LAST SCENE.

Saat Zoro tiba di apartemennya beberapa menit lalu dengan dua plastik sedang berisi cemilan dan minuman, Sanji mempersilakan lelaki itu masuk menjelajahi ruang apartmenennya yang selalu bersih. Untuk ukuran seorang lelaki yang setiap hari bekerja dan jarang ada di rumah, apartemen berukuran sedang yang diisi oleh 1 kamar, ruang keluarga, dapur dan kamar mandi ini cukup sejuk. Bukan pertama kalinya bagi Zoro singgah di apartemen milik Sanji, dia sudah pernah ke sini beberapa minggu lalu. Tapi rasanya tetap takjub.

Finding Nemo menjadi film yang akan mereka tonton hasil dari kesepakatan berdua. Zoro sudah duduk di karpet permadani yang lembut dan bersandar pada sofa setelah mengeluarkan semua cemilan yang dia beli. Sanji kembali ke ruang tengah setelah menyiapkan air dingin dan beberapa cup es krim yang tadi juga sempat ia beli. Keduanya sama-sama duduk di karpet permadani, berdampingan bak seorang kekasih yang tengah menghabiskan sisa waktu akhir pekan dengan canda gurau.

Film sudah terputar hampir 1 jam, Sanji masih fokus menonton dengan mulut yang penuh oleh cemilan. Zoro memperhatikannya dengan senyum kecil. Rasanya benar-benar menyenangkan meski hanya duduk berdua tanpa suara. Tanpa kata. Hanya gemuruh dari televisi yang mengisi kesunyian mereka. Menyeludupkan rasa hangat dan kebahagiaan diam-diam.

“Jipo bahagia gak?” tanya Zoro tiba-tiba, membuat Sanji langsung menoleh.

“Bahagia,” dia membalas. “Kalau Jo gimana? Bahagia gak?”

Zoro mengangguk, “bahagia. Aku selalu bahagia.”

Ucapan sederhana yang membuat hati Sanji menghangat.

“Aku mau ngomong sesuatu sama Jipo.” Katanya lagi, “boleh?”

Sanji mengambil remote tivinya dan membuat ikan-ikan yang sedang berenang membeku di tempat. Pandangannya fokus ke arah Zoro. “Mau ngomong soal apa?”

Just a... storytelling maybe?” kata Zoro tidak yakin. “I think you need to know about this.”

Sanji mengangguk paham. “Go ahead then, I will listen.”

It's gonna be a long story.” Zoro memulai ceritanya. Dia berhadapan dengan Sanji yang kini menatapnya lembut. “Dulu, aku pernah punya teman kecil, namanya Kuina. She was so beautiful. A good friend and rival. Aku dan Kuina kenal karena kami besar di lingkungan yang sama, karena Bapak dan orangtuanya Kuina juga dekat. Aku latihan karate dan pedang di dojo Ayahnya Kuina. Kami tumbuh besar bareng-bareng, sampai pas masuk SMP aku baru tahu kalau Kuina punya adik kembar, namanya Tashigi, yang aku bilang tadi pagi ngajak aku pergi jalan-jalan.”

Zoro memberi jeda pada ceritanya. “Kami bertiga akhirnya berteman. Tapi aku lebih sering ketemu sama Kuina di dojo dibanding Tashigi, dia gak suka karate dulu. Karena keseringan barengan sama Kuina, untuk ukuran anak SMP yang baru puber, I found my first love, Sanji. It was her.

Napas Sanji tertahan di udara yang lengang.

“Tapi Tuhan mungkin punya rencananya sendiri,” lanjut Zoro lagi. “Aku baru tahu dari Bapak kalau Kuina kena leukimia sejak kecil. Tapi kedua orangtuanya nutupin. Bahkan pas Kuina meninggal, orangtuanya tetep nutupin semuanya dari aku. Jadi kalau bapak gak bilang gitu, aku gak akan pernah tahu sebab apa Kuina meninggal. Dan yang paling hancur adalah Tashigi. Kuina wanted to be a doctor. Dia mau nyembuhin semua orang yang sakit. Tapi niat baiknya mungkin memang belum bisa terkabul. Untungnya dia punya adik yang baik kayak Tashigi. Tashi mau jadi angkatan laut dulu, tapi kata Tashi, pesan terkahir Kuina sebelum dia meninggal, Kuina mau Tashi jadi dokter.”

Suasana larut dalam kesedihan yang cukup dalam dan panjang. Raut wajah Sanji juga tak bisa ditutupi kalau dia terhanyut dalam bayang-bayang Kuina. Dia mengepal tangannya sendiri.

“Setiap sebulan sekali aku selalu datang ke makam Kuina untuk jengkuin dia. Kapan-kapan aku kenalin Jipo ke Kuina.” Zoro memaksakan senyum tipisnya. “Kuina pasti seneng ketemu sama kamu.”

Do you still love her?” Sanji kesusahan menelan salivanya. Takut menanti jawaban apa yang hendak Zoro berikan. Mengingat bahwa cinta pertama adalah abadi.

I do,” cicit Zoro pelan. Manik mata mereka saling beradu-padu, mengalirkan sebuah degup jantung yang berantakan. “Kuina still has a place in my heart.”

Hening sejenak. Tidak ada lagi yang berbicara. Sanji menahan napasnya lebih dalam. Zoro masih terus menatapnya tanpa lepas. Sanji takut kalau airmata yang tengah ia bendung di kelopak matanya itu hancur. Sanji takut. Dia memilih menunduk.

Look at me, Jipo,” kata Zoro dan Sanji menurut. Bola matanya yang sebiru laut dan indah itu menatapnya sedih. Zoro melanjutkan kalimatnya. “But you already live in me, Sanji.

You already live in me.

You live forever in me.