Win membenci hari itu sejadi-jadinya.

Hari ketika kumulonimbus menjelma sebagai perusak tatanan jagat raya. Bagaimana bulir-bulir presipitasi itu menghunjam rataan bentala tanpa ampun. Tidak ada celah yang disisakan. Inci demi incinya terguyur kuyup-kuyup.

Tidak terkecuali dirinya.

Win telah mencoba berbagai metode untuk menghindar dari hujan yang turun tanpa permisi. Sayang seribu kali sayang, upayanya tidak dapat melampaui kuasa bumantara yang tengah dirundung masygul. Ia memang tidak seapes pohon tanjung yang nyaris roboh dihantam hujan, tetapi peristiwa alam yang datang tanpa undangan itu menghambat lajunya menuju apartemen Bright yang dapat ditempuh selayang dari halte seberang jika saja langit malam itu bersahabat. Padahal ia tinggal perlu mengayunkan kaki jenjangnya beberapa puluh kali tanpa keringat sebutir pun untuk mencapai unit milik klien langganannya tersebut.

Sekon demi sekon senantiasa melenggang jauh meninggalkan sang pemuda dalam kondisi stagnan. Apa yang harus ia lakukan ketika pukul 8 lewat begitu saja lantaran horizon tak kunjung tenang jua? Sebagaimana ia membenci hujan, pergerakan waktu yang sia-sia merupakan musuh sejati. Baginya, waktu bukanlah lagi uang, melainkan nyawa yang begitu berharga melebihi apapun di dunia.

Tanpa diduga, semesta masih memihak Win. Di tengah derai hujan yang menyita atensi, sesosok perempuan datang menyodorkan payung ke arah pemuda itu. Sendi lehernya lantas bergerak hingga kedua netranya mendapati sosok tak asing dari kedai kopi beberapa waktu lalu. Entah takdir macam apa yang mempertemukan keduanya dalam momen buruk lain di bawah kanopi halte tersebut.

“Pake aja, saya bawa dua payung,” ujar gadis itu, masih mengulurkan tangannya ke arah Win. Deja vu. Mengingatkannya akan tangan yang sama yang menepis niat baiknya untuk membantu kemarin.

Win bergeming. Perdebatan itu seharusnya tidak terjadi, perdebatan yang terjadi antara kepala dan hati. Di satu sisi, ia ingin mengambil payung tersebut. Di sisi lain, ia gengsi.

Namun, perempuan itu nampak sungguh-sungguh. Tak sedikitpun tangannya bergerak untuk mengurungkan niat baik tersebut. Tak kunjung dibalas, gadis itu lantas menarik tangan Win. Menghantarkan payung yang ia bawa kemudian berlalu tanpa sepatah kata apapun.

Win menatap payung itu kosong. Sejemang, pikirannya terbang entah ke mana, heran dengan takdir yang mengikutinya sampai sejauh itu. Akhirnya ia melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda karena hujan dengan payung pemberian tersebut. Lagi-lagi, secara tidak langsung, Bright membantunya melewati sesuatu.

Beberapa langkah yang diambil telah membawa Win ke depan unit milik Bright. Tanpa menunggu apapun, ia lantas mengetikkan kata sandi untuk membuka pintunya. Ketika barikade tersebut terbuka, ia disambut oleh pemandangan Bright yang tengah mengikat tali sneakers. Pemuda yang lebih tua itu tampak rapi dengan pakaian kasual yang terbalut jaket tebal ber-hoodie.

“Loh, mau ke mana?” tanya Win. Padahal ia baru saja sampai setelah terjebak hujan di luar selama beberapa menit.

“Supermarket,” jawab Bright. Setelah selesai memasang sepatu, ia lantas bangkit menyejajarkan posisinya dengan Win.

“Padahal saya baru sampe. Masa mau ditinggal lagi,” ucap Win kecewa.

“Emangnya saya bilang mau ninggalin kamu sendirian?” balas Bright.

