TOKYO

Hinata berjanji akan menemuinya hari ini. Katanya, ingin memberikan jawaban atas pengakuan cinta Akaashi kemarin. Akaashi sendiri tidak berharap banyak karena ia benar-benar tidak yakin kalau Hinata memiliki perasaan yang sama. Bisa jadi Hinata memang menyukainya, tetapi hanya sebatas hubungan senior-junior atau teman dekat—Akaashi bahkan tidak menganggap dirinya adalah teman dekat Hinata. Walaupun Bokuto, senior sekaligus sahabatnya, sudah berkali-kali ngotot bilang kalau Hinata juga menyukainya, tetapi yang namanya Akaashi, tidak mudah percaya sebelum ada bukti nyata.

Semalam, Akaashi sudah bilang ia akan menjemputnya di stasiun esok pagi agar Hinata tidak perlu repot pakai transportasi umum lagi. Lima belas menit berlalu, Akaashi masih menunggu kedatangan kereta dari Sendai. Selama itu, entah sudah berapa kali Akaashi melakukan hal-hal konyol: menampar dan mencubit pipinya, mengecek kolom percakapannya dengan Hinata, untuk memastikan bahwa semuanya nyata, bukan mimpi semata.

Pada kenyataannya, ia sedang menunggu Hinata, sosok yang selama dua tahun terakhir memenuhi benaknya. Kedua telapaknya sibuk digesek-gesekkan agar mengurangi rasa gugup, tetapi tidak banyak membantu juga. Ia berulang kali menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Wajahnya berusaha terlihat tenang, meskipun kepanikan masih nampak dari air mukanya.

Akaashi akan bertemu Hinata. Hinata akan bermalam di rumahnya. Seorang Hinata Shouyo rela jauh-jauh dari Miyagi ke Tokyo hanya untuk menemui dirinya. Hati Akaashi tak kunjung tenang, otaknya tak dapat berjalan untuk sekadar memikirkan bagaimana cara ia menyapa si rambut oranye itu. Sampai sebuah suara menyahuti namanya dari kejauhan. Akaashi sedikit tersentak. Ia dapat mengenal suara itu dengan baik karena semalam baru saja mengucapkan selamat tidur untuknya.

Hinata berlari kecil ke arahnya sambil menyeret koper dan barang bawaan lainnya. Wajahnya tidak berubah dari semenjak ia pertama kali melihatnya, dua tahun yang lalu, masih sama berseri dengan senyuman lebarnya yang manis. Hanya saja, rambut oranye tersebut sedikit lebih panjang.

Pemuda itu melemparkan cengiran khasnya kepada Akaashi sambil menyapanya riang. “Kak Akaashi!”

Akaashi membalasnya dengan senyuman kaku sambil melambaikan tangannya pelan. Rasanya, seperti dirinya yang disambut oleh Hinata, bukan sebaliknya. Tawanya seketika langsung terputar secara konstan di dalam otak Akaashi, bahkan sampai mereka memasuki mobil dan siap untuk melaju menuju rumah Akaashi.

Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Tidak ada yang berbicara, hanya request song dari radio yang mengalun rendah. Pemuda berkacamata yang memegang kemudi tak mengalihkan pandangan barang sedetik pun—masih, gelak Hinata masih berdengung seraya wajah berserinya ikut muncul dalam bayang Akaashi. Namun, matanya terlihat fokus ke jalanan sedangkan akalnya terlalu kacau untuk menghadapi kenyataan bahwa Hinata berada di dalam mobil yang sama dengannya. Ia tahu ia tak pandai dalam membuat konversasi mengasyikkan, terlebih dengan orang seperti Hinata. Namun, setidaknya, Akaashi ingin mengobrol sepatah dua patah kata.

Hinata hampir menyemburkan tawa melihat wajah Akaashi yang terlalu kaku itu. Pikirnya, Akaashi tidak berubah sama sekali sejak dua tahun yang lalu, kecuali kacamata yang bertengger di batang hidungnya.

Kemudian, Hinata berdeham. “Kita udah lama nggak ketemu, ya, Kak.”

