Win gugup teramat sangat.

Di depan gedung perkantoran yang ramai akan pekerja, ia berdiri mematung menunggu teman-temannya datang. Hari ini adalah hari Selasa, tepatnya hari di mana ia harus melewati tahap wawancara untuk mendapatkan beasiswa lewat Gifted Program dari BV Consulting, setelah Senin kemarin melewati tahap tes tulis di gedung yang sama. Walaupun ini adalah kali kedua ia mengunjungi gedung itu, rasa takut masih tetap ada. Bukan semata-mata karena tes yang harus ia lewati, melainkan juga kemungkinan bahwa dirinya akan berpapasan dengan Bright di sana. Untuk sekarang—dan ia harap seterusnya, belum ada tanda-tanda kemunculan sosok sang CEO. Win tidak mau apa yang telah dipersiapkannya berantakan karena persona yang sudah ia putuskan untuk jauhi tersebut.

Beberapa waktu kemudian, JJ, Pluempong, dan Khaotung datang. Kesemuanya tampak seiras dengan seragam kampus. Demi acara hari ini, mereka bahkan menata rambut supaya terlihat bersih dan rapi. Hal tersebut menjadi indikator bahwa kesemuanya sungguh-sungguh untuk mengikuti program tersebut.

“Udah sarapan belom, Win?” tanya JJ.

“Belum,” jawab Win, “nggak selera.”

“Emang mau ketemu siapa, sih?” tanya Khaotung menggoda. Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Win sekarang.

Win memberikan gelagat seolah hendak memukul Khaotung. “Bacot banget gue tampol juga, nih.”

Untungnya, Pluempong dan JJ tidak menaruh atensi lebih pada percakapan implisit kedua rekannya itu.

“Eh, masuk, yuk! Keburu lift rame,” ajak Pluempong.

Letak kantor BV Consulting berada di lantai delapan gedung perkantoran itu. Dan sekarang adalah waktu di mana pegawai berdatangan untuk masuk ke kantor masing-masing. Keempat dari mereka lantas masuk, menaiki lift menuju lantai delapan. Hingga akhirnya mereka sampai ke tempat yang dimaksud.

Sesampainya di lantai delapan, terlihat banyak mahasiswa dengan pakaian hitam putih tengah menunggu sembari berbincang, memainkan ponsel, atau berdiri terdiam tak melakukan apa-apa. Namun, ada satu hal yang tampak seragam dari mereka, yaitu air muka dan bahasa tubuh yang menggambarkan kegugupan, yang juga dirasakan oleh Win sekarang.

Tak lama, seorang staff perempuan dengan papan jalan di tangan dan earpiece untuk berkomunikasi datang. Dari tanda pengenal yang tergantung di leher, terlihat jelas bahwa dirinya adalah pegawai BV Consulting bernama Fon.

“Gifted Program?” Fon bertanya secara sembarang, “Gifted Program? Yuk, ikut saya!” Setelah mendapat atensi dari mahasiswa yang tengah menunggu, perempuan itu mengajak kesemuanya untuk ikut ke dalam kantor. Ia membawa mahasiswa-mahasiswa tersebut ke sebuah ruangan meeting dengan meja memanjang yang dikelilingi kursi sebanyak kira-kira 30 buah.

Win dan kawan-kawan lantas mengambil tempat duduk bersebelahan.

“Selamat pagi, semua!” sapa Fon.

“Pagi!” respons kesemua yang ada di ruangan.

“Saya akan jelaskan mekanismenya, ya,” ujar Fon, “nanti saya akan panggil nama kalian satu per satu. Tidak perlu bawa apa-apa, kalian bisa titipkan barang bawaan ke teman atau saya juga boleh. Rileks aja. Jawab pertanyaan dengan santai namun tetap sopan dan baik. Ada pertanyaan?”

“Kak, pertanyaannya seputar apa, ya?” Seorang mahasiswa mengangkat tangannya kemudian melontarkan pertanyaan pada Fon.

“Seputar diri kalian, perkuliahan, dan sejenisnya. Tapi tiap peserta akan diberikan pertanyaan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana kalian menjawab umpan dari interviewer,” jawab Fon, “ada lagi?” Perempuan itu menyapu isi ruangan dengan fokusnya. “Gak ada lagi? Oke, saya tinggal dulu, ya. Jangan berisik, oke?” Karena tidak ada lagi yang mau bertanya, Fon lantas meninggalkan ruangan.

Win terduduk, tampak grogi, seraya mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja. Khaotung menyadari kegugupan temannya lewat gelagat yang begitu kentara, lantas bertanya, “You okay?”