Win baru tersadar akan hal itu. “Tapi di luar hujan,” ujar Win.

“Ada payung, jas hujan. Lagipula naik mobil,” balas Bright lagi.

Win lupa. Bahkan kalau mau, Bright sendiri pun bisa menghentikan hujan di malam itu.

Bright mulai melangkah kemudian menarik lengan Win keluar dari unit. Kaki Win mau tak mau terseret bersama, kembali melewati jalur yang barusan ia lewati untuk sampai ke unit milik Bright.

Langkah itu membawa keduanya ke parkiran bawah tanah gedung. Setelah menemukan mobilnya, Bright membukakan pintu ke kursi depan penumpang untuk Win. Sebetulnya Win merasa tidak enak, bagaimana kliennya memperlakukannya seperti orang penting. Namun ia tidak mau membahasnya karena hanya akan membuang-buang waktu dan energi.

Sesudah keduanya naik, mobil itu mulai berjalan meninggalkan gedung apartemen. Hujan deras pun tersibak dengan laju kendaraan yang kencang di malam yang dingin itu.

Sejenak, tidak ada suara yang terdengar selain deru mobil yang beradu dengan hujan malam itu. Win hanya terduduk canggung dalam mobil mewah Bright sambil memegang payung. Seolah ragu untuk membuka suara mengingat kejadian kemarin, takut-takut Bright yang malah menyenggolnya kembali ke permukaan.

Bright tidak menyukai diam tersebut. Alih-alih memilih untuk tetap bungkam, ia mencoba membuka konversasi dengan yang lebih muda. “Why don’t you talk?”

Win sedikit terperanjat mendengar suara yang lebih tua. “About what?” responsnya selagi berharap bahwa Bright tidak menyadari kecanggungannya.

“Everything.” Karena sejujurnya, Bright selalu menyukai apapun yang keluar dari bibir Win.

“Bingung.” Respons tak memuaskan yang keluar dari mulut Win.

“Tentang semalam-”

“SEMALAM APA?” Tiba-tiba Win berubah defensif. Air mukanya nampak panik. Ucapan Bright ia interupsi begitu saja karena takut topik yang ingin dihindarinya akan terangkat kembali.

Bright mengerling sedikit ke arah Win. Ia menyadari sikap defensif itu dengan sekali tebak. Terlalu gamblang, pikirnya. Pemuda itu tersenyum geli dibuatnya. “Saya cuma mau nanya, kamu pulang dengan selamat, kan?” lanjut Bright dengan nada bicara santai yang kontradiktif dengan respons Win barusan.

Win terlalu cepat mengambil kesimpulan akan hal itu. Ia sedikit malu dengan buruknya kontrol suara yang keluar dari balik mulutnya barusan. “I-iya,” ucapnya pelan.

Jarak apartemen dan swalayan tidaklah jauh. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit bagi mereka untuk sampai ke destinasi. Setelah memarkirkan mobil, keduanya berjalan menuju bagian dalam swalayan dengan payung masing-masing.

“Kamu suka makan?” tanya Bright, “maksud saya, di luar makan sebagai kebutuhan primer,” lanjutnya sembari mengambil troli belanja.

Win mengangguk. “Suka.” Ia kemudian mengikuti langkah Bright menuju rak-rak yang memajang bahan makanan.

“Pasta?” Bright mengambil satu bungkus spaghetti dan menunjukkannya pada Win.

“Suka,” jawab Win.

“Beef or seafood?”

“Everything.”

Bright terkekeh kecil. Win ikut tersenyum karenanya.

Keduanya kemudian mengambil langkah menuju bagian yang menjual produk hewani segar. Bright memutuskan membeli sirloin dan udang pada akhirnya.

“Bright!” Terdengar suara berat khas pria dewasa memanggil namanya. Bright menoleh, begitupun Win, ke arah datangnya suara.

“Pak Aof,” sapa Bright setelah mengetahui identitas orang yang memanggil namanya.

