write.as

EXTRA XV

Marcel bergabung tidak sampai tiga puluh menit dengan Theodore, Alief, Jinan, Arkan, dan Maria — setelahnya ia memutuskan untuk memisahkan diri, duduk dibangku bar sendiri di temani dengan gelas alkohol — yang tidak tahu sudah berapa kali terisi.

Dan tidak terhitung sudah berapa banyak wanita yang Marcel tolak saat satu persatu dari mereka datang menghampirinya di meja bar, berusaha sekuat tenaga menggodanya dalam mabuk, tapi tetap tidak berhasil.

Sebenarnya niat awal Marcel datang ke tempat ini memang mencari wanita dan membawa salah satu dari mereka pulang ke Apartemen untuk menemaninya melewati malam sepi — namun nalurinya menolak keras, sebanyak apapun alkohol yang ia tenggak agar mencapai titik gelapnya, sosok manis itu tidak pergi dari kepala Marcel, dia masih disana, menuntut Marcel untuk tetap menjaga hati.

“Sayang,” samar Marcel mendengar suara lembut menghampiri telinga, lagi, wanita kesekian yang datang, “Mau aku temenin?” usap lembut menjalar perlahan memanjakan bisep hingga ujung jarinya.

Marcel diam tidak menolak, ia harus berusaha untuk melupakan semua — melupakannya, dan ini adalah salah satu cara yang ia bisa. Marcel meneguk cairan di dalam gelas hingga habis tak tersisa, memejamkan mata, berusaha untuk menerima semua sentuhan yang ia dapat; seperti saat ini, wanita itu mencium rahang tegas Marcel hingga turun menjamah lehernya; meninggalkan noda merah pekat bekas lipstick.

Malam ini Marcel bertekad untuk melupakan yang dia yang pergi, jika takdir berkehendak.

“HEH! MINGGIR LO CEWE KEGATELAN!” — suara lain tiba-tiba datang mengisi pendengaran Marcel, cumbuan yang didapat berhenti.

“Atra?” tatapannya redup, samar ia melihat sosok yang selama ini mengisi kepalanya; sosok yang sangat ia rindukan. Dengan terhuyung Marcel memeluk sosok yang tiba-tiba datang, persetan dengan banyak mata yang menyaksikan.

“Cel, gue bukan Atra!” semakin besar usahanya untuk lepas dari pelukan, semakin erat tangan itu berkait.

“Gila ya lo?! GUE SENA!” dia kembaran Atra — dengan sisa tenaga yang dimiliki, Sena berusaha keras untuk lepas dari pelukan Marcel, namun nihil — Marcel semakin memeluk tubuh mungil itu dengan erat, mengeluarkan rancauan tidak jelas seperti; ‘Aku sayang kamu, Tra’, ‘Tolong jangan pergi.’, dan rancauan lain.

“SADAR, CEL! GUE SENA,” ia mulai panik, banyak mata yang sudah tertuju padanya namun mereka enggan berkutik untuk memisahkan.

“GUE BUKAN ATRA!” histeris, Sena ketakutan — beruntung pada detik yang sama Theodore dan Maria datang, dengan cepat mereka menjauhkan Marcel yang sudah sepenuhnya dipengaruhi alkohol.

Theodore membawa Marcel pergi dari keramaian.

“Lo gapapa, Sen?” Maria khawatir melihat Sena yang bergetar.

“Gue bukan Atra.” suaranya parau, tapi masih bisa didengar dengan jarak dekat.

“Iya, Sen, lo bukan Atra.” Maria mengulang kalimatnya, berusaha menenangkan Sena yang masih bergetar dalam peluknya.

“Maafin Marcel ya, Sen.” detik itu Maria sadar, Marcel yang dulu telah kembali, lebih hancur.

“Gue anterin lo pulang ya.”