan...”

“Gak Al, sumpah! Aku gak ngapa-ngapain sama cewek lain.” Azka meyakinkan Aletta sembari memberikan mata berbinarnya.

“Terus si Alya-Alya itu siapa? Ngapain dia deket banget sama kamu?” Aletta sebenarnya agak curiga dengan teman Azka tadi.

“Dia yang suka sama Aku, akunya sih gak.”

Azka memang tau temannya itu menyukainya sejak lama, tapi Azka tidak ada perasaan apapun terhadapnya.

“DIA SUKA SAMA KAMU!?” Aletta makin tak percaya.

Dia kira firasatnya hanyalah rasa cemburu semata, ternyata gadis itu memang harus diberi peringatan.

“I-iya tapi aku gak suka! Aku sukanya sama kamu doang!” Azka mengatakannya dengan tulus.

“Boong, dasar buaya, gak ada bedanya kamu sama Satya.” Aletta kesal, dia pun berjalan meninggalkan Azka.

“Ih nggak Al, aku bahkan gak pernah ngobrol sama Alya.” Azka menarik tangan Aletta agar kekasihnya itu berhenti.

“Pembohongan publik.”

“Nggak Aletta, masa kamu gak percaya sama pacarmu sendiri.”

“Nggak tuh.”

“Aletta...” Wajah Azka mulai memelas, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi supaya Aletta percaya.

Aletta jadi ingin tertawa melihat wajah kekasihnya itu, dia tau kok kalau Azka tidak pernah berbohong padanya.

“Iya aku percaya, tapi kalo kamu sampe deket-deket sama dia lagi awas aja.”

“Tapi kan aku satu kelas sama dia, gimana dong?” Azka mengerucutkan bibirnya lucu.

“Ya boleh sih deket, tapi jangan sampe kamu selingkuh, hidupmu gak akan tenang abis itu.” Ancam Aletta.

“Siap Al, janji kok!” Azka memberikan tanda hormat.

“Ya udah ayo kita ke kamar kamu.” Ajak Aletta. “Kita lewat tangga darurat ya, aku trauma naik lift.”

“Emang kenapa?” Azka baru tau kalau Aletta punya trauma dengan lift.

“Abis kejebak di lift.” Ujar Aletta santai.

“Oh my god, serius Al? Kamu gak apa-apa kan? Kok bisa sih? Kamu sendirian kejebaknya atau ada orang lain? Terus caranya kamu keluar gimana?” Azka panik, kenapa Aletta baru cerita sekarang sih, kan dia bisa menolongnya.

“Sstt... Ceritanya panjang, besok aja ceritanya, ini lagi genting sayang.” Aletta sebenarnya tidak mau mengingatkan kejadian itu lagi.

“Sayang? O-oke.” Azka menggaruk tengkuknya karena malu, Aletta benar-benar tidak terduga orangnya.


“Bang Jefran! Surprise adikmu yang ganteng ini datang! Halo juga kak Mahesa, Ricky dan Juan!”

Jidan dengan segala tingkah ajaibnya datang memberi kejutan untuk mereka semua, jangan lupakan bajunya yang juga berbeda konsep itu.

“Lah Jidan? Lu ngapa pake baju biru terang anjir? AHAHAHA ANEH BANGET!” Jefran selaku kakak kandungnya langsung ketawa ngakak.

“Jahat lu bang ngatain adek sendiri, gua tuh salah kostum tau.” Semangat Jidan seketika menurun akibat perkataan kakaknya yang cukup menyayat hati.

Drama Jidan mah.

“Pfftt... Jidan lu sehat kan?” Ricky nyoba nahan tawa.

“Gak usah ketawa lu Ricky Ridho! Tadi temen lu udah ngetawain gua, sakit hati gua tuh.” Jidan keknya salah deh pergi kesini, mending dia ikut Haris aja tadi biar malunya gak sendirian.

“Lebay lo! Siapa suruh salah baju.” Juan natep Jidan julid banget, dia tau maksud 'temen' itu pasti si Sean.

“Emang gak baca undangannya?” Tanya Mahesa baik-baik, kasian juga dia liat Jidan di bully.

“Lupa gua kak.” Lebih ke males sih sebenernya.

Jidan baru sadar ada temen sekelasnya yang lagi tidur pules di sofa. “Weh Bella kenapa tuh? Abis lu gengbang ya berempat?”

“Mulut dijaga! Siapa yang ngajarin begitu hah!?” Jefran yang denger fitnah itu langsung nabok kepala adeknya.

“Gak gitu Jidan, dia tuh abis kobam makanya ketiduran.” Jelas Mahesa, ada-ada aja dah pikiran Jidan.

“Tau lu, sembarangan banget!” Ricky emosi, temennya itu enak banget kalo ngomong gak di rem.

“Jidan lo jangan mancing emosi ya.” Juan ngasih tatapan membunuh ke arah Jidan.

“Ouhh... Bilang dong kan gua gak tau.” Jidan ngangguk-ngangguk aja.

Tiba-tiba saja ada seorang gadis yang berlarian tak jelas ke tempat mereka.

“Jidan, lu cepet banget sih, tungguin gua kek gitu!” Gadis itu menepuk pundak Jidan.

“Lah lu ngapa ngikut gua Annabelle!?” Jidan ngelepasin tangan Anna dari pundaknya.

“Nama gua Anna ya!” Koreksi gadis itu, dia pun beralih menatap keempat lelaki di hadapannya. “Hai kalian!”

“Hai!” Balas mereka semua kecuali Mahesa.

Dia baru tersadar, mendengar nama Anna dan Jidan membuatnya ingat akan satu hal.

“Bentar kalian Anna sama Jidan? Kalian yang kejebak di lift bareng Raina kan?” Kalau mereka bisa lolos dari lift, lalu kemana kekasihnya itu?

“Iya.“ Jidan mengangguk. “Eh kok lu tau kak?”

“Kejebak di lift? Lu tadi kejebak di lift!? AHAHAHAH KOK BISA SIH?” Jefran malah ngakak lagi pas tau adeknya kena sial begitu.

“Lu mah ngetawain gua mulu bang, gak jelas.” Jidan memasang muka cemberut.

“Iya tadi kita yang kejebak di lift bareng Raina, kalo kak Hesa nyari Raina dimana, Raina masih ada di lift sama Dinda.” Jelas Anna.

Sebenarnya Anna cukup malas untuk mengatakan fakta itu, tapi dirinya harus terlihat baik di depan Mahesa kan?

“Apa? Sama Dinda?” Mahesa berusaha berpikir positif, walau hatinya benar-benar tidak tenang.

“Oh gua paham, lu pacarnya Raina ya kak? Yang nyuruh kita buat narik interkom.” Tebak Jidan, pantesan Haris langsung kicep denger suaranya.

“Interlock, Jidan.” Koreksi Anna.

“Ouhh jadi pacar lu Raina.” Jefran menepuk pundak Mahesa sambil nahan tawa. “Yang dulu suka nyari masalah sama lu itu kan? Gak nyangka gua.”

Mahesa sangat khawatir dengan keadaan Raina, dia tidak mau diam saja disini, dia harus melakukan sesuatu.

“Eh mau kemana kak?” Tanya Jidan ketika Mahesa ingin pergi meninggalkan mereka.

“Ya mau nolongin pacar gua lah! Kalian tau sendiri kan Dinda kaya gimana!?” Pikirannya udah gak karuan, dia takut banget kekasihnya itu kenapa-napa.

“Santai dulu bang, santai.” Juan nyoba nenangin abangnya.

“Iya bang, coba dengerin mereka dulu.” Ujar Ricky.

“Tau lu, khawatir banget keknya.” Goda Jefran, dia baru kali ini liat temennya panik gitu.

“Coba kamu jelasin yang lebih detail, tadi kamu sama Raina terus kan?” Tanya Mahesa pada Anna.

Anna senang karena merasa menjadi orang kepercayaan Mahesa.

“Iya, tadi kita berdua ketemu sama Dinda. Kita sempet nguping kalo dia mau ngasih sesuatu ke kuenya kak Reyhan.”

“Ngasih sesuatu? Apaan?” Tanya Ricky.

“Ngasih racun lah, ya kali ngasih duit.” Ujar Jidan kesal, emangnya ngasih apa lagi coba selain racun?

“Jadi, si Dinda itu mau ngeracunin Reyhan sama tamu-tamu disini gitu?” Tanya Mahesa memastikan.

“Kurang lebih kaya gitu kak.” Anna mengangguk.

Mahesa tidak bisa menahannya lagi, dia harus segera menyelamatkan Raina bagaimanapun caranya.

“Eh eh mau kemana? Sini dulu, ngebet banget sih.” Jefran menarik temannya itu agar tidak pergi.

“Je, pacar gua dalem bahaya, masa gua diem-diem aja disini!?” Mahesa menepis tangan Jefran dengan kasar.

“Ya tau tapi tenang dulu.”