Pemuda yang lebih tua itu terlihat sedikit terkejut, tetapi cepat-cepat menormalkan kembali ekspresinya. “Oh, ya ... hahaha. Terakhir waktu perayaan kelulusan saya dan Kozume, 'kan? Kamu juga dateng.”

Hinata mengangguk pelan. “Udah lama juga, ya.” gumamnya.

“Udah lama nggak ke Tokyo, tapi sekarang cuma punya waktu dikit di sini. Ah, aku kangen Tokyo banget.” celoteh Hinata seraya mata cokelatnya menatap pemandangan dari balik jendela. “Kangen Kak Akaashi juga.”

Kalau bukan karena Akaashi yang sejak awal fokus menyetir, entahlah, mungkin kemudinya sudah oleng.

“Gimana?” Akaashi harap ia tidak salah dengar.

Hinata tidak menjawabnya melainkan membuang mukanya ke jendela. Namun, pipi bulatnya tak kuasa menahan merah yang menyeruak dari dalam permukaan serta garis bulan sabit yang naik melengkung.


“Maaf, Kak, aku ngerepotin banget sampe minta nginep.” ucap Hinata sambil menurunkan koper dan backpack-nya dari mobil.

Akaashi yang melihat itu langsung menawarkan bantuan kepada Hinata. “Eh, biar saya aja.”

Hinata tidak dapat menolak dan hanya berterima kasih. Keduanya lalu berjalan beriringan memasuki rumah.

“Nggak 'kok, sama sekali nggak ngerepotin. Malah saya kaget kamu bilangnya ke saya. Saya yang khawatir, sih, kamu jadi nggak punya waktu buat keluarga sampe besok. Padahal, kamu beneran nggak perlu ke sini cuma buat nemuin saya.”

”'Kan aku udah bilang berkali-kali, nggak apa-apa. Aku udah bilang juga ke orangtuaku soal ini. Aku mau ketemu Kak Akaashi. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?”

Akaashi berpikir sejenak, tetapi ia langsung menyingkirkan pengandaian yang ada di kepalanya tentang Hinata. “Kalau sama saya seharian bakal bosen, loh, kamunya.”

Hinata menghentikan langkahnya. “Ya, emang aku niatnya mau seharian sama Kakak.”

Pergerakan Akaashi yang hendak membuka gagang pintu terhenti. Ia menoleh pada pemuda yang lebih muda di belakangnya—yang memandanginya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Apa ada yang salah?” lanjut Hinata.

Pemuda yang dua tahun lebih tua dari Hinata itu tergemap. Akaashi lalu hanya menggeleng pelan sambil mengulum senyum tipis. “Nggak salah sama sekali.”

Melihat tanggapan yang Akaashi berikan, Hinata mengernyitkan keningnya—terlihat tidak begitu puas dengan jawabannya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengekori Akaashi ke dalam kamar yang sepertinya dikhususkan untuk tamu.

Usai menaruh semua barang milik Hinata, Akaashi hendak beranjak dari kamar dan berniat memberikan Hinata waktu, tetapi Hinata menahan lengannya.

“Mau ke mana, Kak?”

“Eh? Saya kira kamu mau sendiri dulu.”

“Temenin aku di sini.”

Akaashi mengangguk mengiyakan. “Ah, ibu dan ayah saya kayaknya lagi di luar, deh, makanya sepi.”

Si tamu hanya manggut-manggut.

“Terus, mau ngapain?” tanya Akaashi.

Mata Hinata seketika berbinar. “Jalan-jalan!”


Seumur hidup besar di kota Tokyo, pengalaman Akaashi bertamasya ke tempat hiburan bisa dihitung jari. Akaashi tidak terlalu tertarik dengan spot ramai yang dipenuhi manusia setiap harinya. Namun, bukan berarti Akaashi membenci tempat ramai dan keberisikan, sih. Akaashi cuma tidak betah saja.

Akan tetapi, hari ini—khusus hari ini—ia rela diajak keliling kota dan naik wahana sampai larut malam jika yang bersamanya adalah Hinata Shouyo. Matahari semakin di puncaknya, tetapi semangat membara Hinata belum juga surut. Padahal, mereka sampai beberapa kali berteduh dari terik yang terlalu menyengat.

