Childish ; akahina

Memiliki Shouyo sebagai pacar adalah salah satu hal terbaik dalam hidup Keiji. Pacarnya itu menggemaskan dengan rambut oranye yang sedikit panjang, pipi bulatnya seperti bakpao, dan suara khas yang nyaring tidak pernah membuat Keiji bosan. Shouyo selalu memiliki sisi periang yang tak pernah absen di kesehariannya. Senyumnya manis saat mendongeng panjang lebar dengan sifat manjanya yang sudah melekat pada diri Shouyo.

Keiji hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Shouyo mulai merengek manja atau bergelayut di lengannya, seperti ketika sedang berkencan di salah satu taman hiburan. Tiba-tiba di tengah jalan pacarnya minta digendong di punggung, padahal Shouyo terlihat baik-baik saja. Keiji sampai menolak dua kali karena malu, tetapi Shouyo malah merajuk. Lain waktu saat Shouyo merengek meminta Keiji datang ke rumahnya, padahal ia sedang menyiapkan bahan presentasinya besok. Ujung-ujungnya, Keiji mengalah dan terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah Shouyo. Keiji adalah manusia yang paling tunduk pada Shouyo, pacarnya.

Persis dengan yang terjadi saat ini di flat Keiji. Namun, kali ini Keiji memilih untuk tidak luluh. Ia seharusnya tidak mengajak Shouyo untuk mampir hari ini kalau ia tahu pacarnya akan ia anggurkan selama hampir dua jam. Tanpa melihat wajahnya pun Keiji sudah tahu Shouyo sedang menatapnya sengit sambil melipat kedua tangan di dada. Namun, kali ini ia tidak bisa untuk sekadar diajak bicara oleh pacarnya.

“Kak Keiji.”

Entah sudah ke-berapa kalinya panggilan tersebut diucapkan, tetapi Keiji masih bergeming. Ayolah, tugas di hadapannya saat ini jauh lebih penting. Sialnya lagi, tenggat lomba esai yang Keiji ikuti adalah lusa dan ia belum mengerjakan setengahnya. Keiji tidak ingin menumpuk kewajibannya, jadi ia ingin cepat-cepat menyelesaikannya, sedangkan kepalanya akan pecah sebentar lagi.

“Kak, kerjain tugasnya bisa nanti, 'kan?”

Nggak.

“Kak ....”

Keiji menghela napas. Tanpa mau repot menengok, Keiji membalas, “Nanti. Ini nggak bisa ditunda.”

Shouyo makin kesal mendengarnya. “Tapi, aku?”

Laki-laki berkacamata itu kembali tidak menggubrisnya. Dengan begitu, Shouyo memulai aksinya dengan menarik-narik ujung kaus Keiji dan merengek agar konsentrasi pacarnya buyar. Keiji mengerti Shouyo sudah bosan karena selama dua jam ia sudah melakukan banyak hal: membaca komik yang ada di rak buku, menonton televisi, mengunyah camilan yang ia ambil dari kulkas, sampai berleha-leha di kasur. Akan tetapi, prioritasnya sekarang bukan Shouyo.

“Shouyo, kalau udah selesai, nanti aku ladenin kamu.”

“Udah dua jam! Lama banget, Kak!”

Keiji hanya bergumam seolah tidak peduli lagi dengan apa pun yang Shouyo katakan. Ia gagal membuyarkan fokus pacarnya itu. Shouyo berdecak dan tanpa berpikir seribu kali, ia menutup laptop yang sedang Keiji gunakan.

Keiji terbelalak dan siap melayangkan protes kepada Shouyo. Namun, Shouyo lebih cepat menjabarkan alasannya.

“Kita ngobrol nggak nyampe sepuluh menit, terus tiba-tiba Kak Keiji buka laptop ... terus aku mulai dicuekin. Emangnya aku nggak bosen? Aku ajak ngobrol juga Kakak diem aja.”

“Ugh,” Keiji memijat batang hidungnya. Kepalanya pening, dalam hati memohon Shouyo agar mengalah sekali saja. “Aku tadi baru inget kalo masih ada yang harus aku kerjain. Aku nggak mau nunda-nunda, jadi—”

“Terus akunya dicuekin? Nggak bisa gitu sambil ngobrol atau apa? Baru kali ini Kakak nyuekin aku.”

Apa?

Keiji gemas sekali mendengarnya sampai ingin berteriak. “Ya, nanti kalau—”

“Kalau gitu, Kakak nggak usah ajak aku ke sini!”