“Gimana bi—”

“Hai guys...”

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba seorang Aryasatya Ragnala berjalan dengan sempoyongan ke arah mereka, di tangannya terdapat sebotol anggur yang isinya tinggal sedikit.

“Eh bang Sat, lu kenapa lemes amat?” Ricky kaget ngeliat kondisi abangnya yang kelewat gembel itu.

“Bang Sat abis minum baygon ya?” Juan ngarang aja nanya gitu.

“Sotoy lu semua... Hik...” Ucap Satya setengah cegukan.

“Lu kenapa Sat sampe cegukan gitu?” Mahesa makin heran sama adeknya yang satu ini, tumben banget dia kaya gini.

“Gua abis minum 2 botol wine... Hik...” Satya malah cengengesan gak jelas.

“Waduhh... kobam dia.” Jefran menatap Satya dengan miris, pasti lagi galau itu bocah.

“Bang Sat lu kaya orang abis putus cinta deh.” Celetuk Jidan.

“HUWAAAA BANG... MASA PACAR GUA DIAMBIL REYHAN....” Satya memeluk Mahesa sambil menangis tersedu-sedu.

“Eh, lu ketemu Reyhan?” Mahesa menepuk-nepuk punggung Satya agar lelaki itu sedikit tenang.

“Ketemu tadi.”

“Terus sekarang dia dimana?”

“Gak tau... Intinya dia bawa pacar gua pergi...” Rasanya Satya ingin menghajar Reyhan sekarang juga.

“Tadi bang He abis nelpon bang Rey, katanya dia lagi ada di kamar.” Sahut Juan.

“Di kamar? Pasti pacar gua ada disana juga, ayo kita kesana!”

Satya mau pergi nyusulin mereka ke kamar, tapi karna efek Kobam dia jadi oleng gitu pas jalan, untung badannya ditahan sama orang-orang yang ada disana.

“Eh eh... Sat lu kalo lagi kobam gak usah cari ribut deh.” Mahesa ngerangkul Satya biar duduk di sofa.

“Gak, gua gak kobam, gua masih sadar!” Tegas Satya, ya walaupun pandangannya udah berkunang-kunang.

“Hilih, jalan aja sempoyongan gitu lu bang.” Sindir Juan.

“Diam lo jelek!” Bales Satya gak terima.

“Tuh bang masa dia body shamming.” Adu Juan pada Mahesa, enak aja muka ganteng gini dibilang jelek.

“Aduh... Udah deh kalian disini aja, gak usah kemana-mana ya.” Perintah Mahesa, pusing banget dia tuh ngurusin ginian.

“Oh iya kak, tadi Sean juga udah nelpon polisi kesini, kayanya 20 menit lagi sampe deh.” Ujar Anna, dia lupa mengatakan poin penting itu.

“Kalian nelpon polisi!? Kenapa gak bilang-bilang dulu, siapa yang nyuruh nelpon polisi?” Mahesa syok, kok sampe bawa-bawa polisi segala sih.

“Aletta.” Balas Jidan. “Katanya Dinda terlibat pembunuhan berencana.”

“Ah iya Dinda, gua baru inget! Minggir lu semua!” Mahesa membuka jalan agar dia bisa lewat.

“Eh Affan! Gua ikut!” Pekik Jefran lalu mengikuti temannya itu pergi.

“Jidan ikut juga dong bang!” Jidan ngikut abangnya dari belakang.

“Bang Sat, mending lu tiduran disini dulu.” Saran Ricky, dia sama Juan mau bawa Bella ke kamar.

“Terus lu semua ninggalin gua gitu?” Satya kecewa, seharusnya kan mereka nemenin dia dimasa-masa sulitnya ini.

“Anna, lu temenin bang Sat ya.” Suruh Juan tanpa dosa.

“Eh kok jadi gua? Gua kan mau ikut kak Hesa!” Tolak Anna. Ogah banget dia nemenin Satya disini, nanti dia ketinggalan info tentang Raina.

“Dih ngapain ngikut orang bucin? Mending disini temenin Satya, mumpung lagi kobam.” Ricky memainkan alisnya.

“Gua gak kobam ye anying...” Lirih Satya.

“Pret...”

“Bella, bangun!” Juan menepuk pipi Bella secara perlahan untuk membangunkannya.

“Eung...” Bella merasa terganggu. “Juan?”

“Masih pusing gak? Kita pindah ke kamar yuk!” Juan mengusap lembut rambut Bella.

“Ke kamar?” Tanya Bella setengah sadar, nyawanya belum terkumpul sempurna.

“Iya, mau digendong sama Ricky atau sama Juan?” Tawarnya.

“Mau sama Juan!” Balas Bella dengan antusias.

“Oke, satu.. dua.. tiga!”

Juan pun mengangkat tubuh Bella dan membawanya bak karung beras. Iya, Juan meletakkan tubuh Bella di pundaknya.

Anehnya Bella tidak protes atau memberontak, apapun yang dilakukan kekasihnya itu Bella tetap suka kok. Apalagi dalam kondisi mabuk seperti ini, Bella juga tidak sadar.

“Buseh Ju, ngapa gendongnya begitu dah?” Ricky kira Juan akan menggendongnya dengan cara normal tapi malah...

“Biar gua gak capek.” Ujar Juan dengan santainya.

Dimana-mana, yang namanya gendong orang itu pasti capek lah Juan 🙃

“Ya tapi...”

“Udah ayo keburu kita ketinggalan sama bang He!” Juan berlari menuju arah lift.

“Pelan-pelan Ju, gak usah lari juga, kasian itu Bella...” Ricky gregetan banget ngeliatnya, takut Bella encok abis ini.

“Satya, lu bisa jaga diri kan? Gua harus ikut mereka, bye!” Anna pamit dan pergi menyusul mereka semua.

“Anjing lu semua, gak ada yang peduli ama gua... Hik...” Ucap Satya meratapi nasib.


Penasaran dengan apa yang terjadi pada Dinda dan Raina? Kira-kira begini kejadiannya...

Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift.

Dinda menekan tombol lantai dasar agar waktu mereka di dalam lift terasa lebih lama.

Raina berusaha menjauhi Dinda karena di tangan gadis itu terdapat pisau lipat yang bisa melukainya kapan saja.

“Hmm.. Hai Dinda! Kok lu bisa disini sih? Bukannya lu lagi sakit ya?” Raina membuka pembicaraan dengan basa-basi.

“Wow, so you believe that? You think I'm really sick?” Dinda mendecih. “You're a bad liar Raina, you can't even hide your relationship with the student council president.”

“Hah? Gua gak ada hubungan apa-apa sama anak presiden.” Raina sebenarnya tau apa maksud Dinda, dia hanya mengulur waktu.

“Maksud gue ketua osis.” Dinda memutar matanya, kesal.

“Ouhh... Hahaha... Mahesa maksud lu? Gua juga gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Raina tertawa canggung.

“Oh gitu? Sayangnya, Anna pasti nyangka lo udah ngehianatin dia. sama kaya kalian ngehianatin gue.” Dinda membersihkan bercak darah yang ada di pisaunya.

'Hadeh nambah beban aja dah nih orang.' Batin Raina.

“Kita gak ngehianatin lu Dinda, kita beneran ngerusuh kok di pestanya Reyhan.” Raina mencoba meyakinkan Dinda.

“You think I'm stupid?”

“Yes, I mean nooo... No, of course not.” Raina merutuki dirinya. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu, dasar bodoh.

“Enak ya, lo sama temen-temen lo malah asik pacaran. Semenjak kalian tau skandal gue, kalian udah gak peduli lagi kan?” Dinda berjalan mendekati Raina yang memojok di sudut lift.

“Dinda, kenapa sih lu ngelakuin semua ini? Padahal Reyhan tuh orang baik lho.” Perkataan Raina barusan membuat Dinda berhenti.

“Iya bener. Reyhan dulunya cinta sama gue, tapi gara-gara pacar lo sama adek-adek setannya itu, Reyhan jadi benci sama gue!”

Ya, alasan Dinda mengincar Raina ialah hubungannya dengan sang ketua OSIS, karena Mahesa lah yang membuatnya dibenci oleh Reyhan serta membuatnya di skors dari sekolah.

“Mahesa? Ya elah Din, kalo lu ada masalah sama dia mah ajak ribut aja. Kenapa harus Reyhan yang kena imbasnya?”

Raina tidak bersungguh-sungguh mengatakannya, kalau sampai kekasihnya jadi sasaran Dinda, dia sendiri pula yang kelabakan.

“Gue mau bikin Reyhan ngesel karna udah putusin gue.”

“Dengan cara ngeracunin Reyhan di hari ulang tahunnya? Gila lo ya!?”

“Lebih gila mana sama orang yang udah ngebohongin temen deketnya demi kesenangannya sendiri?” Sindir Dinda secara halus.

Raina menghela nafas, berdebat dengan Dinda memang tak ada habisnya, salah satu diantaranya harus ada yang mengalah.