“Gue takut ada Bright,” jawab Win sedikit berbisik.

Sejurus tawa tanpa suara meluncur dari balik bibir Khaotung. “Chill. Dia cuma orang asing di sini. Lo gak kenal sama dia,” responsnya, mencoba menenangkan.

Perkataan Khaotung tak berhasil membuat Win tenang. “Ck! Gak segampang itu anjir.”

Fon kembali ke ruangan tersebut untuk memanggil nama peserta pertama. Setelah giliran peserta pertama selesai, ia kembali melanjutkannya untuk peserta kedua dan seterusnya.

“Khaotung Thanawat Rattanakitpaisan?” Tiba di urutan ke-17, nama Khaotung dipanggil. Ia adalah yang pertama di antara kawan-kawannya.

“Woy, Khao!” JJ berseru.

“Huuuuuuu!” Win dan Pluempong ikut berseru.

“Jangan gitu, dong! Gue jadi degdegan,” responsnya seraya bangkit kemudian mengikuti Fon menuju ruang interview.

“Bener kan si Khaotung yang duluan,” ujar JJ pada rekannya. “Sini sini!”

“Ah, sial! Tadi gue mau megang Khaotung padahal,” ucap Pluempong sembari mengeluarkan uang dari kocek baju dan memberikannya pada JJ. Ternyata mereka saling bertaruh untuk siapa yang akan dipanggil duluan di antara keempatnya.

“Bangke JJ hoki banget,” ujar Win seraya memberikan sekian lembar uang pada JJ.

Beberapa waktu kemudian, Khaotung kembali ke ruang tunggu. Kedatangannya disambut dengan riuh oleh ketiga rekannya di sana.

“Gimana, gimana?” tanya Pluempong.

“Lancar,” jawab Khaotung sembari tersenyum.

“Duit, duit!” JJ menyodorkan tangannya pada Khaotung.

“Oh, iya anjir gue yang duluan.” Kemudian memberikan sekian lembar uang pada JJ.

“Eh, Khao.” Win menyenggol lengan Khaotung dengan sikutnya. “Ada Bright nggak?” tanyanya pelan.

“Nggak ada,” jawab Khaotung.

“Ah, sepik!” Win tak lantas percaya.

“Win Metawin Opas-iamkajorn?” Tahu-tahu, nama Win dipanggil.

Ketiga temannya memberikan sambutan yang tak kalah meriah dari sebelumnya.

“AYO NGAB SEMANGAT!” teriak JJ.

Win bangkit kemudian menaruh telunjuk di depan bibirnya, menyuruh teman-temannya untuk tenang karena ia malu menjadi pusat perhatian orang-orang di ruangan.

Sembari mengikuti langkah Fon, Win bertanya kembali untuk memastikan, “Kak, ada Pak Bright nggak, ya?”

“Nggak ada, Dek. Hari ini Pak Bright lagi meeting di tempat lain,” jawab Fon.

Mendengar hal tersebut, Win mengelus dadanya. Lega karena segelintir bebannya terangkat. Ia jadi lebih percaya diri dibandingkan sebelumnya.

x x x

Tepat setelah Khaotung keluar dari ruang interview, seorang eksekutif datang. Salah satu dari tiga staff yang menjadi pewawancara adalah Mike. Ia tampak terkejut melihat kedatangan sosok tersebut.

“Lo nggak meeting, Bri?” tanya Mike pada eksekutif tersebut yang ternyata adalah Bright.

“Di-cancel,” jawab Bright. CEO BV Consulting itu lantas duduk di bagian tengah kursi pewawancara. Ia ingin melihat sendiri bagaimana kualifikasi peserta yang mengikuti seleksi untuk Gifted Program.

x x x

Bright membuka kumpulan berkas peserta-peserta yang mendaftar. Kedua netranya membelalak melihat nama yang tidak asing di benaknya kala membolak-balik lembaran kertas tersebut. Bersamaan dengan itu, sosok yang dimaksud muncul di depan pintu masuk ruangan interview. Sosok itu adalah Win yang tidak ia sangka akan hadir di kantornya tersebut.

Win berjalan dengan percaya diri memasuki ruangan. Netranya mengedar ke penjuru tempat dan mendapati sosok Bright di kursi pewawancara. Tidak seperti dugaan yang telah dikuatkan oleh kesaksian Khaotung dan Fon, sosok yang ingin sekali ia hindari ternyata malah ada di salah satu kursi pewawancara. Sontak saja pemuda itu terperanjat. Tanpa sengaja, Win terserimpet kakinya sendiri. Kontan saja pemuda itu jatuh terjerembap ke lantai.

