Bright memang penggoda ulung.

Lagi-lagi, ketahanan hati Win dibuat runtuh olehnya. Terkadang, pemuda berparas manis itu mengira bahwa barikade batinnya begitu lemah, meski ribuan prajurit telah membentuk blokade sehingga tidak ada yang dapat keluar-masuk dengan mudah. Pada akhirnya, Bright, berbekal senjata berupa kalimat picisan, dapat dengan mudah menerobos. Percayalah, Win bukan satu-satunya yang akan menyerah bila ditodong rayuan manis dari laki-laki beroman seelok Bright.

Hening cipta kedua persona yang tengah dirundung asmara tersebut berlangsung agak lama. Yang lebih muda tahu-tahu saja kehilangan stok kosakata, sementara yang lebih dewasa masih senantiasa menanti jawaban sembari melayangkan sebuah tatapan yang tak pernah berpaling barang seinci pun.

Sekonyong-konyong, bunyi keroncongan terdengar, memecah kesenyapan dalam unit apartemen tersebut. Bunyi indikator rasa lapar itu rupanya datang dari perut Win. Atensi keduanya langsung tertuju ke arah datangnya suara. Tangan Win kemudian mendarat pada perutnya yang memberontak.

“Laper?” tanya Bright.

“Maaf,” respons Win jengah.

Bright tak kuasa menahan tawa. Suasana menegangkan yang semula melingkupi keduanya harus berhenti sampai di situ saja.

“Belum makan?”

“Dari tadi pagi.”

“Astaga!” seru Bright merasa khawatir. “Let’s go grab something to eat!” Ia lantas bangun dari sofa. Menyambar jaket dan menggunakannya sekenanya.

Sedangkan Win masih kerasan duduk di sofa. Memperhatikan pergerakan pemilik unit inci demi incinya. “Emang mau ke mana?” tanya Win.

“Tempat makan apa yang masih buka di jam 1 pagi?” tanya Bright balik.

McDonald’s?” Sebagai mahasiswa irit, hanya itu yang terpikir oleh Win.

That’s it. Come on, Win!” ajak Bright yang telah mendahului setelah mengambil kunci mobil seolah-olah dirinyalah yang belum makan sejak pagi.

Win lantas mengimitasi. Mengenakan sepatunya dan mengikuti Bright menuju tempat parkir bawah tanah.

Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, Bright lantas tancap gas menuju McDonald’s yang selalu beroperasi selama 24 jam.

Diam-diam, Win bersyukur. Pemuda itu tak memiliki antisipasi apapun ketika tahu-tahu Bright menodongnya dengan sebuah ajakan untuk memulai hubungan percintaan. Tujuan awalnya datang ke apartemen Bright hanyalah meminta pertolongan terkait beasiswa. Ia tidak menyangka hari terburuk dalam hidupnya tiba-tiba saja tersulap menjadi hari paling membingungkan baginya.

“Mau pesan apa?” tanya Bright sembari sesekali menoleh ke arah Win yang duduk di jok sebelah.

Win tak akan membuka suara kalau saja Bright tidak melakukannya duluan. “Hmm… Big Mac. Sama Ice Coffee,” jawabnya.

Classic Big Mac. Get it,” respons Bright sebagai penutup konversasi singkat tersebut sebelum akhirnya mereka sampai di layanan drive-thru McDonald's.

Setelah mendapatkan semua yang dipesan, Bright kembali membawa mobilnya melaju melewati jalanan kota yang kelewat sepi mengingat hari masih terlampau gelap.

“Tau tempat yang enak buat menghabiskan ini semua?” tanya Bright.

Win mengira mereka akan kembali ke apartemen. Rupanya Bright ingin mereka pergi ke tempat lain di pukul 1 pagi. Pemuda itu bergumam, memikirkan tempat yang sekiranya pas. Hingga terbesit satu tempat dalam benaknya, “Oh, ada. Nanti saya kasih tau arahnya.”

Bright mengangguk. Kemudian menoleh ke arah Win. Fokusnya tertuju pada perut yang lebih muda. Ia kemudian melayangkan sebuah tepuk pada perut Win beberapa kali. Membuat sang empunya perut sedikit terperanjat dengan sentuhan tiba-tiba tersebut.

“Tahan ya, Perut,” ucap Bright sembari menepuk-nepuk perut Win.