“Ya kalo itu mah masalah gua. Mau ke depannya gimana juga bukan urusan lu. Gua yang ngambil keputusan, gua juga yang harus terima resikonya...” Ia menjeda kalimatnya untuk melihat ekspresi Dinda.

“Sama kaya lu Dinda. Seharusnya lu udah tau apa resikonya ngebully Luna waktu itu. Sekarang Reyhan jadi benci sama lu kan? Ya itu karna kesalahan lu sendiri.” Sambung Raina.

Dinda terdiam. Ia meremas pisau yang ada di tangannya, ucapan Raina barusan memang benar faktanya, semua ini karena ulahnya sendiri.

Tapi mendengar kenyataan itu justru membuatnya semakin marah.

Dinda tertawa sembari tersenyum miring, “lo gak usah ceramahin gue, Raina.”

Ia melayangkan pisaunya ke arah Raina, untungnya saja gadis itu menghindar dengan cepat.

“Ehh Dinda jangan!” Raina membungkukkan badannya agar tidak terkena benda tajam tersebut.

Dinda menarik jaket yang dikenakan Raina hingga membuatnya terjatuh.

“Aduh.. kok gua jadi letoy gini sih?” Raina memegang punggungnya yang sakit akibat terbentur lantai lift.

Merasa mendapat kesempatan, Dinda pun segera mencekik Raina dengan kedua tangannya.

“L-lepasin gua...” Raina mencoba melepaskan cekikikan itu.

“Makanya jangan main-main sama gue.” Dinda tertawa puas.

“Fuck you, bitch.” Umpat Raina.

“Oh my god, I'm so shocked.” Dinda semakin mengencangkan cengkramannya. “You're so rude Raina. Kok Mahesa mau ya pacaran sama lo? Oh atau jangan-jangan... Lo gak jual diri ke dia kan?”

BRUK!

“HEH GUE GAK SERENDAH ITU YA! LO TUH YANG LONTE!” Raina baru saja menendang perut Dinda dengan sekuat tenaganya.

Dinda makin tertawa kencang, ia mengusap darah yang keluar dari mulutnya. Menurut Dinda tendangan Raina tadi cukup kuat sampai membuatnya seperti ini.

“Eh m-maaf Din. Udah ya, gua gak mau kita saling berantem gini. Lu liat kan ada CCTV, salah satu dari kita bisa masuk penjara.”

Raina menekan tombol lantai 68 agar mereka kembali ke Heshin Restoran.

“Salah satu dari kita itu... Gue kan maksudnya?”

Dia kembali mengarahkan pisaunya ke arah Raina, karena gadis itu lengah, alhasil ia terlambat untuk menghindar yang menyebabkan kakinya menjadi sasaran.

“Ouhh... Sshh... Lu—”

“Gimana Raina? Enak kan?”

“Akh... Shit!” Raina mencabut pisau yang menancap di kakinya. “Cu-cukup ya, udah puas kan lu nusuk gua?”

Jelas Dinda puas melihat Raina yang kesakitan seperti itu, tapi jiwa psikopatnya masih menggebu-gebu, ia ingin Raina lebih menderita lagi.

Dinda mengambil alih pisau yang berada di tangan Raina lalu mencoba menusuk bagian dada gadis itu.

Dengan sisa tenaganya, Raina menahan benda tajam tersebut menggunakan telapak tangannya.

Raina tidak peduli akan rasa sakit yang ia rasakannya sekarang. Yang terpenting, ia melawan dan selamat dari Dinda, ia tidak ingin mati konyol di tangan orang gila itu.

“Sadar Din, masih ada cara lain buat nyelesain ini semua.” Raina mencoba menasihati Dinda.

“Iya, caranya lu harus mati.” Dinda sudah kehilangan akal sehatnya.

“Anjing.”

“Hmm... gue jadi penasaran lo dibayar berapa sama Mahesa?”

BRUK!

Saking kesalnya Raina tanpa sadar mendorong Dinda hingga terjatuh. Tidak hanya itu, Raina juga menarik rambut Dinda lalu membenturkannya ke dinding lift.

“HAHAHA... Jadi gini sifat asli Raina? Sekarang kita liat siapa yang bakal masuk penjara?”

Karena kemarahan Raina sudah memuncak, ia pun terus membenturkan kepala Dinda berkali-kali hingga tak sadarkan diri.

Raina tersadar dengan apa yang telah ia lakukan pada Dinda, ia bisa melihat darah mengalir dari kepala gadis itu.

TING~

Pintu lift terbuka dan menampilkan keadaan dalam lift yang sangat kacau, terdapat bercak darah di bagian dinding dan lantai lift.

“Wih Raina, lo hebat banget bisa ngalahin Dinda!” Itu suara Jidan.

“Jidan tahan tombol liftnya!” Suruh Mahesa yang kini mulai mendekat ke arah Raina.

Raina tidak melihat ke arah depan lift, pandangannya masih fokus pada tubuh Dinda. Entah kenapa semua tubuhnya terasa lemas, bahkan mengucapkan satu katapun terasa sulit.

Semua orang yang berada di depan lift hanya bisa terdiam, mereka terlalu syok melihat hal ini secara langsung.

Hanya satu orang yang tersenyum miring melihat kondisi Raina sekarang, ia cukup puas dengan apa yang dilakukan Dinda terhadap Raina. Tapi kenapa gadis itu tidak mati saja sekalian?

“Raina? Hei Raina, sayang? Kamu gak apa-apa?” Mahesa mencoba meraih tangan Raina namun kekasihnya itu justru menjauh.

Raina melihat tangannya gemetar. Ia takut, ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak bertindak sejauh itu, bagaimana kalau Dinda...

“Raina, ini Mahesa...” Lelaki itu ingin membawa Raina ke dalam pelukannya, namun sekali lagi Raina tetap menjauhinya.

Raina mengangkat tangannya agar Mahesa tidak mendekat. Entah lah ia tidak ingin seseorang menyentuhnya sekarang. Ia merasa tangannya kotor karena dipenuhi darahnya sendiri dan juga darah orang lain.

“Raina, Mas lebih percaya kamu dibanding orang lain, Mas tau kamu gak salah.”

Raina menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca.

Mahesa mengulurkan tangannya secara perlahan, “Ayo kita keluar dari sini, kita obatain lukamu ya?”

“H-He...” Lirih Raina.

“Hm? Kamu mau Mas gendong?” Tanya Mahesa seraya mengusap lembut pipi kekasihnya.

Raina mengangguk.

Mahesa mencoba menyentuh tangan Raina. Kali ini gadis itu tidak menolak, hanya saja ia bisa merasakan tubuh Raina menegang dan gemetar. Pasti kekasihnya itu masih syok.

“A-aku...”

“Sstt... Gak apa-apa, ada Mas disini.” Mahesa tak tega melihat kondisi Raina yang mendapat banyak luka sayatan di bagian lengan dan kakinya.

Raina meringis ketika Mahesa mulai menggendongnya ala bridal style.

“Ngapa lo semua pada diem?” Mahesa menatap tajam mereka semua.

“Eeee... Syok bang, pacar lo keren banget masih bisa survive dari Dinda.” Ricky mengacungkan dua jempolnya.

“Iya malah Dinda yang tepar.” Juan menunjuk tubuh Dinda yang tergeletak di lantai.

“Gila Raina lu abis ngapain aja sama Dinda sampe kaya gini?” Jefran mau pegang tangannya Raina tapi malah di pukul sama Mahesa.

“Sumpah Ra, lu berasa ngelawan psikopat kek di film-film anjir.” Jidan yang masih setia menahan tombol lift itu sampai terkesima.

“Raina lo beneran gak apa-apa? Dinda ngelakuin apa aja sama lo?”

Raina menatap manik Anna cukup lama. Mungkin gadis itu nampak khawatir dengannya tapi Raina merasa ada sesuatu yang berbeda, semua yang Anna ucapkan terlihat berlebihan dan fake.

Namun, perasaan bersalahnya terhadap Anna mulai menghantuinya. Ia ingin meminta maaf pada temannya itu, hanya saja lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain.

“Udah lu pada gak usah nanya aneh-aneh, dia masih syok.” Ujar Mahesa.

“Iya maaf...”

“Hai guys ada apa nich? AAAAA... ITU KAN DINDA!?”

Daffa yang tak sengaja lewat seketika teriak, ia terkejut saat melihat keadaan lift yang cukup mengerikan baginya.

“Aduh bang Daffa gak usah teriak-teriak bisa gak sih?” Omel Juan karena Daffa berteriak tepat di sampingnya.

“Bang!? Panggil gue kak!” Daffa gak terima dipanggil bang, emangnya dia bang ojol apa.

“Kak Daffa rusuh ih!” Ricky kesel, pokoknya kalo ada Daffa pasti jadi heboh.

“Eh itu Dinda masih idup?” Celetuk Daffa

“Ya masih lah.” Balas Jefran, aneh-aneh aja dah pertanyaan Daffa.

