Dalam kesenyapan apartemen tempat ia berpulang, Bright kebosanan.

Ia bosan menunggu, menanti kepulangan teman kamarnya sejak beberapa waktu lalu. Alhasil, ia hanya duduk termenung memperhatikan kekosongan yang tercipta akibat ketiadaan sang taruna. Dan hal itu telah berlangsung sejak seminggu terakhir. Pada satu sisi, ia senang teman kamarnya, Win, telah mendapatkan kembali separuh kebahagiaannya dalam wujud sahabat, mereka yang rela ia kejar meskipun telah meninggalkannya sendirian pada keterpurukan. Tetapi ia salah ketika menganggap itu lazim lantaran kebahagiaan Win rupanya malah membawa kesedihan bagi Bright. Ia jemu menunggu. Ia cemburu karena harus menunggu.

Ekspektasi yang Bright bangun pada keputusan untuk membawa Win tinggal bersama dalam unit apartemen miliknya hanya bertahan dalam waktu beberapa hari. Asa itu sudah kedaluwarsa setelah mendapatkan nol timbal balik. Win yang diharapkan resiprokal malah menghilang bak ditelan ombak pasang. Minimnya interaksi antara keduanya, bahkan ketika mereka berbagi kamar yang sama, membuat Bright gerah. Pada titik ini, jika terus-terusan demikian, bukan tidak mungkin suatu saat dirinya akan meledak.

Sejak hubungan Win dengan sahabatnya membaik, Bright hanya melihat batang hidung Win di pagi hari ketika ia terbangun dari tidur dan malam hari ketika ia hendak kembali tidur. Bahkan tak jarang, Win pulang ketika Bright sudah memejamkan mata, dan masih tertidur ketika Bright telah terjaga. Beberapa kali, Win muncul dengan keadaan mabuk seolah tidak kapok dengan alkohol yang pernah membawa petaka pada hidupnya. Sedangkan Bright masih belum kapok menunggu meskipun rasa bosan kerap melanda.

Begitupun kali ini. Sejak pukul tujuh malam setelah kepulangannya dari kantor, Bright menunggu. Ia beberapa kali mengirimi Win pesan namun tak ada sekalipun balasan dari sang penerima. Barulah ketika jarum pendek jam menunjuk ke angka sebelas, sosok yang dinantikannya muncul dari balik pintu masuk. Wajahnya tampak begitu lusuh akibat kelelahan setelah seharian minggat.

“Hei, Mas!” sapa Win, mengangkat sebelah tangannya ke udara, sembari berjalan melewati Bright yang tengah terduduk di meja makan.

Bright menjungkitkan kedua alisnya singkat sebagai sebuah respons perdana. “How was your day?” tanya Bright basa-basi.

Win berhenti melangkah di depan kulkas, mengambil botol air mineral lalu meminumnya hingga habis setengah. “Good,” jawab Win.

Setelah beberapa detik, tak ada kelanjutan atas balasan tadi. Padahal Bright berharap Win akan menanyakan hal yang sama pada dirinya, namun alih-alih, Win malah menjatuhkan bokongnya di sofa, mengerang lega seolah lelah di tubuhnya ikutan rontok.

Bright mencoba membiarkan itu berlalu. Ia lantas mengambil makanan yang dibelinya di perjalanan pulang, lalu memanaskannya sebentar dengan microwave. Ia memang bermaksud hendak memakannya bersama Win ketika ia pulang nanti.

“Win, ayo makan,” ajak Bright. Ia mengeluarkan makanan tersebut dari dalam microwave dan memindahkannya ke atas piring.

Sembari masih mempertahankan posisinya di sofa, kepala Win menoleh ke arah dapur, tempat Bright berpijak. “Mas aja. Saya tadi udah makan sama anak-anak,” balasnya.

Bright menghentikan kegiatannya ketika mendengar ucapan Win. Tiba-tiba saja, nafsu makannya menghilang walau perutnya kosong.

“Padahal saya sengaja nunggu kamu supaya bisa makan bareng,” ujar Bright, nada bicaranya terkesan datar, namun di balik itu ia memendam kekecewaan yang mendalam. “It's been a week? Since you make up with your friends and since you ditch me for them. I'm kinda sad but, I'm glad you've reconcile with them. I think I'm just a bit jealous because I don't get to be with you as long as them,” lanjutnya sejujur mungkin.

