LAST SCENE.

Zoro sampai 30 menit setelahnya ketika Sanji memilih duduk di trotoar yang sepi kendaraan, tempat ini memang dibuat khusus untuk pejalan kaki yang hendak menikmati udara pagi untuk berolahraga atau sore hari saat berkeliling dengan sepeda. Sanji memarkirkan sepeda miliknya di samping dia duduk sambil memainkan ponsel. Sudah banyak pesepeda yang berlalu lalang, biasanya akan mulai terlihat dari sabtu sore dan minggu pagi.

“Aku kelamaan ya?”

Sanji mendongak untuk mendapatkan Zoro yang berdiri di hadapannya dengan pakaian casual, yang justru sangat memberi kesan berbeda dengan apa yang ia lihat beberapa hari silam ketika Zoro menggunakan setelan jasnya. Ini kali pertama mereka berjumpa lagi sejak pertemuannya di MLR. Sanji baru tahu kalau Zoro ternyata berkacamata. Lelaki itu terlihat berkali lipat lebih rupawan dengan kharisma yang luar biasa dahsyat.

“Kamu kok pake jeans pendek, Jo?” Sanji memperhatikan penampilan Zoro dari atas sampai bawah sekali lagi.

Zoro segera berjongkok mendengar perkataan Sanji, wajahnya menatap heran lelaki yang kini tengah memeluk lutut itu. “Emang aneh ya, Jip?”

“Jip?” bukannya menjawab pertanyaan Zoro, Sanji justru terfokus pada panggilan dari Zoro yang ia dengar. “Apaan Jip?”

“Oh itu...” cicit Zoro. “Jipo, nickname buat kamu. Gapapa kan aku panggil Jipo?”

Sanji masih menatapnya heran, “Jipo artinya apa?”

Yang ditanya mengendikkan bahu, “lucu. Kalau kamu tanya aku dari mana asal kata lucunya, aku gak bisa nemuin soalnya yang lucu cuma kamu.”

Pipi Sanji langsung panas seketika, dia mendengus kecil dan memalingkan wajah. Ternyata begini rasanya salah tingkah. Meskipun Zoro bukan lelaki pertama yang dekat dengannya, tapi apapun perlakuan yang Zoro lakukan pada Sanji terasa seperti pertama kali untuk lelaki itu.

“Jo emang matanya minus ya?” tanya Sanji ingin tahu.

Si surai hijau itu memutuskan untuk duduk mendeprok di hadapan Sanji setelah menyingkirkan sepeda milik lelaki itu agak lebih jauh agar tak menghalangi jalan. Dia tidak segera menjawab, melainkan melepas kacamatanya dan mengaitkannya dibelahan kemeja yang satu kancing atasnya dibiarkan terbuka. Zoro menyisir rambutnya ke belakang.

“Satu-satu ya nanyanya,” Zoro terkekeh. “Aku mau jawab dulu yang kenapa lebih milih pake jeans pendek, walaupun kamu gak kelihatan butuh jawaban itu sih. Karena di rumah Mama cuma ini yang masih muat, jadi cuma setelan ini yang bisa aku pake. Terus kalau soal kacamata, aku memang ada minus, tapi jarang banget aku pake kacamatanya. Ini karena aku mau ketemu sama kamu aja, biar keliahatan lebih apa ya Jip... lebih ganteng kali?”

Mendengar penuturan singkat dari Zoro, tawa Sanji terlepas. “Percaya diri banget jadi orang?”

“Kalau mau deketin kamu itu emang harus punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi.” Zoro menyengir sampai matanya segaris, “soalnya biar gak gampang overthinking dan insecure.”

Sekali lagi tawanya terlepas lebih bebas dengan pemikiran Zoro yang di luar nalarnya. Sanji menangkup wajah lelaki itu dengan kedua tangannya dan mengombang-ambing pipi Zoro seperti bola, yang berakhir dengan cubitan kecil di hidung Zoro.

