write.as

The Last Piece of Xu Cerita tentang Jun dan Hao ini dimulai saat 6 tahun yang lalu mereka bertemu di suatu malam minggu, ketika Mingyu dan Wonwoo sama-sama membawa teman mereka masing-masing ke acara tongkrongan Mingyu. Dengan segala kecocokan diantara mereka, akhirnya mereka menjalin hubungan sekitar 5 tahun dan banyak kelucuan yang terjadi diantara mereka. Mostly, itu karena Jun yang hidupnya penuh dengan ke-random-an. Hao menemukan kenyamanan dari Jun. Memberikan pelangi di saat hidupnya hanya ada mendung. Abu-abu, cenderung kehitaman. Bukan mau mendramatisir, namun semua klise yang ada dalam kisah hidup anak konglomerat terjadi di Hao. Hao sebenarnya mewariskan salah satu perusahaan Papi-nya yang dengan sengaja ia tolak untuk kelola. Dan dengan segala kerunyaman problematika kehidupan konglomerat, sejak tiga tahun lalu, Hao memutuskan untuk meninggalkan rumah dan berusaha sendiri membangun usaha sesuai dengan ketertarikannya. Dan yang saat ini ia pilih adalah usaha dalam bidang seni, dan menjadi Tattoo Artist. As cliche as it might sound, this is all because of love. Kenekatan dan keberanian yang ia punya hingga sampai mandiri seperti saat ini. Tidak berbeda dengan Hao, Jun juga dari keluarga kalangan atas. Yang buat mereka bisa memahami satu sama lain akan beratnya tanggung jawab yang dilimpahkan sebagai anak konglomerat. Belum lagi kasta Imba Murni yang semakin mengunci posisi mereka untuk patuh kepada keputusan orang tua. Namun, lain Hao yang berani menentang kedua orang tuanya, Jun lebih memilih langkah yang perlahan untuk menghindari pernikahan Tali Jiwa ini. Sesuai janji, malam ini Jun ingin mengambil mobil yang ia titipkan di rumah Hao sejak acara pura-pura Wonwoo di Puncak. Sekitar 3 minggu yang lalu. Dan dengan ini, Jun pun memberanikan diri untuk membicarakan apa yang terjadi dengan hubungannya bersama Hao. Dua bulan terakhir hubungan mereka tidak baik-baik saja. Dan Jun sudah terlalu lama membiarkan urusan mereka berlalu tanpa ada jalan keluar yang baik untuk keduanya. "Kuncinya ada di kotak yang biasa", kata Hao sambil berjalan ke dapur mengambil minuman untuk Jun. "Masih nyala ga ya? Udah didiemin berminggu-minggu?", tanya Jun sambil mencari kunci mobilnya. "Aku panasin kok tiap pagi, kadang aku pake juga sih, sori ga bilang-bilang", kata Hao sambil jalan ke ruang tengah tempat Jun sudah duduk kalem di sofa. Ia menaruh dua gelas meja dan mengisinya dengan air putih di masing-masing gelas. "Please Hao, jangan jadi canggung gitu", kata Jun menatapnya. Hao masih sibuk dengan susunan botol air dan gelas yang seharusnya tidak perlu membutuhkan banyak perhatian. "Ga ada beer?", tanya Jun. "Pulang gimana nanti? Ga ada minum beer malem ini", perintah Hao. "Tapi malem ini bakal berat dan panjang kayanya, aku butuh apapun selain air putih" "Kopi?" "Gausah deh", kata Jun pasrah dengan tawaran yang bahkan tidak menarik tenggorokannya sama sekali. "Atau soda kek? root beer? anything like that?", kata Jun masih kekeuh. Hao berdiri dan menuju ke kulkas untuk membawa apapun yang dibutuhkan Jun. Tidak lama ia datang dengan sekaleng root beer dan satu kaleng lainnya yang memang beer. "tuh ada", Jun menunjuk ke kaleng beer yang dibawa Hao. "Aku ga bilang ga ada beernya, maksudnya tadi ga ada kamu minum beer. Kesini kan mau bawa pulang mobil, jangan ditunda lagi" "Segitunya mau memutus hubungan sama aku?" "Kita liat aja malem ini yang lebih butuh beer itu sebenernya siapa", kata