Daffa makin terkejut saat melihat gadis yang sedang dibawa oleh Juan. “Itu siapa pula yang kau bawa? Pacar kau kah?”

“Iyaaa kak Daffa, diem dia lagi tidur.” Bales Juan menahan emosi.

“Eh ya ampun lu korbannya Dinda ya? Gila, lu diapain aja sama dia?” Daffa beralih untuk menanyai Raina sebagai korban utama.

“Lu liat aja kondisi dia, gak usah nanya lagi.” Sahut Mahesa dengan datar.

“Ih ya udah dong, santai, kenapa sih orang-orang sensi banget.” Daffa ngambil benda andalannya dari saku celana. “Btw, pokoknya gua harus live—”

“Gak usah ngelive-live lu!” Jefran menutup kamera ponselnya.

“Ih kak Jefran gak asik ah!” Daffa narik ponselnya terus dia masukin lagi ke saku celana.

“Eh kita udah cari kemana-kemana tapi Reyhan gak ketemu juga nih!” Terry yang abis keliling restoran bareng Kai langsung ngelapor ke Daffa.

“WOYYY ITU DINDA! ABIS KALIAN APAIN DIA!?” Kai nunjuk tubuh Dinda dengan histeris.

“Daffa, Terry sama Kai tolong bawa Dinda.” Perintah Mahesa.

“Lho kita baru juga dateng kak, masa udah suruh bawa dia.” Terry protes, enak aja main nyuruh-nyuruh begitu, kalo ada imbalannya sih gas.

“Iya capek tau kak abis keliling.” Kai pura-pura ngos-ngosan biar gak jadi dipilih.

“Mau diamond epep gak?” Tawar Mahesa, dia tau mereka semua kan maniak epep.

“Dih curang masa nyogoknya pake diamond epep, tapi oke lah, kuy kawan!” Tanpa pikir panjang, Terry langsung masuk ke dalam lift.

“Lah kok lu mau!? Tapi lumayan sih.” Kai otomatis ngikutin temennya itu.

“Sorry ya Daffa tidak tertarik dengan diamond epep, terima kasih.” Tolak Daffa lalu berniat pergi.

“Follower ig mau?” Yang ini pasti Daffa gak bakal nolak, selebgram macem Daffa mah butuh banget ginian.

“Oke minggir kalian semua, gue yang paling kuat disini!” Daffa masuk ke dalem lift dan nyoba ngangkat Dinda tapi kok berat ya, fix pasti kebanyakan dosa. “Woyy kok lu pada diem aja sih!?”

“Katanya lu yang paling kuat disini.” Sindir Terry.

“Ya tapi bantuin juga gila!” Omel Daffa.

“Juan sama Ricky lanjut bawa Bella ke kamarnya ya.” Jefran menepuk kedua pundak mereka.

“Siap bang Jefran!” Seru Ricky.

“Ih tapi Juan gak mau naik lift yang ini ah, serem banget banyak darah gitu.” Protes Juan, semua orang juga ogah kali naik lift itu.

“Ya udah naik yang sebelahnya sana.” Jefran nunjuk pintu lift yang lain.

Juan dan Ricky pun mengangguk lalu berjalan menuju pintu lift tersebut.

“Kamu mau ke kamar atau di Resto aja?” Bisik Mahesa.

Raina menunjuk ke dalam Restoran, ia ingin menghirup udara segar daripada berdiam diri di dalam ruangan.

“Oh oke. Jefran gua duluan ya.” Mahesa berpamitan pada Jefran.

“Eh anjir, gua ngikut dong. Jidan lu bantuin mereka juga ya.” Suruh Jefran sebelum mengejar Mahesa.

“Iya, ini gua juga udah bantuin dari tadi.” Ucap Jidan si penekan tombol lift.

“Eh Jidan, lu punya tisu gak?” Tanya Terry.

Tiga orang yang bertugas memindahkan tubuh Dinda itu sudah siap membawanya ke dalam Restoran.

Jidan memeriksa saku celananya, “ada kak, kenapa?”

“Ambil pisaunya dong, buat barang bukti itu, jangan lu pegang tangan langsung.” Terry menunjuk sebuah pisau lipat yang berlumpur darah di sudut lift.

“Oh iya sebentar.” Sebelum mengambilnya, Jidan sempat memergoki Anna yang sedang memandangi pisau tersebut. “Eh Annabelle, lu ngapa bengong?

Anna berjengit kaget, “Gak apa-apa, sini gua aja yang ambil pisaunya.”

“Eh jangan, mending gua aja, bahaya.” Jidan segera mengambil pisau itu dan membungkusnya dengan tisu.

“Oke, berarti gua diem aja.” Anna melipat dia tangannya.

“Eh Anna, mending lu bersiin nih lift.” Suruh Jidan.

“Dih ogah amat, bye!” Mendingan dia pergi daripada disuruh yang macem-macem.

“Yeh bocah malah kabur.”


Masih ingat dengan tugas Adya, Sean dan Haris?

Ya, mereka bertiga tengah menjalankan misi yaitu mengambil rekaman CCTV sebagai barang bukti kejahatan Dinda.

Haris mengintip dari balik dinding untuk memeriksa keadaan di sekitar ruang kamera pengawas.

“Sepi, kemana penjaga CCTV nya?”

Bukannya ruang keamanan seperti ini harusnya banyak yang jaga ya? Aneh sekali.

“Iya ya kok sepi?” Adya ikut mengintip dari balik tubuh Haris.

“Apa jangan-jangan ini semua ulah Dinda juga?” Pikir Sean.

“Bisa jadi.” Haris mengangguk. “Dia nyogok petugasnya biar pergi.”

“Masuk akal.”

Haris melangkahkan kakinya menuju sebuah pintu bertuliskan 'Secury System'.

“Eh coba kesana, kayanya itu ruangan operatornya dah.” Ia menunjuk ke arah pintu tersebut.

“Lo yakin itu ruangannya?” Tanya Adya meyakinkan, jujur dia rada takut masuk kesana.

“Iya yakin banget, udah sana cepet masuk.” Suruh Haris tanpa sadar.

“Kok gua sih!? Gua kan gak ngerti apa-apa soal ginian apalagi komputer, ini seharusnya tugas Raina.” Protes Adya, kalo dia yang ngutak-ngatik nanti malah rusak lagi.

“Iya tau, tapi sekarang kan Raina lagi di lift sama Dinda setan itu.” Haris juga gak ngerti soal komputer.

“Eh Sean lu ngerti gak soal komputer?” Tanya Adya pada kekasihnya itu.

“Lumayan.” Balas Sean sembari mengedikan bahunya.

“Lumayan apa nih? Yang jelas dong.” Adya kalo ngomong sama Sean tuh pasti bawaannya emosi.

“Ya lumayan bisa lah.”

“Nah bagus, coba lu salin file videonya ke flashdisk ini.” Adya ngasih flashdisk minion itu ke Sean.

“Oke siap.”

Sean akhirnya masuk ke dalam ruangan itu dengan santai, gak ada orang juga sih di dalem situ.

Dia pun duduk di salah satu kursi depan komputer, di cek lah itu komputer yang untungnya gak dikasih kata sandi, hoki banget deh mereka.

“Eh bentar coba liat CCTV di lift deh.” Adya mau tau apa yang terjadi sama Raina dan Dinda selama di lift.

“Bentar, mari kita liat cam 12.” Sean menggerakkan kursornya untuk melihat kamera yang merekam bagian lift. “Weh itu Raina sama Dinda kan ya?”

“MANA-MANA!?” Adya mendekat ke arah komputer.

“Iya bener itu mereka, anjir Dinda kok bawa pisau sih?” Haris syok ngeliat tingkah barbar Dinda, udah kaya orang kesurupan aja.

“CEPET COPAS FILE NYA SEAN! INI BARANG BUKTI BUAT LAPOR KE POLISI!” Adya mengguncang-guncang badan Sean.

“Iya sabar astaga, ini lagi gue salin, loading...” Sean menunjuk hasil kerjanya.

“Aduh gimana kalo Raina kenapa-napa?” Adya khawatir, tangannya bahkan sampai tremor.

“Udah kita berdoa aja semoga dia baik-baik aja.” Ujar Haris yang kini mulai berdoa.

“Aduhh lumayan gede lagi filenya.” Sean berdecak kesal, bayangin aja video berdurasi setengah jam itu ukurannya 5 gb.

“Kira-kira berapa menit selesainya?” Tanya Adya, dia makin gak tenang aja kalo gini.

“Mungkin 10 menit sih.” Perkirakan Sean.

“Eh itu Dinda nusuk kakinya Raina?” Haris menunjuk layar komputer.

“APA!? SERIUS LU!?” Adya langsung fokus sama layar komputer, bener aja apa yang dibilang Haris, dasar Dinda biadab.

“Wah ini termasuk tindakan kriminal sih.” Sean kembali menyalin beberapa file yang baru terekam itu.