“Hinata, kamu masih mau main lagi?” tanya Akaashi di napasnya yang tersengal-sengal. Ah, kalau bukan karena Hinata, Akaashi seratus persen akan menolak mentah-mentah pada roller coaster.

Tak disangka, Hinata masih dapat menganggukkan kepalanya lucu. Akaashi menghela napas panjang. Sebenarnya, mereka sedang apa, sih? Bagaimana dengan pengakuan cintanya kemarin? Apa Hinata sudah lupa?

Ah, baiklah. Apa ini namanya kencan—sebelum ada status jelas?

Ia tidak habis pikir, Hinata masih bisa menyempatkan diri ke taman hiburan sehari sebelum berangkat ke Brazil.

“Hinata, kamu sendiri, deh. Saya mau istirahat.”

“Ah, 'kok gitu!” Hinata menarik tangan Akaashi agar segera bangun dari duduk. “Kali ini cuma bianglala! Beneran, deh!”

Akaashi menurut. Bianglala? Sama sekali tidak menakutkan.


Mereka sudah memasuki salah satu kabin dan bianglala mulai berputar perlahan. Hinata dengan kameranya bersiap untuk memotret pemandangan dari atas. Tentu, senyumnya belum luntur. Akaashi terheran, seolah hari ini adalah hari terbaik bagi Hinata.

Apa karena hari ini Hinata bersama dirinya?

Halu.

“Kak!”

Akaashi dikejutkan oleh suara jepretan kamera yang tiba-tiba mengarah ke dirinya.

“Hinata ...,” keluh Akaashi. “'kok, saya difoto?”

“Cakep 'kok, Kak.” Hinata terkekeh.

Ini sama sekali tidak bagus untuk kesehatan jantung Akaashi.

“Pasti hasilnya nggak bener.”

Hinata merengut. “Bener. Bagus! 'Kan aku yang moto.”

“Ya udah, foto saya lagi.”

“Foto bareng mau?”

“Mau, 'kok.”

Sang Raja Siang bertapak di puncak tertinggi kekuasaannya, memancarkan terang benderang yang bisa membakar kulit. Begitu juga kabin yang ditumpangi Akaashi dan Hinata. Saat ini, kabinnya sudah melayang di tempat tertinggi sehingga hamparan laut biru dari arah barat laut tertangkap penglihatan—seolah menjadi peredam sengatan panas di siang bolong seperti ini.

Akaashi membenarkan letak topi Hinata yang sedikit kendur. Hinata yang sedari tadi sibuk dengan view menakjubkan di bawah sana, terkesiap.

“Eh, thanks, Kak.”

Pemuda bermata empat itu tersenyum. “Terus gimana, Hinata?”

“Hm?” Hinata memasang raut bingungnya. “Gimana apanya, Kak?”

Ada jeda di antaranya sebelum Akaashi melontarkan, “Kamu dan saya. Kayak gimana jadinya? Katanya kamu mau kasih jawaban setelah kita ketemu.”

Setelahnya, raut wajah Akaashi terlihat tidak percaya dengan omongannya sendiri. Ia malu.

Ia mengatakannya, akhirnya.

Hinata mengerjapkan matanya sebelum terkekeh manis. “Oh, emang belum jadi, ya?”

Kalau bisa, Akaashi ingin teriak sekencang mungkin. Ia ingin menutupi wajahnya dengan apa pun sekarang juga. Namun, kata-kata Bokuto terus berputar di dalam kepalanya: “Confess ulang, tembak langsung.”

Akaashi harus gentle.

Jadi aja. Tapi, kamu belum bilang itu balik ke saya.”

“Oh—”

“Saya ulangin boleh nggak? Lebih serius sekarang.”

“Boleh, haha. Boleh banget, Kak.” Hinata bisa tertawa haha-hihi di luar, dalamnya jantung sedang bersenandung ria sembari berdansa salsa.

Akaashi menggigit bibirnya, gugup. Ia meraih kedua tangan Hinata dan menggamitnya. Sumpah, ia tidak pernah melakukan hal seperti ini! Aneh tidak, sih?

“Hinata.”

