Seharusnya ; semishira

Seharusnya, aku abai.

Mungkin jam besar yang berdiri tegak di alun-alun kota sedang berdentang keras, memberi sinyal bahwa malam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat. Suara mesin mobil dan motor yang berlalu lalang, kecantikan sang rembulan dan gemintang, terabaikan. Manusia-manusia di dalam sana hanya terfokus pada pesta, alkohol, dan musik kencang.

Mata kita bertemu di menit itu, ketika kau menyanyikan bagian chorus dari lagumu sambil terus memetik senar gitar. Aku tak curiga. Aku tak merasakan apa-apa—saat itu. Dan aku hanya cukup memalingkan wajah.

Dentingan gelas yang beradu dan kelap-kelip lampu yang remang tak membuat mata kita berpaling. Dengan mudahnya kau menemukan entitasku, dengan mudahnya aku menyadari radarmu. Entah untuk apa, entah apa yang dipikirkan, entah mengapa.

Dengan kau yang meneguk habis cocktail dan aku yang menatapmu dari kejauhan. Kita bertukar pandang beberapa kali.

Seharusnya, aku menolak.

Suara langkahmu bagai menggema di benakku, membuatku sedikit takut dan waspada. Kau menyunggingkan senyummu; aku tak merasakan apa-apa. Kau menggenggam salah satu tanganku dan mengajakku berkelana. Pun aku mengangguk.

Di antara angin malam dan sinar bulan, kita berjalan di atas jembatan. Kau masih menggendong gitar di punggungmu sambil menggamit jemariku erat. Mengapa? Entahlah. Salahkan aku dan kebodohanku.

Seharusnya, aku tak tinggal.

Ketika kita melewati gang sempit dan bertemu orang-orang bertubuh kekar. Sambil tertawa bodoh, kita berdua menghindar dari kejaran mereka. Di keheningan malam, suara kita menggaung di udara.

Berlari. Jemari kita masih bertaut—sukar untuk melepas. Aku tak merasakan apa-apa, tetapi entusias dalam diri menggebu. Entahlah, malam itu terasa menyenangkan.

Seharusnya, aku tutup telinga.

Kau bilang, ini tempat yang menyenangkan untuk menghabisi malam. Namun, yang kudapati hanyalah rooftop kecil dan aku tidak tahu ada di mana saat ini.

Jangan khawatir, katamu. Sebagaimana kita tak akan pernah tersesat meski ke ujung dunia sekali pun.

Kau terlihat begitu tenang. Mengalunkan sebuah lagu dan tak melupakan gitarmu. Membicarakan tentang kita yang tak pernah memiliki kecocokan. Berkata bahwa bintang di tengah malam adalah yang paling indah. Lalu, kita berdua mendongakkan kepala. Dari angkasa, dewa-dewi sedang menatap kita.

Entahlah, aku masih tak merasakan getaran. Namun, nyaman menyelisik.

Seharusnya, aku marah.

Kau menutup mataku dengan kedua telapakmu. Katamu, ini kejutan. Ah, aku tak pernah menyukai hal seperti itu. Namun, kita berada di ufuk barat. Menonton bulat merah besar yang menyembul perlahan dari horizon.

Pun segalanya berlalu secepat kilatan cahaya. Dilatarbelakangi mentari, kau menyengat bibirku dengan lancangnya. Itu pertama kaliku. Entahlah, aku tak marah melainkan berdebar.

Seharusnya, aku tak jatuh.

Kau masih setia menautkan jemarimu denganku. Satu kali, dua kali, kau mengusap lembut suraiku. Menaburkan kasih padaku yang sudah terbius.

Dan tatkala dunia menunjukkan cerahnya, kau berhenti. Berhenti menggenggam, berhenti mencumbu, hanya berhenti.

Begitu saja.

Asap rokok mengepul di udara membuatku sesak beberapa saat. Sesesak saat kau usai mengecek ponsel dan kembali tak mengacuhkanku.

“Aku harus pergi.”

Lalu semuanya, menguap bersama asap yang kau embuskan terakhir kali. Tak bersisa, tak berjejak, dan tak memberiku kesempatan untuk menyentuhnya.

Apa yang kau tawarkan? Cinta dan kesetiaan? Bahkan kita tak pernah tahu nama.

Bahkan kita tak pernah tahu apa itu cinta.

Kita yang tak kenal, beradu bibir dengan mesranya, berbagi tawa dengan ringannya. Kita yang tak kenal, saling memberi afeksi, saling memberi pujian. Kita yang tak kenal, dan hanya aku yang menggantungkan asa.

Harusnya, aku masih berdiri tegak di tempatku. Bukannya terjerembap dalam kungkunganmu. Ini bahkan baru enam jam berlalu. Betapa kejamnya dirimu.

Seiring kau berbalik arah dan melangkah pergi, aku statis. Aku tak merasakan apa-apa. Mengapa? Entahlah, mungkin ini memang tidak pernah nyata. Tidak pernah ada.

Kau menculikku dan tak pernah mengembalikanku. Kau mengurungku dalam labirinmu, tak membebaskanku atau pun melindungiku.

Setelah kauajak berkelana di duniamu, aku tak bisa pulang.

Seharusnya, aku memang tak pernah mengenalmu. Bagaimana segumpal rasa dan hatiku direnggut habis di sisa-sisa malam.

Seharusnya, aku memang tak pernah bertemu denganmu. Bertukar pandang, meneguk cinta, tanpa tahu apa yang sedang kuteguk.

Seharusnya, aku tidak sebodoh ini. Membiarkan jemari panjangmu memetik senar hatiku. Memainkan lagu di relung hatiku. Kemudian, berhenti sebelum nada terakhir berbunyi.

Seharusnya, aku tak jatuh cinta semudah ini. Setidaknya, biarkan aku memotret figurmu, merekam suaramu, dan menyimpannya baik-baik di dalam memori kepalaku. Setidaknya, namamu terucap sebelum matahari terbit. Setidaknya, aku tidak akan sesakit ini, dan dilanda kebingungan. Setidaknya.