“Udah lama saya nggak liat kamu,” ujar pria paruh baya yang dipanggil Pak Aof tersebut.

Bright tersenyum. “Biasa, Pak. Kerjaan,” balasnya.

“Hahaha sudah saya duga,” ia tertawa, “ngomong-ngomong, kamu bawa siapa?” tanya Pak Aof sembari melirik Win yang tengah berdiri di sebelah Bright.

“Oh, he's my brother,” jawab Bright.

“Brother? Saya nggak tau kamu punya brother,” ucap Pak Aof.

Bright hanya tersenyum sebagai respons atas ucapan pria paruh baya itu.

“Ok, lanjutkan, ya. Saya duluan.” Pria itu lantas berlalu sembari melambaikan tangan.

“Hati-hati, Pak,” ucap Bright kemudian.

“Brother?” Win terkekeh.

“Should I tell him you're my cuddle bud?” tanya Bright sembari menyeringai.

“Better not. Ayo lanjut, my bro,” ucap Win menggoda.

Bright menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. “Buy everything that you want, my bro.”

Keduanya masih berkelakar hingga acara belanja tersebut selesai. Mereka kembali ke apartemen Bright dengan beberapa kantong belanjaan besar. Setelah menaruh kantong-kantong tersebut di atas meja dapur, Win menaruh tasnya di atas sofa kemudian duduk karena kelelahan.

“Saya buatin makanan, ya,” ujar Bright sembari menaruh kantong belanjaan yang tersisa ke atas meja dapur.

“Saya bantu.” Win bangkit berdiri dari sofa hendak menghampiri Bright.

“Duduk aja,” balas Bright cepat. Membuat Win akhirnya kembali duduk di sofa.

Win menyandarkan punggungnya, mencari peletakan senyaman mungkin untuk mengistirahatkan tubuhnya. Intensitas hujan masih tetap sama, deras dan keras. Namun dari sini, derunya tidak terdengar terlalu kentara. Begitu kerasan karena terasa lebih tenang dan hangat dari suhu udara di luar sana.

Sedangkan Bright tengah sibuk menyiapkan alat dan bahan untuk memasak. Dengan kemampuan masak yang biasa saja, ia memutuskan untuk membuat spaghetti aglio olio dan sirloin steak, dua masakan yang paling sering ia masak jika sedang malas makan di luar.

“Ngomong-ngomong, gimana soal pacar Mas?” Win membuka suara. Kini ia bersandar di sofa sembari memainkan handphone.

Bright melirik ke arah Win sebentar dari dapur. Sedang tangannya masih sibuk memanaskan bahan untuk membuat spaghetti di atas pan. “Saya udah coba buat meminimalisir komunikasi,” jawabnya, “dan udah terhitung 4 hari saya nggak ketemu sama dia.”

Win menurunkan layar handphone dari pandangannya. “Karena saya?” Ia menyadari itu karena 4 hari lalu adalah kali pertama mereka bertemu untuk sesi cuddle.

Bright mengangguk. “Iya.”

“Berarti saran saya manjur, dong,” ujar Win tampak bangga.

Padahal di sisi lain, ada sesuatu yang lebih manjur ketimbang nasihat yang diberikan Win kala itu. Sesuatu yang kini balik mengganggu pikiran Bright setelah Win yang tidak bisa tidur semalaman beberapa waktu lalu.

“Anyway, Win. Ada dessert box di kulkas. Makan aja. Sambil nunggu saya selesai,” ucap Bright.

Tanpa pikir panjang, Win bangkit berjalan ke arah kulkas yang letaknya tidak jauh dari posisi Bright. Ia mengambil dessert box yang didominasi dengan cokelat itu dan membawanya ke meja makan di depan countertop dapur.

Win lantas menyendok isinya, lalu memakannya langsung. “Hmm,” ia bergumam dengan mulut yang penuh dengan makanan, “enak banget,” ujarnya.