Yang digamit tangannya hanya bisa menampakkan senyum lebarnya. Hinata tidak tahu ia berdebar karena ia akan ditembak oleh Akaashi atau paras serta dua netra Akaashi yang menatapnya dengan sungguh. Hinata sudah tenggelam dalam pesonanya, kalau ditanya mau jadi pacar atau tidak, tinggal jawab “mau”.

Namun, ekspektasinya akan kisah cinta romantik harus ia buang jauh-jauh detik ini juga.

“Hinata, cara nembak orang gimana?”

Demi Tuhan.

Sedetik kemudian, terdengar tawa menggelegar sampai membuat kabin kincir ria bergoyang sedikit. Itu Hinata, yang setelah tiga detik langsung menyemburkan tawa. Akaashi merutuki dirinya sendiri dalam hati.

“Kak, udah lah! Nggak usah tembak-tembakan, emang apaan aku ditembak. Pokoknya aku suka sama Kakak, ngerti, 'kan? Sekarang kita pacaran aja, deh.” ucap Hinata di sela-sela tawanya. Ia hampir menangis melihat keluguan Akaashi.

Akaashi terlihat berpikir sejenak. “Tapi, Hinata— Kata Kak Bokuto, saya harus nembak kamu.”

Hinata terkekeh lagi. “Nggak usah! Ribet!”

“Tapi—”

“Kak ...,” Hinata menangkup kedua pipi Akaashi yang setelahnya bersemu merah. Ia mendengus geli sebelum mengatakan, “aku suka sama Kakak. Jadi pacar aku, ya?”

Demi Tuhan, lagi.

Tidak berkutik. Akaashi mematung. Pipinya masih ditangkup oleh kedua tangan Hinata. Ia tersipu. Niatnya mengajak Hinata agar jadi pacarnya, tetapi kalah cepat dari si empu yang mau diajak pacaran. Lalu bodohnya, di saat-saat seperti ini, ia malah teringat Bokuto yang mencemoohnya soal punya Hinata lebih besar daripada dirinya.

Apa benar?

“Kak! 'Kok diem?” Hinata menepuk pelan pipi kanan Akaashi, membuat Akaashi tersadar kembali dari lamunan gilanya.

“Hah? Eh—”

“Mau, ya? Ayo pacaran, Kak!”

“Memangnya ada pilihan lagi selain jawab 'iya'?” Jemari panjang Akaashi bergerak menyusuri surai oranye milik Hinata. Kemudian, jempol dan telunjuknya usil menjawil pipi Hinata. “Iya, saya sama kamu pacaran sekarang.”

Tubuh Hinata lantas menghambur ke dekapan Akaashi, kemudian tertawa senang.

Ia menengadahkan kepalanya, tiba-tiba cemberut. “Tapi, nanti kita jauhan. Jauh banget. Gimana dong?”

“Nggak masalah.” Akaashi mengusap rambutnya lembut.

“Yang bener?”

“Iya.”

Berikutnya, Hinata kembali memberikan sunggingan lebar, menunjukan deret giginya yang rapi sebelum bibirnya mendarat dengan kilat di pipi Akaashi.

“H-hei—”

“Cium banyak sebelum aku berangkat.” Telunjuknya menunjuk-nunjuk pipi kanannya, menggoda Akaashi agar membubuhi ciuman di sana. “Kak, cepet—”

Cup.

“Udah.”

Sekarang wajah Hinata yang tersipu, mirip kepiting rebus. Barusan bukan pipinya yang Akaashi kasih kecup, melainkan dua belah bibir yang kini mengatup rapat. Akaashi tersenyum lalu kembali mencium bibirnya, sekali lagi, kali ini lebih lama.

“Kak,” lirih Hinata. “manis.”

Akaashi tertawa. “Tadi 'kan makan permen stroberi.”

Kemudian, mereka menikmati sisa putaran bianglala dengan jemari-jemari yang terikat erat satu sama lain. Hari ini cuaca terlalu panas, tetapi dekat-dekat pacar baru sama sekali tidak apa-apa—walaupun gerah. Sambil curi-curi kecup juga bisa.

“Oh, abis ini temenin aku potong rambut, ya, Kak.”

“Makan dulu, ya?”

“Oke!”