“Ya sudah, lebih baik kamu pulang kalau kamu nggak bisa sekali aja ngalah!”

Fatal. Keiji meledak. Shouyo tidak berkutik.

'Kay. Mending aku pulang daripada ganggu.”


Lelaki berkacamata itu nyaris terjaga semalaman mengerjakan semua tugas dan esai yang belum selesai dengan usaha menyingkirkan pikiran negatifnya mati-matian. Setelahnya, ia tetap tidak bisa memejamkan mata. Keiji memikirkan bagaimana cara untuk mengajak bicara Shouyo—setidaknya, meminta maaf. Keiji kalut. Mereka jarang bertengkar karena selama ini Keiji berusaha memenuhi permintaan Shouyo; karena selama ini Keiji pikir asalkan Shouyo merasa senang. Ia yakin ia tidak sepenuhnya salah di sini, tetapi tidak seharusnya ia berbicara seperti itu. Kejadian kemarin tidak dapat dihindarkan, itu di luar kendalinya.

Bahkan sampai esok pagi dan sampai kelas Keiji berakhir di sore hari, Shouyo belum memberi kabar. Pun Keiji tidak berusaha bertanya. Dengan perasaan yang masih gundah, ia berjalan ke depan gerbang beriringan dengan beberapa temannya.

Tiba-tiba, salah satu temannya menyikutnya. “Pst, Akaashi.”

Keiji hanya memberikan tatapan ada-apa tanpa suara.

“Ada yang nyariin kamu kayaknya.” Temannya itu mengedikkan dagu pada seseorang yang terlihat menatap ke arah mereka—atau lebih tepatnya, memandangi Keiji.

Shouyo?

“O-oh. Kalau gitu aku duluan, ya.” Keiji segera pamit dan menghampiri Shouyo yang berdiri tak jauh dari tempat Keiji dan teman-temannya melihat tadi.

Ia mendapati Shouyo berpakaian rapi—sudah ganti seragam—dengan tas selempang yang disandangkan di bahu. Keiji mengernyitkan keningnya.

Tunggu, hari apa ini? Rabu?

Keiji baru teringat. Kemarin lusa ia janji akan menemani Shouyo beli sepatu voli yang baru. Ia pikir Shouyo akan membatalkannya lantaran mereka sedang perang dingin. Diam-diam merasa gugup harus membuka konversasi seperti apa setelah bercekcok kemarin.

“Kakak nggak lupa kita ada janji hari ini, 'kan?” Tidak disangka Shouyo memulai pembicaraan dengan santainya seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Keiji hanya menggeleng kecil, masih bingung dengan sikap Shouyo.

Di tengah perjalanan, Shouyo menyeletuk, “Kak.”

“Ya?”

“Tadi yang bareng sama Kakak itu temen-temen Kakak?”

“Oh, iya.”

“Mereka ... tau aku? Tau kita?”

Keiji terdiam sebentar. “Mmm ... nggak, sih.”

“Kakak nggak ngasih tau mereka?”

“Soal?”

“Soal 'kita'.”

Keiji merasa ambigu. “Soal ... kemaren?”

“Bukan. Maksudku, hubungan kita. Aku sama Kak Keiji, pacaran. Kakak nggak ngasih tau temen-temen Kakak?”

Keiji semakin bingung dibuatnya, tetapi ia berusaha tetap menjawab pertanyaan Shouyo. “Nggak ... Mereka nggak tau.”

Hening.

“Kenapa?”

Kenapa apanya?

“Kenapa nggak ngasih tau?” lanjut Shouyo.

Ada apa sebenarnya dengan anak ini?

”... Ya, nggak ada alasan. Mereka nggak perlu tau juga. Toh, hubungan kita nggak diketahui banyak orang selama ini.”

Memang benar. Selama setahun berpacaran, hanya ada sebagian kecil saja yang tahu perihal ini. Keiji pun merasa tidak perlu mengumbar-umbar hubungannya dengan Shouyo.

“Ada apa, Shou? Kenapa kamu tiba-tiba nanya gini?”

Shouyo mengangguk cepat sambil menyunggingkan senyum tipis. “Nggak apa-apa, Kak.”

Bohong kalau Keiji tidak merasa sedikit lega ketika Shouyo berbicara “normal” dengannya hari ini. Meskipun terdapat perbedaan yang kentara darinya: jauh lebih diam dan tidak berisik. Sejujurnya Keiji tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran Shouyo, terlebih dengan sikapnya yang seperti ini. Ia tidak tahu apa yang Shouyo rasakan terhadap dirinya.