Hao, semakin lama nadanya semakin judes yang mana sangat tidak ramah untuk Jun. Kalau boleh jujur, Jun sangat merindukan laki-laki di depannya ini. Sejak Hao memergoki Jun yang sedang jalan bersama Tzuyu di suatu akhir pekan dua bulan lalu, perlakuan Hao sudah tidak sama lagi. Jun pun tidak menyangkal bahwa kejadian tersebut rasanya seperti ia sedang berselingkuh, meskipun tidak. Tidak, karena Tzuyu adalah Tali Jiwanya. Dan tidak, karena ia tidak ada rasa apapun dengan perempuan yang masih berada di jenjang kuliah tersebut. Namun, anggap saja ia memang selingkuh karena sudah berbohong, kepada Hao dan Tzuyu. "Jadi mau nikah kapan sama jodoh kamu itu?", kata Hao sarkas. "Pertengahan tahun ini", kata Jun yang seketika membuat Hao terpatung tegang. Bahkan genggaman kaleng beernya terlihat digenggam terlalu keras olehnya. Ia bertanya karena ingin sarkas, namun ternyata memang benar akan dilangsungkan pernikahan. "Berarti bener ya? Udah ga ada yang perlu diomongin lagi?", kata Hao bangkit dari sofa, menjauh dan jalan menuju pintu rumahnya. "Silahkan ambil mobilnya dan bawa pulang", kata Hao. "Aku jujur sama Tzuyu kalo aku sayangnya sama kamu, Hao", kata Jun tanpa bangkit dari sofa, tanpa ada indikasi ia ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini. "Jun!!", kata Hao meninggi. "Aku udah bilang kan hal itu jangan sampai keucap ke dia atau keluarga kamu atau ke siapapun yang ada urusannya sama Tali Jiwa kamu?" "Aku ga bisa, Hao. Ga ada alasan yang cukup kuat buat aku bikin dia lepasin aku. Udah segala cara aku jadi jahat supaya dia setuju buat batalin Nabda tapi ga ada yang berhasil. Dan itu cara terakhir aku buat bikin dia mundur", kata Jun dengan suara lirih penuh dengan keputusasaan. "Tapi ga berhasil kan? Kalian malah mau lanjut nikah. Terus buat apa??" "Seenggaknya dia ngebiarin aku untuk tetap berhubungan sama kamu, Hao, walaupun kita udah nikah nanti" "Yang bener aja Jun?? Anak itu udah cinta mati sama kamu, mana bisa begitu? Kamu tega sama dia?" "Dia sendiri yang kasih pilihan, aku akan pilih apapun yang penting aku masih bisa bareng sama kamu" "Udah gila kamu, Jun!", kata Hao meninggi, merasa frustasi dengan fakta bahwa satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh adalah menyakiti wanita itu. "EMANG AKU UDAH GILA, HAO!!", kata Jun yang berbalik meneriaki Hao atau mungkin meneriaki dirinya sendiri. Hao terkejut dengan Jun yang tidak pernah sekalipun berteriak frustasi seperti ini. "SEMUA NEKEN AKU, NYURUH AKU NGALAH, NYURUH AKU BUAT TETEP LANJUT PERNIKAHAN INI GARA-GARA ANAK MANJA ITU GAMAU BATALIN PERNIKAHAN DAN NGANCEM UNTUK BUNUH DIRI. TERUS AKU BISA APA SELAIN GILA?? KALO AKU BISA MATI JUGA AKU PILIH MATI SEKARANG HAO!!!" Hao tidak merespon apapun dan hanya melihat Jun yang terduduk rapuh mengeluarkan tangisan yang tertahan. Ingin rasanya ia menenangkan Jun namun kenyataannya memang sudah saatnya mereka melepas ikatan haram mereka ini. "Kalau bener Tali Jiwa memang buat satu sama lain kenapa aku sesulit ini buat lepasin kamu, Hao?? Kalau emang Tali Jiwa itu sebenar-benarnya jodoh, kenapa udah sering aku habisin waktu sama dia tapi tetep aku pengennya habisin waktu-waktu tersebut sama kamu? Kasih tau aku, kenapa Hao?? Aku akan pergi lepasin kamu, kalau emang kamu punya jawabannya", kata Jun menatap Hao dengan air mata yang tidak henti mengalir perlahan. Hao hanya diam, kalau ia tahu juga ia tidak akan meninggalkan rumahnya dan bertahan dengan perasaannya