Kalimat yang dilontarkan Bright seolah menghabisi Win dengan telak. Pemuda itu tak lagi bisa menyandarkan pundaknya pada sofa dengan leluasa, lantas posisi tubuhnya kini menegak seiring dengan bulu kuduk. Ia baru tersadar setelah mendapat tamparan halus dari Bright, bahwasanya ia terlalu asyik dengan dunianya sejak seminggu terakhir. Ia merasa telah bertindak lancang kepada orang yang memberikannya tempat untuk bernaung.

“Maaf, Mas. Saya nggak maksud mengabaikan Mas,” ujar Win, menelan ludahnya berat. “Are you mad at me?” tanyanya hati-hati.

Bright mengambil langkah menuju ke ruang tengah, tempat di mana Win tengah terduduk di sofa tunggal. Pemuda itu menaruh kedua tangannya pada masing-masing sisi lengan sofa seiring dengan tubuhnya yang semakin mencondong ke arah orang yang mendudukinya. Hal itu otomatis membuat Win, orang yang menduduki sofa tersebut, perlahan memundurkan tubuhnya berlawanan dengan pergerakan Bright. Punggungnya kembali tersandar pada sandaran sofa. Wajahnya menegang mendapati wajah yang lebih tua kini berada persis di depan fokusnya.

Do I look like I'm mad?” tanya Bright balik.

Win gelagapan. Tak ada kata yang berhasil terlontar dari balik bibirnya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

You smell like a cigarette,” ucap Bright. Dari jarak antara keduanya yang tak lebih dari sepuluh senti, ia mampu mencium aroma khas rokok menguar dari balik mulut Win. “Did you smoke?

A few,” jawab Win.

I thought you're a good boy,” ujar Bright.

“Terkadang, saya butuh…. To clear my mind.” Win memang seorang hipokrit, kerap ingin menyandang titel anak baik walau perangainya berkebalikan. Ia mengakui itu, karena ada kalanya sang pemuda butuh distraksi. Hidup sebagai anak dari ayahnya dirasa berat untuk dijalani tanpa adanya eskapisme sama sekali. “Kenapa bertanya?” tanyanya kemudian.

I'm trying to know you better,” balas Bright sembari mengelus kepala Win dengan sebelah tangan—hal yang kerap ia repetisi seolah telah menjadi kewajiban. Ada sejumput satire yang kentara dalam kalimat tersebut. Lagi-lagi menyinggung soal usaha pendekatan yang tengah dilakukannya bersama dengan Win.

Win kalah telak dua kali. Ia tahu betul ke mana arah konversasi itu berjalan. Sekali lagi, menyadarkan sang pemuda bahwa keduanya punya agenda yang harus dilaksanakan. Bodohnya, ia sendiri yang menyetujui hal itu, memberi ratifikasi pada perjanjian antar dua pihak. Tetapi ia pula yang mengabaikannya seolah ajakan untuk melakukan pendekatan itu tidak pernah ada.

I'm sorry,” kata Win meminta maaf—lagi-lagi.

For what?” tanya Bright.

For not trying enough,” jawab Win.

Sejurus sirkumfleks miring terpeta pada bibir Bright. Tergelak kecil, merasa puas sebab yang lebih muda mampu menangkap satire pada kalimatnya.

Then, do you need help to try to know me better?” Kalimat itu meluncur dari balik bibir Bright dengan nada bicara rendah sarat akan goda.

Dengan masih mempertahankan posisi tubuhnya, Bright memajukan kepalanya cepat. Tak membiarkan sekon terbuang, mendaratkan bibirnya pada milik Win, lantas melumatnya tergesa-gesa.

Win tak memberontak, alih-alih, meski tak mengantisipasi apapun sebelumnya, membalas ciuman yang Bright berikan dengan lumatan-lumatan lain. Kedua tangannya bergerak menjangkau pundak Bright, sedikit menariknya agar ciuman tersebut terasa semakin dalam. Manik sehitam jelaganya bersembunyi, ia memejamkan mata dan menikmati momen tersebut selama beberapa menit.

Bright sejenak melepas ciuman itu untuk menarik tangan Win, membuat raga sang pemuda beranjak bangun dari sofa yang semula didudukinya. Bright mendorong tubuh Win begitu saja ke arah dinding dengan keras, mengundang ringis pelan akibat benturan punggung yang lebih muda pada tembok. Tak ingin ada jeda yang terbuang sia-sia, Bright kembali melahap bibir Win. Kedua tangannya ia letakkan pada dinding sehingga tubuh Win kini berada di ambang tubuhnya.

