Win kelimpungan ketika ayahnya bilang sedang ada di Bangkok.

Apa lagi ketika hal pertama yang ditanyakan adalah keberadaan Win di indekos. Sudah lebih dari satu minggu ia tinggal di apartemen Bright. Tidak mungkin Win berterus terang pada sang ayah karena dirasa hanya akan memicu perang.

Tepat setelah pesan terakhir ia kirim pada sang ayah, Win bergegas pergi menuju tempat di mana ayahnya kini berada. Jarak yang memisahkan antara apartemen dan destinasi terbilang agak jauh. Win memutuskan untuk menaiki bus supaya lebih irit namun tetap bisa sampai tepat waktu.

Setelah sekitar 30 menit, bus tersebut membawa raga Win sampai pada halte destinasi. Dari sana, ia berjalan memasuki kawasan kompleks perumahan dan sampai pada rumah yang dituju.

Mobil ayahnya terparkir di depan gerbang rumah itu, rumah yang tidak terurus dan tampak seperti berhantu. Dedaunan kering menutupi pekarangan rumah, sementara temboknya tertutupi debu setebal sekian senti. Namun wujud rumah itu masih terlihat sama, membuat Win teringat akan masa lalu ketika ia kecil tinggal di sana sampai usia sepuluh tahun. Rumah itu adalah rumah peninggalan kakeknya, dan terpaksa harus ditinggalkan lantaran Win sekeluarga pindah ke Pattaya.

Pemuda itu lalu membuka gerbang rumah yang sudah reyot, memicu bunyi kiang-kiut yang memancing ayahnya untuk keluar dari dalam rumah.

“Pa!” sapa Win seraya melangkah mendekat pada sang ayah.

Sebuah dekapan singkat diberikan oleh sang ayah sebagai sapaan perdana secara langsung setelah satu semester mereka tidak bertemu.

“Vespa-mu ke mana?” Adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh sang ayah. Ia menyadari ketiadaan wujud vespa, yang seharusnya Win bawa, di depan rumah.

“Ah, anu…,” Win menjeda, memikirkan dalih terbaik yang akan dipercaya oleh ayahnya, “lagi dipinjam Khaotung.”

“Awas ya rusak. Papa nggak mau beliin lagi,” ucap ayahnya memberi peringatan.

Win hanya mengangguk seraya tersenyum atas wanti-wanti tersebut. Padahal, Vespa-nya sudah kepalang rusak karena menabrak mobil Off.

“Papa ngapain ke Bangkok?” tanya Win setelahnya.

Ayahnya mengambil posisi duduk pada bangku di depan pintu rumah setelah membersihkannya dengan tangan sekenanya. Win serta-merta mengimitasi pergerakan ayahnya itu, lalu mengambil tempat persis di bangku sebelahnya.

“Ada urusan bisnis,” jawab sang ayah, “sedang ngurus keperluan untuk buka cabang di sini,” lanjutnya.

Iris mata Win merekah menunjukkan sebuah kegembiraan. “Wah, selamat ya, Pa!” ujarnya memberi selamat karena akhirnya bisnis ayahnya dapat berkembang.

Sang ayah tersenyum kecil. “Untuk saat ini, masih urus tempat buat cabang pertama. Kemungkinan akan buka sebulan-dua bulan lagi kalau lancar,” ucapnya.

“Pertama? Wuih, berarti mau buka banyak dong,” ucap Win seraya bertepuk tangan. Nada bicaranya menunjukkan bahwa ia bangga dengan pencapaian sang ayah.

“Makanya Papa sama Mama mau pindah kemari lagi,” ucap sang ayah, menepuk-nepuk lengan kursi yang sedang ia duduki, secara implisit menunjukkan bahwa tempat yang dimaksud adalah rumah ini.

“HAH?” Win terkejut dengan informasi yang ia terima barusan. “Pindah ke sini maksudnya, bener-bener pindah yang 'pindah' gitu?” tanyanya memastikan bahwa pendengarannya tidak bermasalah.

“Iya, dong!” respons sang ayah. “Toko di Pattaya udah ada yang pegang. Karena skalanya bakal luas di sini, makanya Papa pindah ke Bangkok lagi.”

Kegembiraan yang semula Win rasakan sirna ketika mengetahui fakta bahwa Ayah dan Ibunya akan tinggal di Bangkok lagi. Alih-alih senang, fakta itu adalah awal dari petaka yang akan menghantui hidup sang taruna. Bukannya apa-apa, tinggal sendiri di rumah indekos membuat Win leluasa untuk melakukan apa-apa. Tinggal bersama orang tua tidak pernah semenyenangkan itu bagi Win. Meskipun sudah menginjak kepala dua, kedua orang tua, terutama sang ayah, masih memperlakukan sang pemuda bagai anak yang belum balig. Dan itu bukan suatu hal yang bagus karena artinya hak Win untuk melakukan sesuatu akan dibatasi seperti anak sepuluh tahun.

“Oh, gitu…,” respons Win sekenanya. Wajahnya tampak kikuk setelah mendengar ucapan ayahnya barusan.

“Loh, kenapa? Kayak nggak senang begitu,” ucap sang ayah menangkap ekspresi wajah Win yang berubah nyaris seratus delapan puluh derajat.

“Seneng kok, Pa. Seneng banget!” dalih Win dengan nada bicara yang ia buat-buat. “Kapan pindahnya?” tanyanya kemudian.

“Minggu depan.”

“Hmm, cepet, ya….”

“Kamu juga kemasi barang-barang kamu. Rumah ini harus udah bersih dan rapi sebelum kamu masuk kuliah lagi,” titah sang ayah.

Win mengangguk. “Siap, Pa!”