terhadap Jun. Namun meskipun mereka merasakan rasa yang sama besarnya, tetap saja tidak ada jalan yang terbuka untuk mereka menyatu. Mereka terdiam, hening menyelimuti rumah Hao dimana mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali bising dari suara motor yang lewat depan rumah Hao. Namun tidak kalah bisingnya isi kepala keduanya yang sudah sangat buntu untuk bisa menyatu kembali. Menolak Nabda dan bahagia bersama kini serasa bukan akhir kisah mereka. "Please, Hao..", kata Jun terisak. "Jangan tinggalin aku sama orang-orang ini". Hao melihat kegelisahan Jun yang teramat dalam. Ia terus-terusan memainkan kutikula di kukunya yang semakin lama semakin melukainya. Hao berjalan menghampiri Jun, menghentikan permainan jarinya agar ia tidak terluka. Hao menggenggam jemari Jun dan mengecupnya perlahan. Sambil mengelus jemari tersebut, Hao menatap Jun yang masih menunduk, berharap dapat memberikan ketenangan. "I love you, Jun" "Makanya jangan tinggalin aku", kata Jun mulai memberanikan diri menatap Hao balik. "Bukan aku yang ninggalin kamu. Sampai sekarang juga bukan aku yang ninggalin kamu. Kamu udah jadi alasan aku buat hidup kaya gini, ngapain aku capek-capek kalau ujungnya aku ninggalin kamu?", kata Hao. "Tapi aku juga ga bisa bareng sama kamu dalam keadaan seperti ini. She's an innocent", kata Hao kembali. "Dia ngancem bunuh diri, Hao?? How could that be an act of innocent??" "Dia terdidik seperti itu mungkin? That will make her an innocent. Aku juga gatau. Tapi aku tetep ga bisa buat perjuangin kamu untuk yang satu ini. I've done my part. This time is yours" "Aku harus jadi pembunuh buat ngejar kebahagiaan aku sendiri??" "No one told you so" "Tapi semua orang bikin aku ngerasa ga berhak bahagia" "Kamu berhak kok, kejar kebahagiaan kamu. Tapi ga semua orang bisa bilang gimana caranya" Jun menutupi wajahnya yang semakin tidak bisa menahan air matanya untuk mengalir. Ia hanya berharap Hao memberikannya pelukan agar ia bisa lebih tenang. Seperti semesta mengetahui apa yang ia paling butuhkan, Hao mendekap tubuhnya, memeluk erat dan mengusap kepalanya. Tapi teryata rasanya tidak seperti yang ia bayangkan. Ternyata pelukan ini sudah tidak menghangatkan atau pula menenangkan, like it used to. Hao melepaskan pelukannya tanpa menjauh dari Jun. Lalu mengusap lembut bibir Jun yang kering dengan ibu jarinya sebelum akhirnya ia kecup perlahan. Memperhatikan mata Jun yang masih sendu, ia kembali mengecup bibir tersebut bahkan memperdalamnya. Menangkup wajah pria di depannya, Hao seperti meluapkan seluruh emosinya ke dalam sentuhan itu. Jun hanya bisa menangis menyambut ciuman yang seharusnya ia rindukan. Tapi kini rasanya pedih, tidak menyenangkan bahkan cenderung menyesakkan. Namun apa jadinya kalau memang ini yang terakhir yang bisa ia terima dari lelaki yang sangat dalamnya ia cintai itu? "I miss you so much, Moon Junhui", kata Hao di tengah pergulatan bibir mereka yang hanya membuat air mata Jun mengalir semakin deras. Semakin dalam ciuman yang diberikan Hao terasa semakin perih bagi Jun. "But i have to let you go", Hao melepaskan ciumannya, mengusap lembut pipi Jun dan memberikan kecupan lembut yang singkat untuk terakhir kalinya sebelum beranjak berdiri. "Hao, please..", semakin lirih suara yang bisa dikeluarkan oleh Jun. Ia hanya menunduk tanpa bisa melihat Hao berjalan menjauh ke kamar, meninggalkannya sendiri terduduk di sofa. "Let's make this easier, Jun. For both of us".