Pewawancara yang ada di sana kaget karena Win tiba-tiba saja jatuh. Bright baru saja hendak bangkit dari kursinya untuk menolong, namun Win telah lebih dahulu bangun dan duduk di kursi di seberang meja pewawancara. Win menunduk karena malu bukan main. Bright menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum karena kejadian barusan.

“Kemunculan yang sangat menarik, ya,” ujar Mike berkelakar sebagai pembuka pembicaraan. Kalimatnya membuat pewawancara lain terkekeh-kekeh kecil karenanya.

Win tersenyum kikuk. Matanya mencuri pandang sebentar ke arah Bright yang berada tepat di sebelah Mike, yang kini tengah memerhatikannya sembari tersenyum. Senyum itu, senyum yang sama yang ia lihat di pagi ketika ia terbangun di kamar Bright. Win lantas memalingkan pandangannya ke arah lain karena otaknya tak akan berhenti memainkan rekam memori itu jika terus-terusan berfokus pada sosok Bright.

“Perkenalkan diri kamu,” titah salah satu pewawancara.

“Nama saya Metawian Opas-iamkajorn, biasa dipanggil Win. Saya mahasiswa tahun ke-4 jurusan ekonomi di Thammasat University,” respons Win atas perintah tersebut.

“Kenapa kamu mendaftarkan diri untuk Gifted Program?” tanya pewawancara.

Win tidak mungkin membeberkan intensi awalnya mengikuti program tersebut bahwa ia membutuhkan uang untuk membayar utang pada Off, juga karena uang jajannya dikurangi akibat turunnya nilai di semester 6 kemarin. Ia memutar otaknya untuk menemukan jawaban terbaik supaya dapat memuaskan para pewawancara.

“Papa saya sangat strict soal nilai yang saya dapat karena beliau menginginkan saya lulus dengan IPK memuaskan. Kalau saya berhasil lolos, saya akan menggunakan uangnya untuk mengikuti pelajaran tambahan di luar kelas,” terang Win mencoba menjawabnya senatural mungkin.

“Kamu yakin kalau ikut pelajaran tambahan di luar kelas akan membuat nilai kamu bertahan dan nggak turun lagi?” Bright bertanya.

“Lagi?” Win berbicara pada dirinya sendiri dengan volume yang sangat pelan. Bagaimana Bright bisa tahu kalau nilainya turun? Lalu ia teringat bahwa laki-laki itu baru saja mengikutinya di Twitter. Ia pasti membaca satu per satu cuitan yang Win buat di akun media sosialnya tersebut. “S-saya yakin!” ujar Win gagap.

“Dari apa yang saya lihat, sepertinya kamu mudah terdistraksi oleh sesuatu. Bukan begitu, Win?” tanya Bright lagi. Seperti dugaan Win, ia memang menyelami lini masa pemuda itu cukup dalam. Rangkaian tweet yang dibuat oleh Win mampu dideduksi ke dalam sebuah konklusi untuk tiap-tiap peristiwa. Ia meyakini bahwa dirinya turut andil dalam turunnya nilai Win di semester sebelumnya.

Mike menyadari bahwa ada ketegangan antara Bright dan Win yang sudah menyangkut pada urusan personal satu sama lain. Kepalanya bergeser ke arah Bright, kemudian membisikkan sesuatu pada bos—yang juga adalah sahabatnya itu, “Calm down, Bang. Calm down.”

Win seperti tertangkap basah. Ia merasa ditelanjangi lewat analisis yang Bright lakukan terhadap dirinya. “Itu karena saya sensitif,” jawab Win yang secara tidak langsung adalah satire untuk Bright yang dianggapnya tidak sensitif. “Terkadang saya membenci sisi diri saya yang seperti itu. Tetapi, banyak hal positif yang bisa saya lakukan karena sensitivitas tersebut misalnya saya jadi lebih mengerti tentang perasaan orang lain dan lebih mudah berempati,” lanjutnya. Tiba-tiba saja, kepercayaandirinya meningkat pesat.

Mendengar jawaban tersebut, Bright tersenyum miring. Ia merasa bahwa Win tengah menyinggungnya.

Win kemudian mulai dicecari dengan berbagai pertanyaan lain seputar kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. Banjir pertanyaan itu dapat ia atasi dengan baik tanpa rasa gugup seperti di awal wawancara. Setelah dua puluh menit berlalu, sesi wawancara tersebut selesai. Win berpamitan lalu keluar dari ruangan.

“Such a strong participant,” ujar Bright merasa puas dengan penampilan Win.