Keiji akui ia pengecut. Ia ragu untuk sekadar mengucap kata maaf padahal tadi ia menyungging “soal kemarin”.

“Shouyo, abis beli sepatu mau mampir?”

Pacarnya itu menoleh cepat dan menatap Keiji yang lebih tinggi darinya.

Keiji tersenyum simpul, “Kali ini kita ngobrol banyak, 'kok.”


Shouyo sudah duduk dengan mug berisi teh hangat di tangannya. Mereka sampai di flat Keiji lima belas menit yang lalu dan sampai sekarang mereka belum berani angkat bicara.

Keiji menarik napas dalam. Ia tidak bisa diam saja walaupun mungkin masalah kemarin terdengar sepele.

“Shouyo.”

“Kak.”

Berbarengan.

“Kamu dulu, Shou.”

Rupanya Shouyo tidak mau membuang kesempatan ini. “Kak, maaf.”

Si kakak sedikit terkejut dengan pernyataan Shouyo. Maaf? Bukankah dirinya yang seharusnya berkata seperti itu?

“Maaf— untuk kemaren dan kemarennya lagi. Maaf untuk semuanya dan selama ini.”

Keiji memotong perkataannya cepat sebelum Shouyo bicara lebih membingungkan dari ini. “Bentar, bentar. Maaf ... apa, Shou? Kenapa kamu minta maaf? Yang kemaren salah itu ... aku, 'kan?”

“Kakak selalu bilang sayang aku, aku juga sayang Kakak. Tapi, aku ternyata nggak bisa jadi pacar yang baik, ya, Kak? Aku ... mungkin terlalu ngerepotin Kakak dan nggak bisa diandalkan.” ucapnya. “Kata-kata Kakak kemaren, aku kepikiran terus. Emang bener aku nggak pernah ngalah, manja, egois. Aku nggak pernah mikirin posisi Kakak. Maaf. Kakak pasti capek, pasti malu ... pacaran sama aku yang masih anak SMA dan kekanak-kanakan ini.”

Shouyo mendudukkan kepalanya sambil menggenggam erat gagang mug. Kemudian, tidak ada suara lagi setelah Shouyo.

Keiji? Tentu saja kaget bukan kepalang. Ia tidak menduga hal ini: satu kalimat yang ia tak sengaja utarakan kemarin berdampak sebegini besar untuk Shouyo. Matanya masih terpaku pada pacar di sebelahnya yang masih tertunduk. Dari mana pikiran-pikiran gila itu datang pada Shouyo? Lelah? Malu?

“Shouyo ....”

Tidak menjawab.

“Shouyo, angkat kepalamu. Sini liat aku.”

Perlahan si rambut oranye itu mendongakkan kepalanya dan menatap Keiji dengan tatapan sendu.

Tangan Keiji menangkup kedua pipi pacarnya yang seperti bakpao menurut Keiji. “Shouyo?”

“Ya?”

Lelaki yang lebih tua tiga tahun itu tersenyum seraya menempelkan kedua dahi mereka. “Jangan bilang kayak gitu lagi.”

Shouyo menundukkan pandangannya. “Tapi bener, 'kan ....”

“Asumsi dari mana kalau aku capek pacaran sama kamu? Kenapa kamu mikir aku malu pacarnya anak SMA? Emang nggak boleh? Lucu gini.”

”....”

“Shouyo,” panggil Keiji dengan lembut. “Aku minta maaf kemaren udah ngomong kayak gitu. Jujur, aku pun sama kepikirannya kayak kamu. Aku takut kamu makin marah, tapi aku bingung harus minta maaf kayak gimana karena aku juga kesel. Kamu nggak dengerin aku, tapi mungkin itu karena aku nggak terlalu acuhin kamu.

“Terlepas dari semua itu, aku seneng kamu udah introspeksi diri dan mikir penyebab aku sampe marah ke kamu. Kamu manja? Iya, banget, haha. Egois? Aku nggak bisa bilang gitu karena aku kadang sama egoisnya. Ini juga salah aku yang nggak bisa terus terang sama kamu sebelumnya. Aku belum sempet ngomong ke kamu, tapi kita udah berantem duluan. Maaf.

“Tapi—lagi—aku nggak pernah ngerasa malu sama sekali pacaran sama kamu. Kenapa, sih? Gara-gara kamu masih SMA terus aku udah kuliah? 'Kan kamu juga tahun depan kuliah. Aku nggak mempublikasi hubungan kita ke temen-temen aku itu bukan berarti aku malu pacaran sama berondong. Menurutku, itu bukan suatu kewajiban orang-orang tau kehidupan aku. Lagi pula, mereka nggak begitu deket sama aku. Kalau suatu saat nanti mereka tau atau mereka tanya statusku, ya aku nggak masalah buat bilang.