Bright memperhatikan Win yang terlihat lahap memakan dessert box tersebut. Ia tersenyum senang karena pemuda berwajah manis itu menyukai makanan yang sengaja ia belikan tadi sore sepulang kerja. Makanan yang mengingatkannya akan Win dan rentetan telatahnya yang manis. Bagaimana seorang persona dapat membuatnya giung hanya dengan sekadar memandangi.

Beberapa menit berlalu, akhirnya makanan yang dibuat Bright telah jadi. Selagi panas, ia menghidangkannya di atas meja makan lengkap dengan jus sebagai pendamping.

“Wuih!” ucap Win takjub dengan pemandangan yang ada di depannya.

“Coba, Win. Kalau nggak enak bilang aja,” ucap Bright.

Yang pertama Win coba adalah spaghetti. Ia menyeruput spaghetti tersebut tanpa membiarkannya putus. Selagi mengunyah, pemuda itu memejamkan matanya sejenak menikmati makanan yang ada di mulutnya. “Enak banget serius,” ucap Win setelah makanan yang ada di mulutnya habis.

Bright tersenyum. Ia belum memulai makan sampai Win bilang masakannya enak. Pemuda itu lantas menyantap hidangan yang telah disajikannya di atas meja.

Ketika Win bilang suka makan, ia tidak hanya sekadar suka biasa, melainkan sangat suka. Terlihat sekali dari cara dia menikmati makanan yang dimasak oleh Bright, membuat siapa saja yang melihatnya akan ikutan lapar. Hal itu menjadi sebuah pujian bagi Bright karena masakannya disukai oleh orang yang dianggapnya spesial. Besar kepala ia jadinya. Membuatnya berniat untuk terus menyenangkan Win dengan makanan buatannya.

“Darimana belajar masak kayak gini?” tanya Win. Kini ia memotong steak ke dalam ukuran yang pas untuk mulutnya sebelum akhirnya menyantapnya.

“Otodidak,” jawab Bright sembari mengunyah makanannya.

“Saya rasa Mas bahkan bisa ngilangin seluruh orang di dunia kayak Thanos,” kelakar Win. Karena baginya, Bright terlalu sempurna dengan segala apa yang ia punya dari wajah, kekayaan, keterampilan, dan lain-lain.

Bright terkekeh. “My love life isn't good. You have to count it too.”

“Ah iya, lupa,” ucap Win. Berniat untuk mengejek Bright.

Bright berdengus, kemudian tertawa karena ucapan Win.

Keduanya melanjutkan kegiatan makan mereka sampai semua yang ada di piring habis tak bersisa. Win bersandar pada kursi yang ia duduki sembari mengelus-elus perutnya yang membuncit tidak seperti sebelumnya karena kekenyangan.

Namun sekonyong-konyong, Win bersin. Tidak cuma sekali-dua kali, melainkan berkali-kali, tak dapat ia kontrol.

Bright lantas menyodorkan tisu supaya Win menyeka cairan yang keluar dari hidungnya akibat bersin. “Flu? Karena kehujanan?”

Win mengambil tisu yang disodorkan oleh Bright kemudian menutupi hidungnya yang terasa sangat gatal. “Masakan Mas tadi- hatsyi! ada campuran kacangnya?” tanya Win.

“Kacang?” Bright mengernyitkan dahinya seolah tengah berpikir. “Nggak ada,” lanjutnya, “I think it’s in the dessert?”

Bersin yang tak bisa dikontrol tersebut kini tergantikan dengan sesak pada dada Win. Pasokan oksigen seolah tergeramus habis dan Win tak kebagian barang sedikit. Muncul pula ruam kemerahan di sekitar tangan dan bagian tubuh lainnya. Win memegangi bagian dadanya yang terasa begitu sesak sambil berusaha mengontrol napasnya seteratur mungkin.

