write.as

Jihoon membuka pagar besar yang menjadi pembatas antara studio milik Daniel dan jalan raya. Sebetulnya, studio yang dimaksud adalah sebuah rumah kecil yang setengah jadi— kalau kata Daniel sih dulu ada orang yang hendak merenovasi total rumah itu, namun berhenti di tengah jalan karena masalah biaya. Akhirnya justru Daniel yang membelinya dengan harga miring; merasa puas dengan lokasinya yang cukup strategis dan luasnya yang sesuai untuk segala keperluan proyeknya.

Selama seminggu ini, Jihoon sebetulnya lumayan betah menggambar di studio milik Daniel. Nyaman, nyeni, dan sangat homey. Seringkali energi Jihoon terbakar begitu cepat kalau mereka menggambar di luar. Lain cerita kalau ia di studio, rasanya ia bisa lupa waktu saking keasyikan menggambar.

Ah.

Sudah lama dia tidak menikmati menggambar sebagai hobi. Bukan karena tuntutan.

Mungkin ia harus bersikap sedikit lebih baik ke Daniel.

Jihoon sudah mengetuk pintu tiga kali, namun tidak ada yang menjawab. Samar-samar ia mendengar suara James Brown menyanyikan I Got You (I Feel Good), dan Jihoon menahan senyum. Ia teringat Daniel terus-terusan menggumamkan lagu itu dengan suara sumbangnya, sampai mereka dipelototi oleh beberapa orang saat menggambar di cafe. Ia mencoba memutar gagang pintu, dan tak disangka pintunya terbuka.

Berdecak tak habis pikir sambil mendumal tentang betapa sembrononya pemilik studio tersebut, Jihoon melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.

Salah satu hal yang Jihoon sukai adalah tidak adanya sekat ruangan. Begitu masuk, ia dihadapkan ke area yang sangat luas— penuh dengan easel dan kanvas-kanvas berbagai jenis ukuran. Rak-rak berisi aneka cat dan peralatan (mulai dari kuas hingga pahat) tersusun rapi di pojok ruangan. Langit-langitnya tinggi, dan jendela-jendelanya selalu dibuka agar angin segar dapat masuk dan membawa keluar bau toksik dari cat.

Jihoon berjalan melewati beberapa easel, melongok ke kanan kiri untuk mencari sosok pria itu. Ia mengerutkan kening.

Namun pendengarannya mengarahkan Jihoon ke salah satu sudut studio. Ia melihat sebuah kanvas ukuran besar dengan dudukan berukuran sama, di sampingnya terdapat speaker JBL di atas sebuah meja beroda. Sebuah palet warna tergeletak di atas meja yang sama. Suara James Brown dan iringan saxophone semakin melengking seiring dengan langkah kaki Jihoon yang makin mendekat.

“Kak—“

Jihoon sudah berekspektasi akan menemukan sosok Daniel sedang serius melukis, dengan mata menyipit dan bibir dikulum— pemandangannya sehari-hari selama seminggu ini. Tapi yang ia temukan bukan Daniel, keberadaannya nihil, hanya sisa presensinya dalam bentuk cat yang masih basah dan sisa kopi di cangkir. Yang Jihoon temukan malah membuat kakinya seolah terpaku di tanah, matanya melebar, dan pernapasannya terhenti.

“Jihoon?”

Suara bariton itu terdengar terkejut.

Ketika Jihoon menoleh dengan leher yang masih kaku, Daniel sedang memegang wadah berisi air bersih, sebelah tangannya lagi menggenggam beberapa kuas yang ujungnya masih basah. Ia masih mengenakan celemek yang sudah penuh dengan bekas cat.

Bola matanya bergerak perlahan dari sosok Jihoon, ke lukisan setengah jadi di sampingnya. Kedua wajah serupa itu menatapnya, seakan meminta penjelasan. Wajah Daniel memucat. Lengkingan James Brown kini sampai ke puncaknya.

Shit.