Pulang ; akahina


Tokyo, 6 Juli 2020

“Keiji!” Hinata menyerukan namanya seraya berlari kecil menuju tempat Akaashi berdiri.

Akaashi mendengar teriakan tersebut di antara keramaian bandara. Ia melambaikan tangannya kepada Hinata.

Dilihatnya Hinata menyunggingkan senyum selebar bulan sabit kemudian tanpa memberi jeda, tubuh yang sudah tidak terlihat mungil itu langsung menghambur ke dalam dekapan Akaashi.

“Keiji,” Hinata mengeratkan pelukan mereka. “Kangen banget.”

Wah, Shouyo makin besar badannya. Beratnya juga nambah, batin Akaashi.

Akaashi mengulum senyum lembut. Ia mengusap puncak kepala pemuda yang lebih muda darinya itu. “Aku juga.”

Hinata melepaskan pelukannya lalu tersadar bahwa saat ini bukan hanya Akaashi—kekasihnya—yang ada di sini. Matanya mengerjap lucu begitu mendapati kedua orangtuanya serta adik perempuannya sedang menatap mereka berdua. “Papa? Mama? Natsu?”

“Aduh, 'kok bukan mamanya dulu yang dipeluk pertama.” Mama Hinata menyindir dengan jenaka.

“Maaf,” Hinata mengerucutkan bibirnya sambil merengkuh satu-satu anggota keluarganya. Ia sedikit memberikan kecupan kecil di kening dan pipi mereka. “Aku pulang.”


Saat ini, mereka berlima sudah memasuki mobil yang dikemudikan oleh Akaashi dan Papa Hinata di sebelahnya. (Inginnya, sih, Hinata yang jok depan menemani Akaashi). Setelahnya, pembicaraan mereka mengalir begitu saja dengan kalimat “bagaimana dengan Brazil?” sebagai permulaan.

Tiba di kediaman Hinata, Akaashi dengan sigap menurunkan barang bawaan milik kekasihnya dari bagasi mobil sedangkan yang lain sudah memasuki rumah.

“Hei,” sahut Hinata yang tiba-tiba menghampirinya. Tanpa berkata apa pun, Hinata langsung membantu Akaashi.

Akaashi yang melihatnya langsung tersenyum. “Oh. Hei, Shouyo. Nggak masuk aja? Ini biar aku yang bawa.”

Hinata menggeleng pelan. “Sengaja aku bantuin kamu.”

Akaashi menghentikan pergerakannya. “Kenapa?”

“Ya ... nggak apa-apa,” jawab Hinata, matanya mengerling pada Akaashi yang hanya mengangguk tanda mengerti lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Hinata mengerutkan kedua alisnya. “Kamu nggak mau ngomong apa gitu?”

“Hm? Ngomong apa?”

Hinata menghela napas. “Ah, Keiji! Kita udah nggak ketemu dua— tiga tahun, tau? Kamu sambutannya peluk aku doang? Mana pas di mobil tadi diem aja. Payah.”

Kali ini, Akaashi berkacak pinggang. “Terus mau gimana?”

Hinata tidak menjawab melainkan berdecak lalu berbalik badan meninggalkan Akaashi sambil menggeret koper miliknya.

“Ditanya 'kok malah merajuk.”


“Keiji,” panggil Mama Hinata dengan senampan kudapan beserta secangkir teh hangat. “Tolong antar ke kamar Shouyo, ya. Tadi dia langsung masuk ke kamar. Kasihan, capek banget pasti.”

Akaashi langsung mengambil alih nampan dari tangan Mama Hinata. Ia berjalan hati-hati menuju kamar Hinata yang berada di lantai atas.

“Shouyo,” sahut Akaashi dari depan pintu dan Hinata hanya meresponsnya dengan gumaman tidak jelas. “Aku masuk, ya.” Akaashi langsung masuk saja tanpa menunggu persetujuan dari Hinata.

Hinata terlihat sedang berbaring di atas kasur yang sudah lama ia tidak tempati dan langsung mendudukkan badannya begitu Akaashi memasuki kamarnya. “Keiji ... aku ngantuk.”

Setelah menaruh nampan di atas meja, Akaashi langsung menghampiri kekasihnya tersebut dan sisi ranjang. Ia mengusak surai jingga yang sedikit lebih pendek dari yang terakhir ia lihat. “Capek banget, ya?”

Hinata mengangguk dua kali. Ia menarik lengan Akaashi kemudian mengusakkan kepalanya manja. “Kelonin aku bobo ....”

Pemuda yang lebih tua hanya bisa menuruti permintaan yang lebih muda. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Hinata kemudian menaruh kepala Hinata di atas dadanya.