“Dinda lu bakal berakhir di penjara abis ini—”

“HEY KALIAN!”

Mereka bertiga menengok ke arah pintu masuk ruangan, ternyata para bodyguard Dinda itu masih belum menyerah juga ya.

“Itu kan preman yang tadi, kenapa sih mereka kesini lagi?” Haris kesel. Dia kan capek berantem mulu, udah berapa kali mukul orang coba hari ini.

“Pasti disuruh Dinda lagi.” Adya memutar matanya.

“Adya, lo jagain filenya ya, kita lawan mereka dulu.” Sean menepuk bahu Adya. “Ayo Haris!”

“Woke sip, jagain ya Adya. Inget itu barang bukti!” Haris melambaikan tangannya.

“Eh kok jadi gua sih?” Adya bingung harus gimana, akhirnya dia duduk aja di kursi depan komputer. “Gua tinggal nungguin doang kan sampe filenya ke salin?”

BRUK!

Adya terkejut melihat Sean yang terjatuh menabrak meja di sampingnya.

“S-Sean!? Lo gak apa-apa!?” Adya panik, dia ingin menolong kekasihnya tapi dia takut file ini akan dicuri.

Sean berusaha berdiri walaupun terkena pukulan yang cukup kuat hingga membuat bibirnya sedikit terluka.

“Shh... Gak apa-apa, lo fokus aja sama filenya.” Sean tersenyum paksa.

“T-tapi Sean—”

Adya jadi tak fokus, baru kali ini dia merasa khawatir dengan Sean, dia takut bila lelaki itu akan kalah dan babak belur.

“Ayu fokus Adya bentar lagi filenya ke salin. Eh mampus kok berenti, jangan berhenti dong.” Adya makin panik, dia mencoba memukul komputer itu agar filenya kembali berjalan.

“Ayo maju!” Tantang Haris Dia mah gak takut lawan mereka, lagian mereka semua juga lemah.

Tapi anehnya para bodyguard itu masih berani ngelawan dia. “Oh masih belum nyerah juga ternyata, oke!”

Haris dengan segala kemampuan bela dirinya langsung menghajar mereka semua.

“Mampus kan lu! Ayo coba lawan lagi, masih berani?”

“A-ampun...” Ucap orang itu.

“Yeh gilaran dah sekarat aje lu ampun-ampun, udah sana pergi!” Usir Haris membuat semua bodyguard itu menyerah dan lari terbirit-birit.

Adya mengambil salah satu pot tanaman disana kemudian melemparkannya ke arah bodyguard yang sedang menyerang Sean.

Orang itu pun lengah dan berakhir mendapat tendangan maut dari Sean hingga pingsan karena membentur sisi meja.

“Makasih Adya!”

Adya langsung memeluk kekasihnya itu dengan erat, dia benar-benar takut melihatnya terluka.

“Lu gak apa-apa kan? Coba mana yang luka?” Dia menangkup pipi Sean.

“Gak ada, nih cuma di sudut bibir doang.” Sean menunjuk bekas lukanya.

“Sakit gak?” Adya mau menyentuhnya tapi gak berani.

“Gak kok, gini doang mah biasa.” Sean tertawa supaya Adya sedikit tenang.

“Udah ah jangan berantem lagi.” Omel Adya, dia memukul lengan kekasihnya.

“Iya, Adya.” Sean memeluknya karena gemas.

“Ehem... Masih ada gua lho disini.” Tegur Haris, berasa jadi nyamuk dia.

“Ya terus?” Adya menatapnya sinis, ganggu momen aja tuh orang.

“Gak, gak apa-apa. Gimana itu filenya udah ke salin?” Tanya Haris mengingatkan mereka dengan misi utama.

“Oh iya sebentar.” Adya melepas pelukannya dan memeriksa komputer itu. “Udah nih!”

“Bagus, ayo kita balik ke resto.” Haris menepuk tangannya.

“Naik lift aja ya, biar gak capek.” Sean pegel kalo naik tangga.

“Iya kita naik lift.”

“Yes, akhirnya naik lift!”


Azka dan Aletta kini sedang berjalan menyusuri koridor lantai 57 untuk pergi ke kamar No. 130, kamar yang ditempati oleh Reyhan bersama teman-temannya.

“Tapi aku gak yakin Reyhan ada di kamar.” Menurut Azka aneh aja gitu, masa yang punya acara malah enak-enakan di kamar kan gak masuk akal.

“Terus kamu yakinnya dia ada dimana?” Aletta berhenti berjalan, lagian capek juga dari tadi naik turun tangga.

“Ya dimana gitu.”

“Ya dimana? Kamu jangan bikin bingung dong.”

“Di hatimu.”

Aletta nutup matanya nahan emosi. Ini Azka belajar ngegombal darimana coba? Gak bener nih.

“Ngomong kaya gitu lagi gua gampar ya lo!” Ancamnya, tak lupa dia juga memberikan tatapan membunuh.

“Ampun Al, bercanda doang, serius amat sih.” Azka langsung panik, kirain kekasihnya itu bakal baper.

“Ini tuh antara hidup dan mati ye, kalo sampe temen lo kenapa-napa jangan salahin gua.” Aletta lanjut jalan ninggalin Azka di belakang.

“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Terus kenapa balik lagi jadi lo-gua, mending aku-kamu aja.” Azka cemberut.

“Makanya lo jangan mancing emosi.” Aletta kesel, ini tuh lagi serius malah bercanda mulu bocahnya.

“Kan biar gak sepi.” Jelas Azka, baru pertama kali juga dia gombalin Aletta.

“Hilih, udah tuh cepet buka pintunya.” Suruh Aletta saat mereka tiba di depan kamar 130.

“Iya sayang.”

Chuu~

Azka mencuri satu kecupan di bibir Aletta.

“Siapa suruh cium-cium?” Aletta masang muka datar, kelakuan Azka makin hari makin jadi aja.

“Itu hadiah, surprise.” Azka tersenyum lebar supaya kekasihnya itu tidak marah lagi.

“Kebanyakan belajar lo jadi oneng begitu.” Aletta menggelengkan kepalanya, ada-ada aja emang.

“Ih Aletta, gini-gini gua kan mirip Jake Enhypen.” Azka pede banget ngomongnya, ya walaupun omongannya itu gak salah juga sih.

“Heh ssttt... Buka cepetan.” Aletta udah pusing sama jalan pikiran Azka, dia cuma mau kelarin masalah ini terus pulang deh.

“Iya ini mau dibuka.” Azka merogoh saku jaket dan celananya. “Aduh keycardnya mana ya?”

“Jangan bercanda lagi.” Aletta melipat kedua tangannya.

“Sumpah gak bercanda, mana ya?” Azka kembali memeriksa sakunya satu per satu.

“Coba sini gua yang cari, lama lo mah.” Aletta narik jaket Azka biar lebih deket jarak mereka.

Gadis itu mulai meraba-raba setiap saku di jaket dan celana kekasihnya.

“Eh Al, ngapain?” Azka yang kaget sama tindakan Aletta itu jadi nahan nafas.

“Biar cepet, mang ngapa sih?” Aletta meriksa saku jaket dan celana Azka sampe dalem.

“Y-ya tapi—”

“Nih, ketemu kan.” Aletta berhasil mengeluarkan keycard yang ada di saku depan celana Azka.

Aletta pun segera membuka pintu No. 130 menggunakan keycard tadi.

“Sana masuk duluan!” Suruh Aletta menujuk ke arah dalam kamar.

“Harus banget gua yang masuk duluan nih?” Azka mendadak takut, entah lah perasaannya tidak enak.

“Iya, ini kan kamar lo, gak sopan kalo gua yang masuk duluan.” Ujar Aletta sambil mendorong tubuh Azka ke depan.

“Iya juga sih.” Azka akhirnya memberanikan diri untuk masuk lebih dulu.

Mereka berdua memasuki kamar tersebut dengan diam-diam. Baru saja menginjakkan kaki disana, mereka sudah disuguhi suara-suara yang aneh.

“Kak... pelan-pelan... akh...”

“Iya maaf, sebentar lagi masuk nih...”

“Al, denger sesuatu gak?” Bisik Azka, dia berhenti untuk mencari sumber suara itu.

“Denger apa sih? Jangan nakutin.” Aletta seketika merinding, tanpa sadar dia jadi meluk Azka dari belakang.

“Gak nakutin, coba denger deh.”

“Apaan sih?”

“Suaranya dari sana.” Azka menunjuk pintu kamar tidur.

Aletta menghela nafas, sejujurnya dia juga mendengar suara aneh tersebut, bahkan lama kelamaan suara itu semakin keras.

“Coba kesana.” Suruh Aletta, dengan suara pelan, dia belum mau melepaskan pelukannya.

“Yakin mau kesana? Kalo misalkan itu bukan manusia gimana?” Tanya Azka. Gak mungkin juga sih kalo itu hantu.