“Lo liat ini, deh!” Mike menunjukkan sebuah kertas yang berisi hasil tes tulis Win kemarin. “Nilainya termasuk salah satu di antara yang tertinggi.”

x x x

Setelah keluar dari ruang interview, Win bersandar pada tembok. Tubuhnya terasa sangat lemas dengan keringat yang bercucuran dari kening. Ia menghela napas dalam-dalam sembari memegangi bagian dadanya yang berdegup dengan sangat kencang. Pemuda itu tidak bisa membedakan faktor mana yang membuatnya gugup setengah mati di dalam ruangan tersebut. Ia tidak bisa membedakan apakah sesi wawancara itu atau malah Bright yang menjadi pemicu rasa grogi tersebut.

Win tidak langsung kembali ke ruang tunggu dan menemui teman-temannya di sana. Alih-alih, ia melangkah mencari toilet untuk mencuci muka dengan maksud supaya rasa penatnya luntur semua. Ketidaktahuannya atas letak toilet di lantai gedung tersebut membuat sang pemuda mengambil jalur secara acak mengikuti perasaannya saja. Tidak ada orang lewat yang dapat ia tanya perihal letak toilet yang sedang dicari-carinya.

Ketika tengah melangkah menuju entah ke mana, tahu-tahu ada yang menarik tangan Win dengan kuat, membawa raga sang pemuda ke dalam sebuah ruangan berukuran 2 x 2 yang diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Win terkejut bukan main atas tarikan tersebut. Tak lama, ia menyadari bahwa Bright adalah orang yang menariknya ke dalam ruangan tersebut.

“What the fuck!” Win mengutuk Bright atas perlakuan yang lebih tua seraya mencoba melepaskan cengkeraman Bright pada sebelah tangannya.

Bright mengunci pintu ruangan yang disesaki banyak barang itu dari dalam, sementara sebelah tangannya masih menggenggam milik Win dengan erat. Ia kemudian memajukan tubuhnya, membuat Win serta-merta memundurkan raganya hingga tersudut, punggungnya tersandar pada rak tempat penyimpanan barang.

“Language, please.” Satu kalimat yang terlontar dari balik bibir Bright telah mampu membuat Win bungkam.

Tatapan Win tampak gusar. Perlawanan masih coba ia kerahkan untuk melepas kekang pada tangannya.

“I don’t know that you’re applying for this program.”

“Emangnya saya harus izin dulu?”

“Saya tau kamu bohong soal intensi kamu untuk ikut program ini.”

Win menelan ludahnya berat. “Jangan berlagak ngerti soal saya.”

“Why don’t you reply my messages?” Bright mengalihkan topik ke arah lain.

“Hak saya buat nggak bales.”

“Hak saya juga buat dapet balesan dari kamu.”

“Tsk!” Win berdecak mendengar jawaban dari Bright.

“Tell me something that this insensitive-ass don't know, Win,” ucap Bright mengungkit satire Win tentang bagaimana dirinya tidak memiliki sensitivitas. Ia ingin tahu apa yang ada di benak Win sekarang. Ia ingin tahu mengapa Win tampak seperti tengah menghindar darinya sekarang.

“Why don't you figure it out yourself?” jawab Win.

Sebelah tangan Bright yang bebas kini ia tempelkan pada rak yang disandari oleh Win, membuat raga yang lebih muda terbarikade oleh milik yang lebih tua. Seketika, udara di sekitar Win kian memanas. Pasokan oksigen seolah makin menipis. Butuh usaha lebih bagi sang pemuda untuk menghela napas dari minimnya jarak yang tercipta antara Bright dan dirinya kini.

“What do you want?” tanya Win gelagapan.

“I want you, Win,” jawab Bright dengan nada bicara rendah yang membuat suaranya terdengar lebih berat.

Seketika, Win merasakan perasaan itu lagi; emosi fluktuatif yang kerap membuatnya goyah dan terlena akan kalimat picisan Bright. Sejurus kemudian, ia akan terpesona oleh binar pada mata yang lebih tua. Namun kali ini baginya, ungkapan tadi hanyalah sebuah omong kosong semata. Pemuda itu masih berusaha untuk berkelit-kelit tolol akan perasaan yang tengah membombardir dirinya dari dalam.

“Tolong nilai performa saya seobjektif mungkin, ya.” Kalimat itu mengiringi pemberontakan Win terhadap agresi Bright. Menandakan bahwa sang pemuda tidak lagi menerima segala tipu daya yang dikerahkan oleh yang lebih tua. Dengan paksa, Win melepas cengkeraman Bright pada tangannya. Pemuda itu lantas pergi meninggalkan ruangan dan juga Bright beserta kalimat picisannya.