Win berharap pagi itu tidak akan pernah datang.

Namun pemuda itu bukanlah apa-apa dibanding Tuhan yang memegang kuasa atas segala apapun, termasuk terbitnya matahari kala itu.

Dari celah gorden, pendar baskara mengintip, menelisik wajah Win dengan lembut bagai usapan ibu. Hingga ia sadar hari telah berganti lagi.

Kedua netranya mengerjap-ngerjap. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengucek mata yang terasa berat untuk dibuka. Sejemang kemudian, penglihatannya kembali prima. Matahari bukanlah satu-satunya yang berseri pagi itu. Ia menemukan sosok Bright yang tengah tersenyum di hadapannya.

“Morning, Win,” ucap Bright, masih mempertahankan senyum semringahnya.

Win agak terkejut dengan pemandangan yang tidak biasanya ia lihat di pagi hari. Sehari-hari yang perdana ia lihat adalah tembok indekos yang dipenuhi dengan poster-poster acak mulai dari band, klub olahraga, sampai rumus-rumus ekonomi yang membuatnya lejar bukan main. Tetapi, ketidakbiasaan itu justru memicu tumpah ruahnya endorfin, memberikan warna yang belum pernah datang pada pagi-paginya yang telah lalu. Ia membalas senyuman tersebut dalam hati. Terlalu jengah untuk bersikap terang-terangan setelah apa yang terjadi kemarin malam.

“Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Win berlagak sinis.

“Karena kamu terlalu manis,” jawab Bright, “God, how can someone be this cute without even trying?” Senyum itu, senyum semringah yang telah singgah untuk beberapa waktu, masih terpasang apik tanpa oleng sedikitpun.

Mendengar kalimat tersebut membangkitkan senyum yang telah Win tahan-tahan untuk tidak muncul. Hatinya tergelitik. Perutnya terasa geli. Siapapun yang mendengarnya mungkin akan mendapat reaksi yang sama seperti yang dirasakan oleh tubuh Win kali ini.

“Kenapa nggak jadi pujangga aja?”

“Pujangga ngehasilin banyak uang?”

“Setidaknya ke-cheesy-an Mas bisa tersalurkan.”

“You won’t survive with only cheese.”

“I bet I can.”

Bright tertawa kecil. “I’ll keep being cheesy then.” Kemudian mengacak rambut Win yang memang sudah berantakan karena baru terbangun dari tidur.

Win tak berkutik. Seperti rasa nyaman yang datang dari kasur yang ia tiduri semalaman, tatapan teduh Bright juga demikian. Dari sana, ia menemukan rasa aman yang meliputinya dan ia tidak terusik sama sekali, justru sangat adiktif. Bagai narkotika yang membuatnya kecanduan, Bright juga demikian.

“Gimana ruamnya?” tanya Bright sembari menangkup pipi Win dan mengusapnya dengan ibu jari.

Win melirik ke dalam pakaian yang ia kenakan sebentar. “Hilang.”

“Good to know that,” respons Bright, “by the way, nggak ngampus?”

“Minggu tenang. Senin depan UAS.”

Bright mengangguk tanda mengerti. “Why don’t you go study then?” usapan ibu jarinya berhenti sejenak.

“Nggak perlu,” jawab Win besar kepala.

“Tsk!” Bright berdecak kemudian tertawa kecil.

“Mas nggak kerja?” tanya Win.

“Nanti.”

“Nanti kapan? Udah jam 7 lewat,” ujar Win sembari menjungkitkan dagunya menunjuk ke arah jam dinding yang terpatri di tembok kamar Bright.

“I wish I could stop the time just to be with you, Win.” Lagi-lagi, kalimat picisan terlontar dari balik bibir Bright.

Win senantiasa terlena. Sejujurnya, ia pun menyayangkan pergantian hari yang membuatnya terpaksa harus menyudahi momen elok tersebut. Namun apa daya, ia tidak bisa menghentikan waktu, menahan laju jarum jam yang bergulir tak kenal jeda. Pada akhirnya, ia harus melepas momen temporer tersebut yang sempat membuatnya mabuk kepayang.

“Saya pulang, ya.” Win bangkit lalu terduduk.

“Should I drive you home?” tawar Bright, mengimitasi posisi Win kali ini.

“You’ll be late,” jawab Win.

“I’m the boss.”

“Ck!”

Bright tertawa. “Setidaknya sarapan dulu di sini.”

“Okey dokey!”