“Bisa aja sih ngomongnya...” katanya pendek, “Jo emang kelihatan lebih ganteng kalau pake kacamata sih. Tapi bukan berarti gak pake kacamata itu gak ganteng ya, cuma auranya beda. Kalau gak pake kacamata itu lebih... mendominasi?”

“Iya kah?” dahinya berkerut. “Berarti sekarang aku lagi mendominasi Jipo?”

“Gak gitu juga...” ujar Sanji rada merengut. “Maksudnya kalau lagi dalam keadaan tertentu.”

Zoro hanya mangut-mangut saja, tiba-tiba dia mengeluarkan sebungkus permen chupa chups rasa cokelat dari saku kemejanya dan hendak diberikan pada Sanji. Lelaki pirang itu tentu saja tak menolak, matanya langsung membulat dan berbinar.

“Suka chupa chups?” tanya Zoro membukakan bungkus permennya dan diberikan pada Sanji.

“Suka, apalagi yang rasa cola,” jawabnya polos seperti anak kecil. “Tapi aku suka semua jenis rasa chupa chups sih.”

Zoro memandangi Sanji yang tengah asik dengan permennya itu sambil menopang dagu dan tersenyum kecil. Ada perasaan lain yang tiba-tiba menjalari tubuhnya, seperti apa yang pernah Franky katakan beberapa hari lalu. Ada bagian dari diri Sanji yang ingin ia lindungi. Atau justru, eksistensi Sanji di dunia ini mungkin adalah hal yang sangat ingin ia lindungi. Segala hal tentang Sanji. Apalagi mengingat cerita yang juga Sanji paparkan perihal kisah cintanya. Zoro tak ingin menjadi bagian manusia yang membuat Sanji terluka. Zoro ingin menjadi bagian lain dari hidup Sanji, yang membuatnya tersenyum dan tertawa bahagia.

“Enak?” tanyanya ketika Sanji sudah selesai disibukkan oleh dunianya sendiri. Ibu jarinya mengusap ujung bibir Sanji yang agak lengket oleh bekas cokelat. “Maaf ya aku usap nodanya, biar gak lengket nanti di wajah kamu.”

Hati Sanji langsung terenyuh mendengar ucapan Zoro. Lelaki ini punya sopan santun yang tinggi kalau Sanji boleh bilang, dia tak sembarangan melakukan apapun terhadap tubuh orang lain. Dan ya, Sanji melupakan fakta kalau Roronoa Zoro anak dari seorang Dracule Mihawk, yang selalu menjunjung tinggi arti sebuah kesopanan dan tatakrama. Harusnya dia tak perlu kaget. Zoro dididik dengan sangat baik.

“Kita jadi mau sepedaan?” tanya Zoro lagi.

Sanji tampak berpikir dengan bibirnya yang mengerucut ke depan. “Boleh aja sih, aku mah ngikut Jo aja maunya gimana.”

Kepala Zoro menoleh kesana dan kemari. “Tapi di sini gak ada tempat penyewaan sepeda, Jip.”

“Pake sepeda aku aja!” seru Sanji sambil menunjukkan sepeda gunungnya dengan lirikan mata. “Dibuat bonceng Jo gak akan bikin meleyot kok.”

“Nanti diboncengnya gimana?” tanya Zoro.

“Terserah sih, mau depan atau belakang sepedaku serba guna,” jawab Sanji bangga.

Zoro diam sejenak memperhatikan bentuk sepeda milik Sanji dan akhirnya memutuskan. “Gimana kalau sepedanya didorong aja? Jadi kita jalan berdua sambil dorong sepeda. Gimana, Jip?”

“Jalan kemana?”

“Gak tau sih,” Zoro kehabisan ide, dia menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal. “Kamu mau ke taman gak sambil makan es krim?”

“Boleh,” Sanji langsung mengangguk. “Kebetulan di sini ada taman yang deketan sama minimarket.”

“Yaudah ayo,” Zoro bangun lebih dulu dan agak menjauh dari Sanji supaya debu-debu yang dia bersihkan dari celananya tidak mengenai Sanji. “Jipo ada tisu basah?”

“Ada,” balas Sanji mengeluarkan beberapa helai tisu basah dari tas selempangnya yang sejak tadi dia pakai dan memberikannya pada Zoro.