“Coba aja buka, siapa tau itu Reyhan.” Aletta tidak begitu yakin sebenarnya.

“Tapi ada suara cewek juga.” Ujar Azka, benar suara itu seperti pria dan wanita, apa yang mereka lakukan disana? Mencurigakan.

“Gua kek tau suaranya.” Aletta baru sadar, suara itu terdengar tidak asing baginya.

Dia melangkah maju dan membuka pintu ruangan itu. Pemandangan pertama yang mereka lihat sudah cukup untuk mengejutkan mereka.

Benar, sumber suara itu adalah Reyhan dan juga Shucy. Entah apa yang sedang mereka lakukan, posisi keduanya nampak ambigu bagi Azka dan Aletta.

“Al... i-ituu—”

“Ssttt... Iya gue liat, diem-diem.”

Aletta menutup kembali pintu itu dan menarik Azka menjauh dari sana.

“Tapi itu Shucy sama Reyhan, mereka—”

“Jangan bilang siapa-siapa, ssttt...” Aletta menempelkan jari telunjuknya di bibir agar kekasihnya tidak berisik.

“Terus gimana? Kita bukannya cari Reyhan ya? Ini Reyhannya udah ketemu sama temen lu juga lagi.” Azka bingung dan pusing, kenapa masalahnya jadi rumit begini sih.

“Aduhh... gimana ya?” Aletta juga tidak tau harus bagaimana, ingin menegur mereka tapi tidak berani. “Kita pergi aja yuk! Senggaknya kita udah tau Reyhan ada disini.”

“Oh oke.” Azka gak mau ikut campur, mending dia sama Aletta aja.

Mereka berdua akhirnya keluar dari kamar No. 130 dan menutup pintunya secara perlahan agar tidak ketahuan.

“BANG AZKA! HALO!” Seru Ricky mengagetkan mereka.

“Heh temen gua kenapa anjir ampe lo bawa-bawa kek karung beras begitu?” Aletta menyentuh tangan Bella yang terasa dingin.

“Tidur dia.” Ujar Juan.

“Kok bisa? Kobam yak? Ihh nyusahin orang aja deh lo!” Aletta mencubit pipi Bella, untungnya gadis itu tidak terbangun.

“Terus ini Bella kita taruh dimana? Kamarnya dikunci.” Tanya Ricky.

“Oh iya, nih keycardnya sama gue, ayo!” Ajak Aletta.

“Eh sebentar, gua mau ambil sesuatu di kamar.” Ricky mau buka pintu kamarnya.

“JANGAN!” Larang Azka dan Aletta.

“Loh kenapa? Gue mau ngambil hp tadi ketinggalan di ruang tv.” Ricky bingung, emangnya ada apa sih sampe panik begitu.

“Gua aja yang ambil ya?” Azka mengambil alih gagang pintu itu.

“Dih tumben banget lu bang mau ngambilin barang gua, mencurigakan.” Ricky menyipitkan matanya, fix ini pasti ada something.

“Iya ini gua lagi baik sama lo, bilang apa?”

“Apa?”

“Et bilang makasih kek gitu.”

“Oh iya, makasih bang Azka!” Ricky tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih.

“Ada apa sih di dalem? Gua jadi curiga.” Gumam Juan.

“Ih Ju!” Panggil Ricky.

“Apaan sih? Ngagetin aja lu!” Omel Juan.

Ricky membisikkan sesuatu pada Juan yang membuat temannya itu paham seketika.

“Oh iya bener juga!”

Ya, Ricky dan Juan memang sudah tau siapa yang ada di dalam kamar tersebut, mereka hanya pura-pura tidak tau saja.

“Ngapa lo berdua bisik-bisik?” Tanya Aletta.

Ricky dan Juan menggeleng.

Aletta membuka pintu kamar dan mempersilahkan mereka masuk lebih dulu.

“Ju, lo gendong Bella gak berat apa? Dia mah geret aja seharusnya.” Aletta kasian gitu ngeliat Juan bawa-bawa Bella, entah mereka naik lift atau naik tangga darurat.

“Iya tadinya juga mau gitu, tapi nanti gua di kira gak berperikebellaan.” Ujar Juan sambil nurunin kekasihnya di sofa.

“Gak apa-apa, itu lebih bagus. Aneh-aneh gak tadi dia?” Aletta yakin temennya itu pasti abis bikin ulah, apalagi sampe mabok begitu.

“Iya, tadi dia naik meja sambil ngedance gitu.” Sahut Ricky, kalo di inget-inget lucu juga sih, Bella yang keliatannya pendiem jadi kaya orang kesuru gitu.

“Untung gua gak disana.” Aletta mengelus dadanya lega, bisa malu berat dia kalo ada disana.

“Eh iya Al, tadi si Raina abis perang sama Dinda di lift.” Lapor Juan, dia tau Aletta belom denger soal ini.

“OH IYA RAINA DIMANA? GIMANA KONDISINYA!?” Aletta seketika panik, kenapa mereka baru bilang.

“Dia masih di Resto sama bang He, kondisinya berdarah-darah gitu.” Jelas Ricky, dia aja sampe merinding ngeliatnya.

“DEMI APA SIH!?”

Sedangkan Azka yang niatnya mau ngambil ponsel Ricky jadi harus menutup telinga ketika melewati kamar tidur.

“Dih ini hp-nya Ricky? Ngapa retak gini coba?” Azka mengambil ponsel itu dengan terheran-heran.

Tadinya Azka mau langsung cabut dari sana tapi berhubung dia itu anak baik. Ya udah dia jadi berinisiatif menasihati temannya.

“Lagian Satya juga kemana dah, apa jangan-jangan dia juga udah liat?” Gumamnya.

Azka menyiapkan mental untuk membuka ruang tidur tersebut dan...

CKLEK!

“REYHAN!” Seru Azka.

“Azka?” Reyhan beranjak dari tempat tidur, dia kaget banget ngeliat temennya itu main masuk aja tanpa ngucap salam atau ngetuk pintu.

“Kak Azka?” Shucy mengucek matanya pelan.

“Kalian abis ngapain? Hayooo...” Azka menatap mereka berdua intens.

“Oh antingnya Shucy tadi nyangkut di baju gua.” Jelas Reyhan dengan santai. “Pas gua bantu lepasin, antingnya malah ikutan copot. Ya kan?”

“Iya, terus kak Reyhan bantu pasangin ke telinga Shucy.” Ujar Shucy sambil megang antingnya.

“Mikir apaan lo?” Reyhan balik nanya ke Azka, muka temennya itu mendadak ceming.

Jadi, yang Azka denger tadi cuma salah paham? Dasar otaknya ini emang gak bisa diajak kompromi.

“Nggak, ya udah ayo kita balik ke resto.” Ajak Azka. “Btw lu pada udah tau belom kalo Dinda ada disini?”

“Dinda apa disini? Seriusan?” Reyhan mikir, ngapain coba itu orang ada disini, dia bahkan gak ngundang sama sekali.

“Ya serius, ngapain juga gua ngibul.”

“Ngapain lagi sih tuh anak?”

“Yang gua denger sih katanya dia mau ngasih racun di kue lu.”

Reyhan pengen ngakak sih denger kata-kata Azka, ada-ada aja dah kelakuan mantannya.

Segitu bencinya kah Dinda sampe rela ngeracunin dia? Mana bodoh banget lagi pake ketauan sama temennya.

“Terus dia sekarang dimana?”

“Mana gua tau, gua aja baru di bilangin sama Aletta.”

“Shucy, kamu disini aja ya, kakak harus balik ke resto, ini penting.” Ucap Reyhan sambil menepuk-nepuk kepala Shucy.

“Kakak beneran mau ninggalin Shucy?” Gadis itu cemberut. Dia gak mau sendirian disini, mendingan dia ikut dah.

“Nanti kakak balik lagi, sebentar aja.”

“Shucy mau ikut.”

Azka yang melihat interaksi keduanya hanya bisa menghela nafas. Ia memang tidak ingin terlihat dalam urusan mereka, tapi ia masih heran kenapa dua orang ini bisa dekat.

“Eh gini aja. Tadi Bella lagi dianter ke kamar lu, gimana kalo lu kesana juga?” Saran Azka.

“Mau pindah ke kamar kamu?” Reyhan mengusap lembut pipi Shucy.

“Mau!” Shucy mengangguk antusias.

“Kamu udah bisa jalan belum? Atau mau di gendong?”

“Gendong!”

“Ya udah yuk!”

Kali ini Reyhan menggendong gadis itu ala bridal style karena jarak kamar mereka hanya berbeda beberapa langkah saja.

Azka tersenyum canggung lalu berjalan mendahului mereka. Pikirannya mulai bercabang, bagaimana kalau Satya tau soal ini? Jadi mereka benar-benar putus atau tidak sih? Entah lah ia jadi makin pusing.

“Hai Aletta!” Sapa Shucy ketika melihat temannya itu.