“Shouyo, kekanak-kanakan itu sifat yang bisa diubah kalau ada kemauan untuk berbenah diri. Kamu itu masih dalam fase remaja menuju dewasa, nggak bisa kamu langsung menyamakan semuanya kayak aku. Pelan-pelan. Toh, rasanya aku juga belum sepenuhnya dewasa. Kamu tau kalau aku sayang kamu, 'kan? Berarti kamu harusnya tau aku nggak pernah keberatan ngejalanin hubungan sama kamu. Aku nggak capek. Jadi, jangan khawatir.”

Keiji mengecup kedua pipi Shouyo yang basah kemudian terkekeh. “Kenapa nangis?”

Shouyo menggeleng kecil lalu membenamkan wajah merahnya di lekuk leher Keiji. Pacarnya itu kemudian mengelus-elus surai halusnya sambil membisikkan kata-kata “tidak apa-apa”.

Waktu kemudian berlalu, Shouyo tidak bersuara sejak ia menangis sampai kelelahan dan terlelap di pelukan Keiji. Dengan hati-hati, ia membawa tubuh Shouyou dan membaringkannya ke atas ranjang.

Manik hijau Keiji memandangi paras Shouyo yang terlihat damai. Kalau seperti ini, rasanya tidak percaya kalau Shouyo adalah orang yang berisik dan manja. Jemarinya menyentuh helai jingganya kemudian memainkan bulu mata panjang Shouyo yang indah, sampai ke bibir ranum yang sedikit terbuka.

Keiji ingin mengecupnya.

Namun, ia takut membangunkan si empu. Padahal jarak yang tersisa hanya sejengkal saja.

“Kak, cepet atau aku aja yang cium?”

Keiji hampir melonjak mendengar Shouyo tiba-tiba bersuara.

“Kamu nggak tidur?!”

Shouyo membuka kedua matanya perlahan lalu memamerkan cengirannya. “Tadi bangun pas Kak Keiji ngangkat aku. Tapi, aku pura-pura masih bobo.”

“Astaga.” Keiji spontan mencubit pipinya gemas.

“Sini, Kak. Ikut bobo.” Shouyo menarik lengan Keiji hingga Keiji tersungkur di atas kasur. Mereka tertawa.

“Hm, iya aku ikut bobo sama bayi gede ini.”

“Siapa yang bayi gede?”

“Kamu lah, Shouyo. Emang ada orang lagi di sini?”

“Aku bukan bayi gede.”

“Ya, udah, bayi aja.”

Shouyo terdiam sejenak. “Emang nggak apa-apa kalau aku kayak bayi? Manja dong.”

Mendengar perkataan si pacar, Keiji terbahak. “Shouyo, kamu mau sampe kakek-kakek juga tetep aja manja, 'kan, kalau ke aku.”

Shouyo mengerucutkan bibirnya, tetapi tidak mengelak juga. Badannya beringsut agar lebih dekat dengan Keiji. “Maaf.”

Helaan napas terdengar. “Udahan minta maafnya, nggak capek?”

“Iya ... maaf.”

”'Kan.” Keiji tertawa. “Kamu kenapa lucu banget, Shou?”

Shouyo mendongakkan kepalanya untuk melihat Keiji. Sudut bibirnya terangkat. “Karena aku pacar Kakak?”

Kemudian Keiji membalas tatapan si pacar. “Bisa jadi.”

Mungkin ini kali pertama bagi Keiji berterus-terang seperti ini ke Shouyo. Keiji tersadar ia harus bisa menjadi sosok yang lebih untuk Shouyo—bukan sekadar sebagai kekasih, melainkan juga kakak yang siap membantunya selangkah lebih dewasa. Ia tidak menyangka, percekcokan kemarin membuat mereka sama-sama belajar dan memperbaiki diri, untuk diri masing-masing pula. Kedepannya, ia tidak akan memanjakan Shouyo terlalu sering. Walaupun sebenarnya itu terlihat menggemaskan di mata Keiji—sungguh, kemarin adalah kesalahan.

Kebahagiaan Shouyo masih menjadi prioritas Keiji, tetapi kalau Keiji sedang tidak baik-baik saja, ia tidak akan bungkam lagi.

“Kak, mana ciumnya?”