Zoro menerima helaian tisu basah itu dan tersenyum kecil, “makasih ya.”

Dia membersihkan kedua tangannya yang lumayan kotor oleh debu memenpel secara keseluruhan. Lantas mengantongi sampah bekasnya ke dalam saku celana karena di sekitar mereka tak ada tempat sampah. Kemudian tangan Zoro yang tentu saja sudah bersih dari kotoran, terulur ke hadapan Sanji yang masih duduk di atas trotoar sambil memeluk lutut.

“Kenapa Jo?” tanya Sanji sambil mendongak.

“Mau dibantu bangun atau bisa sendiri?”

Sanji terkekeh, dia menerima uluran tangan Zoro. “Kamu tuh emang sebaik ini ya Jo?” celetuk Sanji ketika keduanya sudah sama-sama berdiri dan bersiap hendak pergi ke tempat tujuan yang sudah mereka tentukan.

“Sebaik ini gimana?” alis Zoro bertaut heran.

“Perlakuan kamu... ke semua semua orang tuh memang selalu sebaik dan selembut ini?”

“Enggak tuh,” Zoro mengendikkan bahu sembari menyahut santai. “Gak ke semua orang. Karena gak semua orang pantas dibaikin dan diperlakuin lembut.”

“Oooo... gitu.”

Si lelaki yang lebih tua itu mengambil alih sepeda Sanji yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri dan mulai mendorongnya seiring mereka berjalan berdampingan. Sanji sudah menawarkan kalau tak apa dia saja yang membawa sepedanya. Tapi Zoro yang keras kepala keukeuh dengan keputusannya. Akhirnya Sanji hanya bisa menghela napas tak enak.

Butuh waktu sekitar 10 menit kalau berjalan kaki untuk sampai di sebuah minimarket yang berdekatan dengan taman. Zoro tak masalah dengan hal tersebut. Toh dia senang saja, karena bisa berdekatan dengan Sanji lebih lama.

Udara sore ini lumayan sejuk, mungkin karena matahari juga sudah siap tenggelam di ufuk barat dan burung-burung mulai pulang ke rumah masing-masing, jadi suasananya lebih tenang dan adem. Zoro bersama sepeda milik Sanji berjalan di bawah trotoar, sementara Sanji berjalan di atas trotoar dengan langkah bersilang-silang zigzag dan kedua tangan direntangkan seperti anak kecil. Zoro yang melihat tingkah kekanak-kanakan Sanji itu tertawa.

“Kamu lebih suka es krim apa?” tanya Zoro sambil menoleh ke arah si pirang yang menatap lurus ke depan.

“Semua jenis aku suka,” jawab Sanji.

Zoro kembali mengangguk. Pandangan matanya tak lepas barang sedetik dari Sanji. “Jipo mau digandeng gak? Nanti jatuh kalau jalannya gitu.”

Si yang lebih muda menoleh, “Jo mau gandeng?”

“Iya, boleh gak?” kata Zoro sambil tersenyum, “tapi kalau gak mau sih ya—”

Ucapan Zoro terputus ketika Sanji tanpa sepatah kata meraih tangannya yang tengah mencengkeram gagang sepeda untuk digenggam. Tangan Sanji yang lebih kecil tenggelam dipeluk jari-jemari Zoro yang besar dan gagah. Dia sempat membeku sejenak sebelum kembali berjalan dan mendorong sepeda milik Sanji dengan satu tangan.

Mereka seperti sepasang remaja yang sedang dimabuk asmara. Menikmati hari-hari penuh kasih sayang dan cinta. Tangan mereka yang saling menggenggam itu Sanji ayun-ayunkan ke udara sambil terus berjalan menuju minimarket yang sudah di depan mata.

“Aku suka genggam tangan Jo,” ujar Sanji.

“Suka karena apa?”

“Tangan Jo dingin dan lembut,” balasnya jujur. Sanji menoleh hanya untuk menemukan wajah Zoro yang sedikit berseri, dia tersenyum. “Bikin nyaman.”