Aletta jelas kaget melihat kehadiran mereka, bukannya mereka berdua sedang...

“Eh kok kalian kesini? Udahan?” Tanyanya spontan.

“Apanya yang udahan?” Reyhan bingung, dia gak ngerti maksud Aletta.

“Hmm... U-udahan jalan-jalannya?” Aletta tertawa canggung. Untuk apa pula dia menanyakan hal itu, dasar bodoh.

“Kita gak jalan-jalan.” Balas Shucy, dia memiringkan kepalanya lucu.

“O-oh...”

“Beb, mereka gak ngapa-ngapain kok, tadi yang kita denger dan liat itu cuma salah paham aja.” Bisik Azka biar Aletta gak malu-malu banget.

“Serius lo?” Tanya Aletta memastikan.

Azka mengangguk. “Iya mereka sendiri yang konfirmasi.”

Ya mereka berdua ada bener juga sih.

Siapa coba yang gak salah paham waktu ngeliat dua orang berduaan di kamar, mana ngeluarin suara-suara ambigu.

“Kak Reyhan turunin Shucy di kasur aja, Shucy ngantuk, mau tidur.” Shucy nutup mulutnya karna menguap.

“Oke, siap!” Reyhan membawanya ke arah kamar tidur.

“Kok mereka jadi deket gitu dah?” Aletta heran, perasaan temennya itu bucin banget sama Satya.

Azka mengedikan bahunya, “seinget gua sih Shucy udah putus sama Satya, mungkin sekarang dia pindah haluan ke Reyhan.”

“Bagus deh, gua lebih percaya sama Reyhan dibanding Satya.” Aletta jujur kok bilang gitu, emang dari awal dia udah gak yakin sama Satya.

“Bang, mana hp gua?” Pinta Ricky.

Azka memberikan ponsel itu. “Nih, itu hp lu apain dah sampe retak begitu?”

“Biasa bang, gak sengaja kebanting pas main epep.” Ricky mengambil ponselnya.

“Main epep mulu lu.” Sindir Azka. Mana si Ricky tuh jarang belajar, kalo main game kalah mulu, beban deh pokoknya.

“Eh mampus hp gua ketinggalan di meja resto!” Juan panik karna ponselnya gak ada di baju sama celananya.

“Ini lagi satu ketinggalan juga.” Azka nepuk dahinya.

Dasar masih muda udah kena penyakit pikun dini.

“Tolong ambilin dong bang. Masa Ricky lu ambilin gua kaga?” Juan narik-narik tangannya Azka.

“Gak ya anjir, itu jauh.” Kalo dia ngambilin ponsel Juan berarti sama aja dia kudu balik lagi kesini, gak gak gak.

“Pilih kasih lu bang. Biarin aja nanti gua aduin ke bang He.” Ancam Juan, emang tau aja dia kelemahan semua abangnya.

“Najis aduan banget.”

“Bodo.”

“Bareng kita aja Ju, kita juga mau ke resto abis ini.” Ajak Aletta, daripada ribut mulu kan itu dua orang.

“Nah betul.” Azka setuju.

Mari kita lihat apa yang terjadi di dalam ruang tidur, alias Reyhan dan Shucy.

“Dah ya beneran tidur, katanya janji mau tidur tapi kamu gak tidur-tidur.” Perintah Reyhan.

Masalahnya dari tadi Shucy gak jadi tidur terus, bahkan saat Reyhan meluk dia di kasur juga itu bocah masih kekeuh gak mau tidur.

Akhirnya mereka saling curhat tentang kehidupan masing-masing, walau yang satu serius dan yang satu lagi ngelantur.

“Nanti kalo Shucy tidur kak Reyhan pergi.” Lirih Shucy.

“Ini kakak mau pergi, kamu gak apa-apa kan kakak tinggal? Kalo ada sesuatu kamu telpon kakak aja, jangan telpon Satya.”

“Iya, aku telpon kakak aja.”

“Ya udah, tidur yang nyenyak.”

“Kak Reyhan...”

“Apa lagi?”

“Nggak, cuma manggil aja.”

“Shucy, maaf ya.”

Reyhan mencium kening Shucy dengan lembut. Ia sendiri tidak tau mengapa melakukan hal itu, ia hanya mengikuti nalurinya saja.

Meskipun ia tau Shucy bukan miliknya namun ia ingin melindungi dan menjaganya sepenuh hati.

“Kakak pergi ya...”

Shucy mengangguk, sebenarnya rasa mabuk di tubuhnya sudah sedikit menghilang.

Ia sadar apa yang dilakukannya dengan Reyhan mungkin salah, tapi ia juga tak mengerti kenapa ia malah diam saja dan menikmatinya.

“Udah yuk bro, balik.” Reyhan menepuk bahu Azka.

“Yuk beb.” Azka menggandeng tangan Aletta.

“Ricky, jagain Bella ya, kalo dia kenapa-napa biarin aja.” Pesan Juan sebelum pergi.

“Heh kok gitu?” Ricky mengerutkan dahinya.

“Gak apa-apa, dia bener kok.” Aletta menahan tawa.

“Canda Bella.” Juan mengacak-acak rambut kekasihnya. “Juan pergi dulu yaw, yuk bang!”

“Aneh-aneh aja dah bocah.”


“Polisinya kapan nyampe sih?” Tanya Kai, dia gabut banget dari tadi ngemper di lantai Resto.

“Paling 10 menit lagi.” Sahut Terry yang lagi ngambil makanan di atas meja, dia mah chill aja meski udah dilarang makan sama minum.

“Ini harus banget kita iket Dinda kaya gini?” Kai agak kasian sih liatnya.

Luka Dinda udah diobatin sama Daffa, abis itu badannya suruh di iket pake tali rafia.

Sekarang Daffa si pemberi ide malah ngilang gak tau kemana.

“Iya, biar dia gak berontak, mau lu tetiba di serang dia?” Terry ikutan ngemper di lantai setelah bawa sekitar 5 kue, laper dia cuy.

“Gak lah anjing!” Bisa mati muda yang ada.

“Ih kok kak Terry makan kue? Bukannya gak boleh ya.” Jidan yang belom makan sejak dateng kesini jadi kepincut.

“Emang gak boleh. Gua doang yang boleh makan soalnya gua kebal.” Terry makan salah satu kue di tangannya sambil godain Jidan biar ngiler.

“Ih Jidan kan juga mauu...” Gumam Jidan.

“Kue mulu pikiran lu!” Jefran ngejewer telinga adeknya. “Btw, lu kesini sendirian aja? Biasanya bareng si Haris lu?”

“Iya, gua emang bareng Haris, dia lagi ke ruangan CCTV sama Sean dan Adya.”

“Tumben gak ikut dia?”

“Gua disuruh Aletta ikut kesini, bang Je.” Jidan juga aslinya pengen ngikut mereka, siapa tau lebih seru.

“Kasian banget nasib adek gua hari ini.” Jefran makin ngakak aja liat muka melas Jidan.

Daffa berjalan menuju sebuah meja dekat pagar rooftop, disana duduk seorang gadis yang menjadi korban utama Dinda.

Ia menghidupkan kamera ponselnya dan mulai merekam video.

“Oke guys kembali lagi bersama Daffa disini, kita sudah melihat korban dari Dinda, bagaimana perasaan anda, Raina?”

Mendengar nama Dinda sukses membuat tubuhnya kembali menegang, ia takut jika benturan di kepala gadis itu terlalu keras hingga...

“Heh, jangan gangguin dia.” Tegur seorang lelaki yang baru saja datang membawa kotak P3K.

“Aduh kak Mahesa. Ini tuh buat berita di base, supaya datanya valid gue harus wawancara Raina dulu. Gak apa-apa ya pinjem pacarnya sebentar?”

“Gak ada, hapus tuh video.”

“Dih, kenapa sih orang-orang gak bisa di ajak kompromi.” Daffa mendumel kesal.

“Eh iya Ra. Bilangin cowok lu dong, kalo abis razia barangnya balikin aja pas pulsek, masa ditahan sampe lulus. Sayang banget liptint gua.” Bisiknya pada Raina.

“Apa lo bisik-bisik sama cewek gua?”

“Gak.” Daffa menggeleng lalu berbisik lagi. “Tolong bilangin ye.”

Setelah pengganggu itu pergi Mahesa pun duduk disamping Raina untuk mengobati luka kekasihnya itu.

“Kamu mau minum gak?”

Raina menggeleng, ia sedang tidak mood melakukan apapun.

“Ya udah kalo mau minum bilang ya. Boleh mas pegang tangannya?”

Raina menatap mata Mahesa. Ia bisa melihat pupil lelaki itu membesar, ditambah raut khawatir di wajahnya membuat Raina semakin merasa bersalah.

“M-maaf...”

“Hei, kamu gak salah sayang.” Mahesa mencoba menyentuh tangan Raina tapi dia malah menjauh.