Kelakar tersebut membuat Win terkekeh kecil. Ia masih merasa malu dengan pemberontakan perutnya yang mengeluarkan bunyi keroncongan keras beberapa waktu tadi.

Setelah mengemudi sekian menit di bawah arahan Win, mereka tiba di area yang familiar bagi Bright. “Kosan kamu, Win?”

Win menggeleng. “Bukan di situ, kok,” ucapnya cepat, takut Bright salah paham. “Di depan nanti, belok kanan,” lanjutnya memberi arahan.

Akhirnya mereka tiba di tempat yang dimaksud Win, sebuah lapangan basket umum yang dikelilingi pagar kawat tinggi transparan, yang letaknya tidak jauh dari indekos. Keduanya kemudian keluar dari mobil seraya menenteng plastik berisi makanan. Melangkah menuju ke sana dengan Win sebagai pemimpin.

Win mengambil tempat beberapa meter di dekat ring. Kemudian duduk lesehan di sana. Bright lantas mengikuti.

“Maaf tempatnya nggak nyaman,” ucap Win menyadari hal tersebut.

Bright mengedarkan pandangannya ke penjuru tempat. “Nggak masalah sama sekali,” jawab Bright tersenyum kecil. Ia kemudian menyodorkan Big Mac untuk Win.

“Makasih.” Win mengambil Big Mac yang disodorkan Bright. Tanpa jeda apapun, memakannya dengan lahap mengingat perutnya masih kosong sejak kemarin pagi.

Bright ikut memakan apa yang ia pesan.

Why this place?” tanya Bright.

Sebelum menjawab, Win menyeruput kopi dari dalam gelas. “Kalau lagi susah tidur, saya ke sini. Main basket sampai drained. Baru deh bisa tidur,” jawab Win, menjeda, “dan… biasanya pulang ngampus atau kapan aja kalau lagi senggang, saya ke sini sama teman-teman. Sekadar nongkrong atau main 2 lawan 2.”

You still reminiscing about your friends that ditch you?” tanya Bright. Kalimatnya barusan terkesan begitu menohok. Ia hanya tidak dapat mengerti bagaimana Win begitu cinta pada sahabatnya yang bahkan meninggalkannya begitu saja karena sesuatu.

How can I not?” jawab Win. Tempat itu memang tidak spesial dari segi visual. Tetapi pagar reyot dan ring berkarat di sana menjadi saksi pertemanan mereka sejak bertahun-tahun lalu di hari pertama perkuliahan.

I don't know how it feels like to have a bunch of friends. The only friend I have is Mike. He never judge, belittle me eventhough I'm an orphan,” terang Bright.

“Jadi, maksudnya teman-teman saya nggak sebaik teman Mas?” tanya Win.

Bright mengangguk.

Win tertawa.

“Kamu tinggal di kos sendirian?” tanya Bright seraya mencomot kentang goreng dan memakannya.

Win mengangguk sembari mengunyah makanan yang ada di mulutnya. “Sejak kecil saya tinggal di Pattaya karena kerjaan Ayah sebelum akhirnya buka usaha di sana.”

“Ayah kamu punya bisnis apa?”

Bakery.

“Besar?”

“Baru satu toko.” Ia menjeda untuk menyeruput kembali minumannya. “Dulu Ayah saya sering gagal dan ketipu sama rekanannya. Baru kali ini berhasil. Makanya dia keras banget dan nuntut saya buat belajar ekonomi supaya bisa bantu ngembangin bisnis. Padahal saya nggak minat sama sekali,” terang Win lalu terkekeh jengkel.

“Kan enak tinggal melanjutkan doang,” respons Bright terkesan sarkastis.

“Ck!” Win berdecak. “Ngomong-ngomong, saya beneran nggak boleh buka cuddlecare lagi?” tanyanya berbelok pada topik lain.

“Nggak boleh,” jawab Bright lugas.

“Terus gimana saya mau dapet duit?”

“Tinggal di apartemen saya, mau?” tanya Bright sembari menatap Win lurus-lurus meninggalkan makanan yang tengah dinikmati sebelumnya.

“HAH?” Win terkejut. “B-buat apa?” Tawaran Bright terang saja membuat ia terbata-bata.

“Supaya kamu bisa pakai uang sewa buat bayar utang ke saya.”

“Terus saya tinggal di tempat Mas gratis? Jatuhnya sama aja dong buat Mas, merugikan.” Win tidak mengerti dengan jalan pikiran Bright.