Pertautan bibir itu berlangsung cukup lama, semakin intens di tiap detik yang bergulir tak mengenal jeda. Bright semakin bermain kasar dengan sesekali menggigit bibir kenyal Win, memicu erangan rasa sakit yang sepaket dengan erangan kenikmatan. Kedua tangan Win kini ia angkat lalu kunci pada tembok. Genggaman tersebut begitu kuat, menunjukkan bahwa dirinyalah yang berkuasa malam ini.

Sejemang kemudian, Bright menyudahi ciuman tersebut. Fokusnya tertuju lurus-lurus pada fokus Win, menjembatani huruf demi huruf lewat kontak mata sebelum bersuara betulan.

“Saya kira Mas nggak suka bau rokok,” ucap Win, menjadi yang pertama memberikan rangkaian huruf lewat suara.

Bright melepas cengkeramannya pada tangan Win, perlahan menuntun kembali kuasa yang lebih muda pada tempatnya. “Saya nggak pernah bilang,” responsnya, “you’re a good kisser anyway.

Win tak tahu harus besar kepala atau tidak. Namun, pujian itu sukses memicu munculnya semburat merah pada pipi prominen sang pemuda. Bright tersenyum melihatnya.

Kedua netra Bright kini berpindah fokus, memindai tubuh Win dari atas sampai bawah. Win merasa tengah ditelanjangi oleh tatapan mata tersebut yang selalu tampak tajam bak belati yang baru saja diasah.

“Apa?” tanya Win ketika fokus Bright kini kembali pada tempatnya.

I'm hungry. Can I eat you?” ucap Bright.

Eat what?!” Win terkejut, nada bicaranya agak meninggi.

You.” Kontradiktif dengan nada bicara yang lebih muda, Bright tampak begitu tenang ketika mengatakannya.

Win gelagapan. “Saya nggak pernah pacaran sama laki-laki sebelumnya.”

“Saya juga. Then what? You dated a girl before, right?

I mean…,” Win menjeda, “I never had sex before,” jawabnya pelan sembari memalingkan fokus dari Bright.

Bright tergelak kecil. “Really? A chic magnet like you?

Win mengangguk pelan. “But I never said I was a chic magnet.

Bright tersenyum miring. “Wanna try? Kamu cuma perlu diam dan menikmati. I’ll be gentle,” ucapnya tanpa beban sama sekali.

Sementara Win berubah kikuk. Kaki-kakinya melemas, tak lagi kuat menopang tubuh yang seketika diterpa rasa takut. Tengkuknya meremang bak direngkuh setan. Ajakan itu sama mengerikannya seperti berjalan melewati pemakaman di tengah malam sendirian. Bedanya, ia berdua dengan Bright kali ini. Dan, visual laki-laki itu jauh berbeda dengan hantu yang menghuni kuburan tadi. Meskipun ada penolakan dalam batinnya, hipokrit jika ia bilang ia tidak ingin mencobanya sekali sebelum mati, sebelum menjadi salah satu di antara hantu-hantu yang ia takuti.

“Tapi, saya belum ada persiapan apa-apa,” ujar Win implisit.

Dalam sejumput kepekaan yang dimiliki, Bright mampu menangkap makna implisitnya. Memang betul, anal sex tidak bisa sembarangan dilakukan tanpa adanya persiapan apapun.

I know. But sex is not only about penetration,” kata Bright, “tapi kalau kamu nggak siap, saya nggak maksa,” lanjutnya kemudian tersenyum tipis. Bright tidak ingin menaruh beban apapun pada Win meskipun pada akhirnya ia harus kembali meredam birahi yang belum sempat tersalurkan.

Tak mau membiarkan Bright terombang-ambing tanpa destinasi, Win memutuskan akan membuka jalan bagi yang lebih tua. Ketenangan dan ketidakburu-buruan yang Bright tunjukan justru membuat pemuda itu menginginkannya seutuhnya. Ada rasa aman yang muncul akibat telatah Bright, dari cara ia berbicara, dari cara ia meminta consent. Sedikit banyak Win tahu bahwa Bright bukanlah sosok sembarangan lewat perangai yang ia tunjukkan. Hal itu secara tidak sadar memenuhi agenda keduanya untuk saling mencoba mengenal masing-masing persona.

“Kalau saya mau... terus apa?” tanya Win, meluncurkan sebuah sirkumfleks miring pada bibir, tak langsung bilang setuju. Tabiat sang pemuda sebagai sosok penuh kegengsian tak dapat dihilangkan hanya dalam waktu satu malam saja. Lagi-lagi, berlagak sok tsundere bak protagonis dalam anime.

