Abadi

tw // major character death , loss of a lover , angst


Shoyo, apa kabar?

Terakhir kudengar adalah semangat dan ambisimu tentang medan perang di olimpiade. Ketika itu, meski sebatas suara, kudapat lihat parasmu, bagai sabit di antara cerahnya sinar baskara. Berkobar-kobar, kau menjanjikan menang. Aku percaya sebab kesungguhanmu berapi garang. Kau tak ada dua.

Namun, hari itu kau tak lagi emas, perak, atau perunggu. Belum sempat bertempur, belum sempat pula menggenggam jaya. Hari itu kau tak jadi yang pertama atau kedua. Kau tiada.

Jangan khawatir, teman-temanmu hebat. Mereka selalu menepati janji 'tukmu, mendengarkan katamu, dan mewujudkan citamu. Isak mereka menyatu dalam dua sebab; antara menang di pundak atau duka di lubuk.

'Ku di sini pula, tak ingin kalah hebatnya. 'Ku juga ingin kau banggakan. Jadi, pena hitam di antara ruas jemari tak lelah kuguratkan pada halaman putih—yang nantinya kuisi frasa dan klausa tentang rasa, asa, juga Shoyo Hinata.

Kuingat pintamu satu: tuliskan tentangku dalam kitab kecilmu. Kalau kuturuti, habis sudah tak bersisa seratus lembar ini. Diisi penuh dengan pelbagai hal, dari yang paling berkesan hingga hal remeh tak berarti—ah, tetapi segalanya tentangmu selalu bernilai.

Lalu, pintamu kedua: menulislah sambil mengingatku, meski isinya bukan diriku. 'Ku bingung. Bukankah nanti jadi tak fokus karena telanjur penuh denganmu? Kau terbahak atas ungkapanku. Benar, bisa-bisa kukekehkan tawa kala menulis bait luka karena kelakarmu teringat di kepala. Bisa-bisa kulengkungkan bibir saat kutulis cerita gembira karena sedihmu mengingatkanku pada juangmu yang tak berujung.

Santai, Keiji. Menulis dengan hati, tak perlu pusing-pusing, apalagi sampai pijit kening.

Padahal, terkadang yang rumit justru kau. Mampir tak tahu waktu dan tempat ke dalam benak, mengusik konsentrasiku seenak-enak. Namun, karena demikian, artinya kau tetap bersarang di tempatku. Kau 'kan berkemah di otakku, melempar bisik-bisik lembut atau nyanyian parau; kubiarkan kau menetap di dalamnya.

Sembari menunggu detak pada detikku habis, 'kan kuhabiskan tinta hitam ini dengan sebaik-baiknya; 'kan kudekap erat buku-buku cinta yang kucipta.

Agar kelak ketika menjumpamu, kupunya banyak yang bisa dibagi bersamamu. 'Kan kuutarakan aksara tak bersuara sepanjang hari, di atas permadani biru—sampai kau mengerang jemu.

Meski kau tak lagi terlihat; tak lagi nyata, kau tetap ada. Kau ada, Shoyo. Kau hidup. Dalam kalbu tiap-tiap orang yang masih memiliki kasih untukmu; yang masih dilanda rindu akan eksistensimu. Aku salah satunya.

Pula, aku yang akan menghidupimu lewat susunan fonem monokrom yang kuuntai satu-satu karena tangisku pun perlu cerita, kenestapaan ini perlu warna.

Meski kau tak terlihat lagi, tetapi menangmu tak berhenti, semangatmu tak mati, dan cintamu 'kan abadi.

— Keiji, di hari ke-500 mengenangmu.