Bright sebetulnya punya maksud lain. Ia tidak peduli dengan 40000 baht yang dikeluarkannya untuk membantu Win.

I feel so lonely being all alone there. Akan lebih baik kalau ada kamu di sana karena saya suka bicara sama kamu. Saya suka perangai kamu. Kamu bawa kebahagiaan buat saya. Pokoknya, saya suka kamu,” ujar Bright terang-terangan. Melontarkan intensi tulen atas tawarannya pada Win.

Sementara Win berpura-pura tidak mendengar dengan terus melahap makanannya dengan cepat sampai mulutnya penuh bak tupai. Fokusnya hanya tertuju pada makanan demi menanggulangi rasa jengah yang bercampur dengan rasa besar kepala akibat pengakuan Bright.

Bright tak dapat mengintervensi alih-alih memperhatikan yang lebih muda bergulat dengan makanan. Ia terkekeh. Ia tahu tengah diabaikan. Tetapi sampai kapanpun, ia tak akan kapok untuk menunggu hingga Win memberikan jawaban.

Alih-alih menjawab, Win bangkit dan berlari-lari kecil untuk mengambil bola basket yang tergeletak di pojok lapangan sembari masih mengunyah sisa makanan di mulut. Setelah tercerna, ia men-dribble bola basket dan melemparnya ke ring. Bola berhasil masuk. Win melakukan selebrasi.

Setelah itu, Win melempar bola tersebut pada Bright yang masih terduduk di pinggir lapangan. Bright menangkapnya, kemudian bangkit karena ajakan tersirat Win untuk bermain.

Bright men-dribble bola mendekat ke arah ring. Sementara Win dalam posisi defensif, berjaga supaya Bright tidak mampu memasukkan bola ke sana. Bright mencoba menerobos dengan menghantam pundak Win, membuat yang lebih muda terhuyung. Setelah memiliki celah, ia lantas melakukan tembakan yang membuat bola berhasil masuk ke dalam ring.

Hey, it's a foul!” seru Win.

There's no referee here,” jawab Bright santai sembari mengangkat kedua pundaknya singkat.

Win berdecak kemudian terkekeh.

Permainan tersebut berlanjut sampai energi keduanya terkuras habis. Keduanya bahkan melepas jaket masing-masing karena peluh bercucuran dari tubuh, membasahi pakaian yang dikenakan.

Win menjadi yang pertama untuk tumbang. Ia bergeletak di tengah lapangan, diikuti Bright kemudian. Keduanya kini memandangi langit yang sama, cakrawala tanpa bintang yang gelap ditemani temaram bulan.

So, what's your answers, Win?” tanya Bright, mengungkit kembali soal pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.

Win menatap langit malam itu sembari terengah karena kelelahan. Ia tahu Bright begitu gigih dan akan terus menagih jawaban darinya. Pemuda itu tak lagi memiliki celah untuk kabur selain memberikan jawaban antara iya atau tidak.

Answer for what?” tanya Win balik, berlagak bodoh untuk mengulur waktu demi memastikan jawabannya tidak akan keliru.

For my questions.

What question?

Both questions.

Win terkekeh tanpa suara. Bright benar-benar mengingat semuanya dengan jelas.

Okay,” jawab Win.

Okay?” Bright menoleh ke arah Win yang terbaring di sebelahnya.

I mean, yes, I want. Stay in your apartment,” Win menjeda ucapannya sebentar untuk menoleh ke arah Bright. Mata keduanya saling bertemu, membentuk sebuah jalinan. Ketika telah menemukan kesungguhan dari sana, tanpa ragu ia melanjutkan, “and trying to get to know each other.

Bright tidak tahu perasaan apa yang kerap merundungi batin Win ketika tengah berhadapan pada momen manis seperti sekarang. Apakah sama seperti perasaannya kali ini? Perasaan menggelitik di dalam dada, bercampur padu dengan euforia yang meletup-letup bagai berondong jagung. Kadar dopamin dalam tubuhnya meningkat pesat. Degup jantungnya mencepat seolah mau meledak. Pada momen tersebut, yang dapat ia beri sebagai respons hanyalah sebuah senyum semringah, yang merekah bagai bunga di musim semi. Ia bersyukur karena di detik itu Tuhan masih memberikannya kemampuan untuk mendengar. Jawaban yang dihantarkan oleh baritone Win adalah wujud suara terbaik yang pernah ia dengar.

I'll keep my heart open for you, Mas Bright.