“WIN!” Bright bangkit dari kursi yang ia duduki karena panik. Ia menggenggam tangan Win yang ditaruh di depan dada. “Ayo, ke rumah sakit!” ucapnya dengan nada panik yang begitu kentara sembari mencoba untuk membuat Win bangkit dari kursinya.

“No-” Win berusaha berbicara di tengah usahanya untuk mengontrol napas. Sebelah tangannya yang bebas terangkat, jarinya menunjuk ke arah sofa. “Tolong ambilin epinephrine di tas saya.”

Sigap, Bright berlari ke arah sofa. Ia membuka tas selempang milik Win dan menemukan alat injeksi seperti pena yang ia yakini adalah obat yang dimaksud. Ia kembali kemudian memberikan alat suntik itu kepada Win.

Win lantas menginjeksikan isi pena itu lewat lengan. 5 menit berlalu, gejala sesak mulai berangsur menghilang.

“How do you feel now?” tanya Bright. Air mukanya tampak menyiratkan kepanikan yang belum luntur sama sekali.

“Better,” jawab Win. Napasnya mulai kembali selaras.

“Let’s go to the hospital.”

“Gak usah.”

“Please, Win.”

“I’m getting used to this. Jadi, nggak perlu panik.”

“I’m sorry.” Bertepatan dengan kalimat yang barusan ia ucapkan, Bright memeluk Win dengan sangat erat. Ia panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Pemikiran negatif sempat menghampirinya akan kondisi Win yang terlihat sangat buruk barusan. “Saya nggak tau kamu punya alergi kacang.”

Win tertawa karena sikap Bright yang tampak berlebihan. “Saya lupa bilang.”

Bright melepas pelukannya kemudian menaruh dua tangannya pada pundak-pundak Win. “Ayo, istirahat di kasur.”

“Hah!” Win terperanjat.

“Ke rumah sakit nggak mau. Lagipula masih hujan. Udah malem pula. Dengan kondisi kayak gini kamu mau pulang? Kalau saya tawarin untuk antar kamu pasti nggak mau juga,” ujar Bright panjang lebar, bersoal pada pola-pola Win yang sudah ia hafal.

Win tersenyum kikuk sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal seolah tertangkap basah. “Oke kalau gitu.”

Win bangkit berdiri dibantu oleh Bright. Ia diperlakukan seperti anak kecil yang sedang sakit, padahal fisiknya cukup kuat untuk berjalan sendirian tanpa bantuan apapun.

Sesampainya di kamar, Win lantas naik ke kasur dan merebahkan tubuhnya di atas sana. Bright menutupi tubuh Win dengan selimut kemudian duduk di tepi kasur.

“Kalau ada apa-apa, panggil saya aja ya,” ucap Bright.

“Emang mau ke mana?”

“Sofa.”

“Gak tidur?”

“Di sofa.”

Win bergeming sejenak. Ragu untuk mengatakan kalimat yang telah terangkai di otaknya.

“Yaudah, panggil aja ya kalau butuh sesuatu,” ujar Bright kemudian bangkit dari posisinya.

“Mas, tidur di sini,” ujar Win sembari menutup matanya paksa lantaran malu. Butuh banyak nyali untuk mengutarakan kalimat yang diproduksi kepalanya itu.

Kalimat tersebut serta-merta membuat langkah Bright terhenti sebelum berhasil keluar dari kamarnya. Ia menoleh kemudian menatap Win yang pipinya memerah matang bagai ceri.

“Saya takut ganggu kamu,” ujar Bright berlagak pengertian. Padahal diam-diam, jantungnya mau meledak. Ia tengah mencoba menahan euforia yang entah datang darimana.

“Saya nggak enak, ini kan rumah Mas Bright,” ucap Win.

Tanpa menjawab, Bright lantas berjalan ke sisi kasur sebelah yang kosong. Kemudian menidurkan dirinya di atas sana; tepat di sebalah Win. Jika ia menolak, Win tidak akan berhenti berargumen sampai keinginannya terpenuhi. Lagipula, ia tidak keberatan sama sekali, semuanya malah persis seperti apa yang hati kecilnya inginkan untuk terjadi.