Entahlah Raina hanya reflek, ia jadi sedikit takut dengan sentuhan, mungkin ia trauma karena perlakuan Dinda tadi.

“Baby... I won't hurt you, I promise.” Mahesa mengulurkan tangannya, ia harus memahami apa yang dialami Raina.

Akhirnya Raina menggerakkan tangannya dengan kaku, ia memejamkan matanya saat Mahesa berhasil menyentuh tangannya.

“You're gonna be fine, trust me.” Mahesa mencium lembut tangan kekasihnya.

“Wehh lu berduaan aja!” Jefran yang kepo sama hubungan mereka pun datang.

“Lu ngapain kesini sih? Ganggu aja deh.” Mahesa natep tajem temennya itu, kan dia niatnya mau berduaan doang.

“Tuh Ra liat, masa gua mau diusir, dasar tidak berperikemanusiaan.” Adu Jefran dengan dramatis.

Raina hanya tersenyum tipis melihat interaksi keduanya.

“Ck, daripada gangguan orang, mending lu ambilin gua minum dah.” Mahesa nunjuk meja bar yang gak jauh dari mereka.

“Heh! Jangan mentang-mentang gua wakil, lu bisa seenaknya nyuruh gua ya, gua bukan babu.” Jefran melipat kedua tangannya. “Lu liat sendiri kan Ra? Pacar lu sifatnya busuk banget.”

“Gak usah fitnah deh.”

“Ra, kok lu mau sih sama Affan? Bukannya dulu lu benci banget ya sama dia? Oh, lu pasti di paksa kan jadi pacarnya? Parah sih.” Jefran menggeleng sambil berdecak.

“Sok tau lu, pergi sana, hush... hush...” Mahesa berasa ngusir ayam aja, abisan kalo gak diusir bisa bahaya itu orang.

“Dihh bulol lu.” Sindir Jefran setengah julid. “Raina, gua pamit ye.”

“Dia emang anaknya gak jelas, gak usah didengerin.”

Raina memandangi Mahesa mengobati luka di telapak tangannya, terkadang ia meringis karena rasa perih akibat obat itu.

“Sshh.. pelan..”

Mahesa tersenyum, entah apa yang di pikirkannya, menurutnya Raina terlihat lucu ketika seperti ini.

“Iya ini pelan-pelan kok.” Lelaki itu kemudian menutup luka Raina menggunakan perban.

“Oh iya kaki mu juga kena ya? Besok kamu jangan masuk sekolah dulu.”

Raina menggeleng.

“Coba liat kondisi kamu. Emangnya kamu bisa jalan? Bisa nulis?”

Raina mengangguk.

“Gak ya, Mas gak izinin kamu sekolah besok, pokoknya kamu harus istirahat dulu.”

'Besok ada ulangan MTK woy, gua gak mau susulan sendiri.' Batin Raina kesal.

Mahesa lanjut mengobati luka di kaki Raina dengan perlahan.

Raina menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa perih yang semakin menjadi-jadi di kakinya.

“Jangan digigit bibirnya nanti berdarah.”

Mahesa menghentikan aktivitasnya, ia mengusap bibir Raina.

Mungkin jika gadis itu dalam mode seperti biasanya, ia akan langsung menyesap bibir bawahnya.

'Eh tapi gak ada salahnya kan?' Batin Mahesa.

Mahesa mencoba mempertemukan bibir mereka.

Raina yang menyadari hal itu langsung berjengit kaget dan memundurkan wajahnya dengan cepat.

“Kok ngejauh sih?” Tanya Mahesa kecewa.

“Ja-jangan gitu...”

“Terus Mas harus gimana?” Mahesa menggesekkan hidungnya pada hidung Raina seperti bayi.

Raina memejamkan mata. Pikiran dan hatinya tidak bisa bekerja sama, disatu sisi dia ingin marah tapi disatu sisi dia ingin berteriak.

“Kamu...”

“Hm? Apa apa?” Mahesa jadi semangat karena Raina mulai banyak bicara.

“Jauh-jauh...”

“Kenapa?” Bukannya menjauh Mahesa malah makin gencar mendekatkan wajahnya.

Raina tidak berkedip menatap Mahesa, meskipun wajahnya nampak datar tapi jantungnya tidak bisa berbohong.

“Aku takut...”

“Masa takut? Bukannya dari dulu kamu selalu berani nantangin Mas?”

Raina menunduk, bingung harus menjawab apa. Ia juga tak mengerti kenapa jadi canggung begini.

“Just a little bit, please...” Pinta Mahesa.

Raina menatap kekasihnya sekilas lalu memejamkan matanya erat-erat. Serasa diberi lampu hijau, Mahesa pun kembali mendekatkan wajahnya dan...

“BANG HE LIAT HP JUAN YANG KETINGGALAN GAK?” Pekik Juan mengagetkan mereka berdua.

Mahesa menghela nafas, gagal sudah rencananya. “Tadi Juan naronya dimana coba?”

“LUPAAA... AYO BANTU CARI BANG!” Juan menarik abangnya itu dengan paksa.

“Tapi—”

“Bantu.” Ucap Raina.

“Kamu gak apa-apa ditinggal sendiri?” Tanya Mahesa khawatir.

Raina mengangguk sambil tersenyum.

“Oke, mas gak bakal lama, kalo ada apa-apa kamu telpon aja ya.” Mahesa ingin mencium puncak kepala Raina tapi...

“AYOO CEPETAN BANG!” Juan gregetan sama abangnya, dia tarik aja lagi.

“Iyaa...” Mahesa pasrah, udah dua kali dia gagal gegara Juan.

“Hi Mahesa, Juan!” Sapa seorang gadis yang baru saja datang.

“Siapa ya?” Tanya Juan, dia baru pertama kali liat itu orang.

“Oh... I'm Rachel. Reyhan's cousin, nice to meet you Juan.” Gadis bernama Rachel itu mengulurkan tangannya.

Juan bersalaman dengan tangan Rachel. “Ohh... yes yess, I'm good!”

“Um.. Rachel, could you please take care of Raina for a minute?” Mahesa tidak tega meninggalkannya kekasihnya seorang diri.

“Yeah, sure.” Balas Rachel dengan senang hati.

Mahesa mengangguk, ia dan Juan kemudian lanjut mencari dimana ponsel milik adiknya yang hilang itu.

“Hi! You Raina, right? I'm Rachel.” Gadis itu duduk di samping Raina.

Raina awalnya merasa asing dengan orang ini namun setelah mendengar namanya, ia jadi ingat.

'Ini orang yang deket sama Mahesa itu ya? Cantik anjir mirip Ryujin.' Batin Raina kagum.

“Wait... what happened to you? Who did this?” Rachel terlihat syok melihat kondisi Raina.

Sedangkan Raina hanya mengamati wajahnya dalam diam. Toh lidahnya juga masih kelu untuk berbicara panjang lebar.

“Is there someone trying to kill you??” Tanya Rachel.

Jujur ia merasa iba dengan Raina, bahkan rasanya ia ingin menelpon ambulan.

“Who's that? Is that person here?”

Raina mengangguk lalu menunjuk ke arah meja dekat pintu masuk.

“Oh right, Dinda!” Rachel menepuk dahinya. “You have a problem with her??”

Baru saja Raina ingin membalas dengan anggukan, matanya menangkap seorang pria yang bertingkah mencurigakan.

“What?” Rachel menyadari pandangan Raina sedikit aneh.

Raina menggerakkan jarinya, menunjukkan seorang pria yang tengah menuangkan sesuatu pada minuman serta makanan di atas meja bar.

“What the hell is he doing? Okay, you stay here. I'm gonna check on him.” Rachel mencoba menghampiri pria itu.

“Hey, what are you do—”

Tanpa disangka, pria tersebut menikam perut Rachel dengan pisah yang dibawanya kemudian mendorong gadis itu sampai terjatuh.

Jika kalian bertanya, tidak adakah orang yang menyadari hal itu? Maka jawabannya tidak.

Semakin larutnya langit malam membuat suasana pesta ini tidak begitu terang, ditambah alunan musik dengan volume kencang jelas membuat semua orang tidak memperhatikannya.

'Oh shit, what the—' Batin Raina terkejut.

Kini pria itu menatap Raina, berjalan ke arahnya dan berkesiap untuk melayangkan pisaunya.

“N-no...” Raina menutup matanya. Ia hanya bisa berdoa, semoga saja ada yang menolongnya.

. . .

To be continued...


Mikir gak sih, nih cerita tempatnya disitu mulu kaga kelar-kelar?😭

Ya maklum ya, soalnya author pake banyak sudut pandang jadi lama juga kelarnya😗

Tapi part selanjutnya udah kelar kok, kira-kira nasib Dinda gimana ya?

P.s cerita udah mau mendekati akhir...😃

Tapi ngibul 🙏🏻

Seperti biasa silahkan kasih kritik dan saran atau pesan yang mau kalian sampaikan : https://secreto.site/id/23006578

___

#SweetBetrayal