Kehadiran Bright bukanlah satu-satunya kesialan bagi Win pagi itu.

Ketika tengah berjalan menuju indekos setelah membeli bubur untuk sarapan, ia mendengar suara desus berulang kali, kontan saja pemuda itu memelankan langkahnya dan menoleh ke segala arah untuk menemukan sumber bunyi-bunyian tersebut. Seperti dugaannya, desus tersebut diperuntukkan bagi sang pemuda dari seseorang yang ia kenal, yang kini tengah bersandar pada tembok gang sempit sembari mengisap sebatang rokok. Sosok itu, sosok dengan tampilan bawaan yang sangar, adalah salah satu persona yang masuk ke dalam daftar hitam Win. Bahkan kemunculan Bright pagi itu masih jauh lebih baik daripada batang hidung pribadi yang hendak dihindarinya itu.

“Bang Off?” sapa Win, pada sosok yang ternyata adalah Off, dengan raut wajah yang mengambarkan rasa terkejut juga takut.

Off mengambil satu tarikan dalam pada rokok yang terpaut pada bibir sebelum memberikan gestur tangan untuk menyuruh Win mendekat. Yang lebih muda lantas melangkah sesuai titah, menggeramus jarak yang semula tercipta di antara keduanya. Off mengeluarkan bungkus rokok dari kocek celana, kemudian mengambil sebatang dan memberikannya pada Win. Tatapan pemuda itu menyiratkan ketidakterimaan atas penolakan dalam bentuk apapun, yang membuat Win kontan mengambilnya tanpa berani berkutik.

Dengan bantuan Off, rokok pada bibir Win kini menyala. Ia menghela gulungan tembakau itu, diakhiri dengan sedikit terbatuk karena asap yang timbul setelahnya. Jujur saja, pemuda dua puluh satu tahun itu tidak pernah begitu akrab dengan bebauan tembakau yang menyengat masuk ke dalam hidung. Ia bukanlah seorang perokok aktif, atau anak laki-laki yang terjebak dalam doktrin toxic masculinity, yang melanggengkan gagasan bahwa maskulinitas laki-laki dapat diukur lewat sebatang rokok.

“Gimana?” Satu kata meluncur dari balik bibir Off setelah sebelumnya dibungkam oleh sebatang tembakau gulung.

Win tahu maksud dari pertanyaan tersebut. Ia tahu ke mana arah konversasi itu akan tertuju. Dalam jeda yang sengaja dibuatnya untuk berpikir, rokok di jarinya kembali ia isap dalam-dalam. Berlagak kasual demi menutupi rasa gentar yang memberondong di dalam dadanya.

“Rokok?” tanya Win, “terlalu keras.”

Off berdengus meremehkan. “Nggak usah pura-pura bego, deh.”

“Ini kan baru tanggal 27,” ujar Win.

“Gue kan udah bilang, kelamaan,” balas Off, nada bicaranya meninggi dibanding sebelumnya.

“Tanggal 30. Itu kesepakatannya.” Win bersikeras. “Lagi pula minggu lalu gue udah transfer 10 ribu baht,” lanjutnya.

Bisnis yang sedang ditekuni Win sempat terhenti karena ujian akhir. Ia baru terjun kembali setelah terbebas dari beban kuliah, tetapi 40.000 baht bukanlah jumlah yang sedikit untuk bisa ia kumpulkan dalam waktu beberapa hari.

Mendengarnya, air muka Off berubah berang. Rokok yang semula ia genggam kini dilemparnya ke tanah sebelum akhirnya melayangkan sebuah bogem mentah pada wajah Win dengan keras.

Win tak memiliki antisipasi apapun, kuatnya tinju Off berhasil membuat sang pemuda terjatuh sampai menumpahkan bubur yang baru saja ia beli ke mana-mana.

Tidak berhenti sampai di situ, kepalan tangan Off kembali menyinggung pipi Win. Bertubi-tubi, membabi buta menghantam wajah yang lebih muda.

“Bayar sekarang, sat!” seru Off di depan wajah Win. “Lo yang punya utang. Kenapa jadi gue yang harus susah-susah nagih kayak gini, hah?”

Sejenak, tak ada yang bisa dilakukan Win selain bertahan sembari mencoba untuk menghindar dari tinju yang dilayangkan oleh Off. Namun, mendengar hal tersebut, pemuda itu ikutan berang. Ia menendang Off hingga tubuh yang lebih tua terpaksa mundur, tak membiarkannya berlama-lama memegang kuasa. Dengan sisa-sisa tenaga yang terkuras nyaris habis akibat rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh, Win bangkit. Ia memberikan Off sebuah bogem balik. Satu pukulan yang mampu membuat seniornya kewalahan untuk sesaat.

“Itu karena lo nggak komit sama janji lo sendiri!” seru Win berteguh pada argumennya.

Kalimat Win barusan berhasil membuat Off tidak berkutik. Pada akhirnya, ia menyadari sesuatu bahwa perkataan Win tidaklah salah. Ia berhak mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya, tetapi di satu sisi ia harus mengacu pada kesepakatan yang telah dibuat oleh mereka berdua. Tindak tanduknya beberapa waktu tadi adalah manifestasi ketakutannya akan masalah pribadi yang juga menimpa dirinya sendiri. Bisa dibilang, ia sedang terpepet karena ayahnya terus mendesak supaya mobilnya segera diperbaiki.

Meski rasa kesal masih memuncaki segala emosi, Off memilih untuk tidak lagi berargumen dengan kekerasan. Membuat wajah Win bonyok sudah lebih dari cukup. Ia tidak mau anak itu mati sebelum melunasi utangnya.

Sebelum pergi, ia menepuk pundak Win. Kemudian berkata, “Gue tunggu tanggal 30.”