“Tsk!” Bright berdecak meremehkan. “You're still playing hard to get, huh?” Ia tergelak kemudian.

Senyuman miring Win masih bertahan untuk beberapa sekon sebelum bibirnya mendarat pada bibir Bright tanpa sebuah komando. Kedua netranya tenggelam dalam kegelapan, sementara bibirnya bergerak dalam tempo sedang sembari mengalungkan kedua tangannya pada leher yang lebih tua.

Bright tak ketinggalan dengan aksi yang lebih muda. Ia serta-merta membalas lumatan itu sembari merengkuh tubuh Win ke dalam dekapannya. Tempo keduanya kian meningkat seiring berjalannya waktu seolah dunia akan berakhir pada satu titik di keesokan hari.

Dekapan Bright pada tubuh Win ia lepaskan demi menuntun raga sang pemuda ke dalam kamar. Tubuh keduanya beringsut, namun bibir keduanya masih terpaut. Setelah sampai di depan kasur, Bright serta-merta mendorong dada Win hingga raga yang lebih muda mendarat di atas gumpalan kapuk tersebut.

Bright kemudian menaiki kasur itu, mengambil posisi tepat di atas tubuh Win. Bibirnya kembali ia daratkan pada yang lebih muda lalu menjalar ke titik lain mulai dari rahang, telinga, hingga leher. Setelahnya, Bright membuka kaus yang masih dikenakan oleh Win. Ia mendapati betapa indah figur tubuh bagian atas Win, lantas menghantarkan sebuah lumat dengan lidah pada sebelah puting pemuda beroman manis tersebut.

Suara desah menguar dari balik bibir Win sebagai manifestasi atas kenikmatan yang tengah ia rasakan. Sembari memejam, kedua tangannya bergerak menuju kepala Bright, meremas-remas rambut yang lebih tua seirama dengan pergerakan lidahnya.

Setelah sekian waktu, Bright kembali berpindah, kali ini menuju bagian bawah tubuh Win. Ia kemudian membuka ritsleting celana yang digunakan Win, menurunkannya hingga kejantanan sang pemuda tak lagi tertutup oleh apapun kain. Tangannya menjamah penis yang sudah menegang itu, membasahinya dengan liur lalu memberikan sebuah kocokan naik dan turun. Bright mengerling beberapa kali ke arah muka Win. Hendak mencari tahu reaksi yang diberikan oleh pemuda berwajah tampan itu.

How is it, Win?” tanya Bright penasaran.

Win menatap ke arah bawah, tepatnya pada Bright yang tengah memberikan servis pada organ vitalnya dengan tangan. Ia mengulum bibirnya, berusaha untuk tidak mengeluarkan banyak desahan.

Ya- uh- keep going, Mas,” respons Win tersendat-sendat karena desahan. Pemuda itu mulai menemukan kenikmatan yang kerap dielu-elukan orang. Ia kini tahu bagaimana hal itu dapat membuat banyak orang kecanduan.

Mendengar respons Win membuat Bright puas. Tak berhenti sampai di situ, ia kini melumat ujung penis Win, menjilatinya dengan lidah sampai setiap incinya basah semua. Tubuh Win mulai menggeliat karena sentuhan yang diberikan oleh Bright. Ia tak kuasa menahan sensasi itu, lantas mengerang keenakan hingga suaranya mendominasi seisi unit apartemen.

Pada tahap selanjutnya, Bright memasukkan penis Win seutuhnya ke dalam mulut, memberikan isapan selagi menaik-turunkan kepalanya. Desah yang keluar dari mulut Win makin menjadi-jadi. Rasanya, berbagai macam umpatan ingin ia keluarkan sebagai indikator bahwa dirinya sangat menikmati.

Fuck- keep going, Mas. I’m gonna cum!” racau Win.

Setelah beberapa waktu berlalu, Win akhirnya ejakulasi. Cairan kental berupa sperma menyembur, menandakan bahwa dirinya telah mencapai klimaks. Beberapa bagian masuk ke dalam mulut Bright, sisanya bermuncratan ke pakaian yang ia kenakan.

Is it okay?” tanya Bright sembari tersenyum.

Win mengerling ke arah Bright, mendapati yang lebih tua tengah tersenyum kepadanya. Jengah, wajahnya memerah bak tomat yang ranum.

Better than doing it alone,” respons Win yang mengundang Bright untuk tertawa.

So….” Bright merayap mendekati wajah Win. “Down for round 2?” lanjutnya seraya melepas pakaian yang ia kenakan sebelumnya.