Win masih dalam posisi telentang, bergeming canggung tak berani bergerak barang satu inci pun. Sedangkan Bright mulai berpindah posisi hingga tubuhnya miring menghadap ke arah pemuda di sampingnya.

“How's your skin?” tanya Bright sambil memindai bagian leher Win yang dipenuhi ruam kemerahan.

“Gatel,” jawab Win singkat.

“How do you endure that?” Sebelah tangan Bright bergerak untuk menyentuh leher Win.

Win sedikit terperanjat karena sentuhan tersebut. “I told you, I'm getting used to this.”

“Maaf, Win,” ucap Bright halus, tangannya kini mengelus leher Win yang dipenuhi ruam itu.

“Sekali lagi minta maaf, saya pulang ya,” canda Win sembari menoleh ke arah Bright.

Bright tersenyum. “I'm sorry to ruin your flawless skin,” ucapnya.

“Saya pulang, ya. Makasih.” Bersamaan dengan ucapan itu, Win bangkit dari kasur.

Namun, sebelum berhasil kabur, Bright telah lebih dulu menarik tubuh Win dari belakang. Membuat Win kembali ambruk ke kasur dan berakhir dalam dekapan Bright. Keduanya tertawa terbahak-bahak karena kelakar tersebut. Tetapi lambat laun, tawa itu memudar. Atmosfer berubah menjadi lebih serius. Win merasa canggung bukan main karena dekapan tersebut, namun di sisi lain ia menikmatinya. Bagaimana tubuh kekar Bright mengelilinginya dari belakang. Terasa hangat dan entah bagaimana membuatnya lupa akan rasa gatal pada kulit.

Bright pun demikian. Ia merasa seolah-olah tengah memeluk dunianya. Dekapan yang menyiratkan afeksi, bersatu padu dengan renjana yang menggetarkan hatinya dengan sangat parah. Ia seperti tenggelam pada palung pesona Win, tak ada jalan keluar dan membuatnya terjebak di dalam sana sampai akhir hayat.

Setelah beberapa waktu berlalu, Win memutar posisi tubuhnya hingga kini ia saling berhadapan dengan Bright. Tanpa pikir panjang, ia mencium bibir yang lebih tua. Deja vu. Namun kali ini, tidak ada pengaruh alkohol sama sekali, yang ada hanyalah dorongan kuat dari relung batin sang pemuda.

Tidak seperti sebelumnya pula, tiada keterkejutan yang timbul akibat aksi Win. Bright seolah telah mengantisipasi gelagat pemuda itu, membangun ekspektasi yang melambung jauh bagai bola homerun. Beruntungnya, asa tersebut tidaklah meleset. Justru meluncur mulus bagai hujan yang masih setia turun hingga larut malam. Lantas ia membalasnya. Bahkan melumat bibir Win yang terasa manis bagaikan cokelat.

Win mengimitasi pergerakan bibir Bright sehingga tautan antara keduanya semakin terasa intens. Sejenak, ia melepaskan persinggungan antara keduanya. Kemudian menatap Bright dengan tatapan penuh jengah.

“Did I suffocate you?” tanya Bright pelan, nyaris seperti bisikan lembut yang membuai telinga Win.

“No,” jawab Win. Bahkan tubuhnya sendiri telah melupakan alergen yang membuatnya tercekik seperti mau mati.

Bright sedikit menaikkan kepalanya supaya dapat dengan lebih mudah menggapai bibir Win. Sebelah tangannya menangkup pipi prominen pemuda itu, sementara bibirnya semakin sibuk menjamah bibir yang lebih muda tanpa tahu berhenti.

Mungkin langit malam itu memang tidak bersahabat, tetapi diam-diam andil dalam kisah keduanya hari ini dan nanti.