“Mau langsung bobo banget?” Akaashi bertanya.

Hinata yang sudah memejamkan matanya, membuka kelopaknya lagi. “Hm?”

“Nggak ngobrol apa dulu gitu sama aku?”

Hinata menggerakkan tangannya untuk memeluk tubuh Akaashi sambil menggerutu, “Tadi aku udah protes, kamu diem aja. Ya udah, mending aku tidur.”

“Siapa yang diem aja?” Akaashi balik bertanya, nadanya seperti tidak terima. Namun, Hinata tidak menjawabnya melainkan kembali memejamkan matanya sambil bersemayam nyaman di dekapan Akaashi.

Akaashi terdiam. Diam-diam memperhatikan figur kekasihnya yang jauh berbeda dengan tiga tahun lalu: lebih pendek dan lebih kurus. Sekarang, tingginya bertambah banyak dan badannya lebih berisi dan kokoh. Lekukan otot bisepsnya tercetak jelas dari balik kaus. Kulitnya pun sedikit lebih cokelat, mungkin Hinata memang sesering itu terjemur di bawah terik matahari saat di Brazil.

Tiga tahun berlalu, tetapi Hinata yang manja masih belum hilang. Meskipun sudah tidak terlalu pecicilan dan berisik seperti anak kecil dahulu. Tanpa disadari, senyum Akaashi mengembang. Ah, Shouyo-nya sudah banyak tumbuh menjadi lebih dewasa. Namun, senyumnya luntur seketika saat ia dikejutkan dengan Hinata yang tiba-tiba mendongakkan kepala.

“Keiji, kok diam saja?”

“Loh? Aku kira kamu beneran tidur.”

Hinata menjauhkan badannya dari Akaashi. “Katanya mau ngobrol!”

Belum sempat mengatakan apa pun, Hinata kembali membuka suara. “Ah! Baru ingat!”

Ia terbangun dan beranjak menuju ransel yang ia gunakan selama perjalanannya ke Jepang.

Katanya ngantuk.

Tak lama, Hinata mengeluarkan sebuah buku dari dalam ranselnya dan langsung mengangkat tinggi-tinggi buku tersebut.

“Lihat buku apa ini!”

Akaashi yang tidak memakai kacamata menyipitkan matanya sedikit, kemudian tercengung. “Oh— itu buku ... aku?”

Hinata langsung kembali menghamburkan diri ke atas kasur. “Betul! Novel pertamamu!”

Akaashi merebutnya dari Hinata. Matanya memindai betul-betul, memastikan apakah itu buku asli atau tidak. Itu benar-benar novelnya yang terbit dua bulan yang lalu. “Kamu kapan belinya?”

Hinata menjulurkan lidahnya. “Rahasia!”

“Dasar.” Akaashi memukul kepalanya pelan menggunakan buku tersebut.

“Minta tanda tangannya dong!” Hinata beranjak lagi untuk mengambil sebuah bolpoin yang tersedia di atas meja kemudian menyerahkannya kepada Akaashi.

Akaashi terkekeh. “Kayak apa aja. Aku bisa ngasih seribu tanda tangan buat kamu kalo kamu mau. Malah, selain tanda tangan juga bisa.”

“Contohnya?”

“Ya ... apa saja. Tanda yang lain, aku juga bisa kasih.”

Hinata segera mencubit lengan Akaashi begitu menyadari arah pembicaraan ini. “Ngarang!”

“Loh, nggak ngarang.” Akaashi menyerahkan bolpoin beserta buku yang sudah dibubuhi tanda tangannya tersebut kepada Hinata. Ia menyengir ketika ia mendengar Hinata mengeluh “terserah kamu aja, deh”.

“Selamat, ya. Aku udah baca ceritanya. Bagus banget, Keiji! Aku udah bilang dari dulu, 'kan? Tulisanmu nggak pernah mengecewakan.”

Akaashi mengecup bibir Hinata singkat. “Terima kasih, Shouyo.”

Entah karena sudah lama atau memang selalu sebesar ini dampaknya, wajah Hinata merah total hanya karena Akaashi menciumnya. Hinata menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “B-bilang-bilang dong kalo mau cium!”

Kedua tangan Akaashi menyingkirkan kedua telapak Hinata yang masih menutupi wajahnya lalu menangkup kedua pipi Hinata. Makin tembam, pikir Akaashi.

“Ya, kalau begitu, sekarang aku mau cium!” dan langsung menghujani Hinata dengan ciuman di seluruh permukaan wajahnya.

“Aduh, Keiji!”

—end.